TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Banyuwangi 2025–2029 yang sedang difinalisasi layak diapresiasi karena telah berhasil merumuskan kerangka pembangunan yang relatif sistematis, selaras dengan visi pembangunan nasional, serta tetap menaruh perhatian pada pelayanan dasar, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan yang inklusif.
Dari sisi format, RPJMD telah mengadopsi pendekatan teknokratis yang rapi dan legalistik. Namun, jika dicermati secara substansial, terutama pada aspek transformasi ekonomi dan visi jangka panjang pembangunan daerah, muncul sejumlah catatan penting yang perlu dikritisi.
Salah satunya adalah minimnya arah yang jelas mengenai transformasi struktur ekonomi dan lemahnya integrasi terhadap isu-isu global strategis, seperti dekarbonisasi, disrupsi teknologi, krisis iklim, hingga ketimpangan global.
Transformasi ekonomi tidak cukup diwujudkan melalui penguatan sektor pariwisata dan pertanian seperti yang saat ini dituliskan dalam RPJMD. Konsep transformasi struktural dalam teori pembangunan (Timmer, 2007; McMillan & Rodrik, 2011) mengharuskan adanya pergeseran sumber daya ekonomi khususnya tenaga kerja dan investasi dari sektor berproduktivitas rendah (pertanian tradisional, perdagangan informal) menuju sektor dengan produktivitas tinggi seperti industri manufaktur ringan, jasa modern, dan ekonomi berbasis digital.
Banyuwangi sejatinya memiliki potensi besar untuk mewujudkan transformasi ini. Keberhasilan sektor pariwisata selama satu dekade terakhir menjadi modal awal penting. Demikian pula pertanian organik, energi terbarukan, serta kekayaan budaya lokal yang mendukung sektor kreatif.
Dalam dokumen RPJMD, belum tampak adanya peta jalan konkret untuk mentransformasikan kekuatan ini menjadi kerangka ekonomi baru yang inovatif dan berkelanjutan. Tidak dijelaskan bagaimana sektor-sektor tersebut terintegrasi secara sinergis dalam satu ekosistem ekonomi yang mampu menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja berkualitas.
Lebih lanjut, RPJMD Banyuwangi belum menunjukkan keberpihakan kuat terhadap integrasi isu global strategis. Padahal, dalam konteks perencanaan modern, dokumen pembangunan daerah seharusnya tidak hanya berpijak pada kondisi lokal dan nasional, tetapi juga merespons tantangan dan peluang global.
Agenda seperti Sustainable Development Goals (SDGs), transisi energi, net-zero emission, dan transformasi digital global seharusnya mendapat ruang yang eksplisit dalam narasi kebijakan maupun strategi operasional.
Sayangnya, RPJMD saat ini masih bersifat lokalistik dan terlalu administratif, sehingga kehilangan daya adaptif dalam menghadapi dinamika dunia. Salah satu aspek yang kurang disorot adalah trade-off antara pertumbuhan dan keberlanjutan.
Dalam banyak pengalaman negara berkembang, percepatan pertumbuhan ekonomi sering kali dilakukan dengan mengorbankan lingkungan hidup, hak masyarakat adat, atau tatanan sosial lokal.
Banyuwangi yang tengah membangun sektor pariwisata dan kawasan industri harus sangat berhati-hati agar tidak terjebak dalam logika grow now, clean up later.
Perlu diingat, pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial hanya akan menghasilkan krisis baru di masa depan.
Teori Environmental Kuznets Curve (EKC) mengingatkan bahwa tanpa desain kebijakan yang kuat, pertumbuhan awal justru memperparah kerusakan lingkungan sebelum masyarakat mencapai titik pendapatan yang cukup untuk menuntut perbaikan.
Maka, transformasi ekonomi Banyuwangi harus dirancang dari awal sebagai transformasi yang berkeadilan ekologis, dengan prinsip low carbon economy, resilience-based planning, dan inclusive innovation.
Konsep “transformasi tanpa trade-off” bukan utopia. Ia bisa dirancang melalui serangkaian langkah konkret: mengembangkan kawasan industri hijau berbasis agroindustri, mendigitalisasi desa dan UMKM, memperkuat pendidikan vokasi berorientasi energi terbarukan, serta menyusun kebijakan fiskal daerah yang berpihak pada inovasi dan investasi berkelanjutan.
Untuk itu, perlu keberanian politik, keberpihakan anggaran, dan penguatan kapasitas teknokratik. Langkah berikutnya adalah menjadikan RPJMD sebagai dokumen hidup yang adaptif terhadap perubahan global.
Artinya, perlu ada mekanisme peninjauan dinamis (dynamic review), kolaborasi lintas aktor (pemerintah, masyarakat, akademisi, sektor swasta), dan integrasi indikator global seperti carbon footprint, indeks digitalisasi, serta indeks ketahanan pangan dan air.
Sebagai kabupaten yang telah menjadi laboratorium kebijakan nasional, Banyuwangi memiliki kesempatan dan legitimasi untuk melangkah lebih jauh.
Transformasi ekonomi Banyuwangi tidak boleh sekadar melanjutkan apa yang sudah ada tetapi harus menjadi terobosan struktural yang menjawab tantangan lokal dengan pendekatan global. Bukan hanya bertumbuh, tetapi bertumbuh dengan adil dan lestari.
Kini saatnya Banyuwangi menunjukkan bahwa daerah pun bisa memimpin agenda global. Bukan hanya menjadi bagian dari rantai pasok dunia, tetapi juga sebagai aktor pembaru dalam arsitektur pembangunan berkelanjutan Indonesia.
***
*) Oleh : Dr. M.Iqbal Fardian, SE,M.Si., Ekonom Alumni Program S3 Ilmu Ekonomi Universitas Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |