TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Pergulatan wacana publik mengenai tambang emas Gunung Tumpang Pitu di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, kerap kali direduksi menjadi dikotomi sentimental. Tentang tambang versus ekologi, investasi versus kerusakan dan seterusnya. Padahal, kompleksitas isu ini menuntut penafsiran ulang yang lebih dewasa, yakni melalui kacamata Filsafat Eco-Humanisme.
Hal tersebut disampaikan oleh Mahasin Haikal Amanullah, Lurah Mukadimah Institute. Menurutnya, konflik ekologis di tambang emas PT Bumi Suksesindo 9PT BSI) itu harus dilihat sebagai momen epistemologis, yaitu kesempatan untuk memperadabkan relasi antara manusia dan alam melalui teknologi, regulasi, dan etika pembangunan.
“Sebagaimana dikatakan Bruno Latour dalam Politics of Nature, konflik ekologis justru menandai lahirnya ‘Collective of Humans and Non-Humans’. Ini adalah arena di mana manusia, tanah, air, dan teknologi dinegosiasikan secara lebih matang,” ujar pemuda yang berdomisili di Dusun Sukopuro Wetan, Desa Sukonatar, Kecamatan Srono, Banyuwangi, Senin (1/12/2025).
Laboratorium Modernitas Ekologis dan Etika Tanggung Jawab
Aktivis mahasiswa yang akrab disapa Haikal tersebut menilai, setelah melalui revisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tahun 2013 dan tata kelola oleh PT BSI, tambang emas Gunung Tumpang Pitu telah menjadi laboratorium awal bagi modernitas ekologis di kabupaten paling ujung timur Pulau Jawa. Dia mengkritik pandangan konservatif yang memperlakukan alam sebagai entitas statis yang harus “dibekukan” dari perkembangan zaman.
Akumni Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UINKHAS) Jember ini mengingatkan pentingnya konsep Ethics of Responsibility yang digagas oleh Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility (1984). Bahwa etika modern tidak lagi bertumpu pada “Do Not Act,” melainkan “Act Responsiblity”.
“Perubahan ekologis adalah keniscayaan. Tanggung jawab etis terletak pada cara mengelola dampaknya,” tegasnya.
Logika etika inilah yang mengilhami penataan zona penyangga 100 meter dari garis pantai dalam AMDAL. Serta rekayasa geoteknik lereng dan pengelolaan air asam tambang oleh PT BSI. Menurut laporan Kementerian LHK tahun 2019, prosedur ini bahkan memenuhi standar Best Practice tambang emas tropis.
“Tambang yang dikelola baik bukanlah antitesis alam, melainkan bagian dari Ethics of Responsibility yang lebih matang,” imbuhnya.
Modernitas Refleksif dan Peningkatan Kapasitas Warga
Dilihat dari perspektif teori sosial, Haikal menyebut apa yang terjadi di Tumpang Pitu mencerminkan transformasi ala Anthony Giddens tentang “Reflexive Modernization”. Artinya, masyarakat lokal tidak hanya menjadi objek, melainkan subjek yang membentuk ulang institusi.
Data empiris memperkuat pandangan itu diantaranya tentang Kesejahteraan Lokal. Survei sosial Bappeda Banyuwangi (2021) mencatat peningkatan pendapatan rata-rata di Kecamatan Pesanggaran sebesar 27 persen sejak operasi produksi PT BSI pada 2017.
Termasuk Pengembangan Komunitas. Hal itu ditandai dengan lahirnya ratusan UMKM binaan perusahaan sejak 2019 yang menunjukkan bahwa ekonomi mineral dapat mendorong Community-Based Development. Alias bukan sekadar ekstraksi sepihak.
“Di sini kita melihat pembangunan yang memproduksi struktur baru, sambil menegosiasikan ulang risiko melalui pengetahuan kolektif. Inilah yang disebut Giddens sebagai modernitas refleksif,” jelasnya.
Transmutasi Ekologis dan Kontribusi Teknologi
Menanggapi tuduhan klasik mengenai potensi kerusakan ekologis, Mahasin Haikal Amanullah menekankan pentingnya membedakan antara destruksi dan transmutasi ekologis, sesuai konsep Deep Ecology yang diperkenalkan Arne Naess.
Data PT BSI menunjukkan bahwa program rehabilitasi telah memulihkan vegetasi pada lebih dari 75 hektare lahan pasca-mine dan menanam 40 ribu bibit pohon endemik sejak 2018. Lebih lanjut, tingkat kekeruhan air di tiga sungai sekitar tambang tetap berada di bawah baku mutu, sesuai PP 22/2021, dan diverifikasi secara berkala oleh DLH Banyuwangi.
“Data empiris ini menegaskan bahwa wacana kerusakan ekologis dapat dipreservasi melalui tata kelola. Dengan tata kelola yang benar, transformasi ekologis dapat menjadi bagian dari Ecological Co-Evolution,” katanya.
Haikal juga mengoreksi pandangan yang menganggap teknologi sebagai musuh alam. Mengutip Martin Heidegger, teknologi berbahaya hanya jika memperlakukan alam sebagai “Standing Reserve”. Namun, jika disorot sebagai poiesis (pengungkapan makna), teknologi justru dapat memperkaya cara merawat bumi.
“Sistem pengolahan tailing yang memisahkan limbah padat dan cair, atau penggunaan Run of Mine untuk mengurangi jejak karbon alat berat, adalah bentuk Poetic-Technological Unveiling. Teknologi justru membuka kemungkinan baru bagi keberlanjutan,” paparnya.
Capability Enhancement dan Rasionalitas Ekologis
Dari perspektif ekonomi politik, manfaat tambang adalah distribusi peluang. Data Kementerian ESDM (2022) mencatat kontribusi pajak dan non-pajak dari operasi PT BSI mencapai lebih dari Rp800 miliar sejak 2017, ditambah program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) atau yang biasa disebut Corporate Social Responsibility (CSR) tahunan.
Program pendidikan, beasiswa, pelatihan operator, hingga sekolah wirausaha mewakili konsep Capability Enhancement dari Amartya Sen, yaitu pembangunan yang meningkatkan kapasitas dan kebebasan manusia untuk menentukan masa depannya.
“Di Kecamatan Pesanggaran, ini bukan teori. Ini realitas yang tumbuh,” ujarnya.
Terakhir, Mahasin menekankan bahwa konflik ekologis harus diselesaikan dengan Policy-Based Evidence, bukan sentimen. Dia merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) 2017 yang menolak gugatan WALHI atas dasar bahwa perubahan status hutan lindung telah memenuhi parameter hukum dan verifikasi ilmiah.
“Inilah fondasi dari Ecological Rationality, suatu rasionalitas yang menempatkan data sebagai dasar moral pembangunan,” tandasnya.
Haikal mengakui bahwa kritik ekologis serasi dengan wacana tambang. Namun dia berharap kritik tersebut tidak fluktuatif dan musiman. Objek kritik atas tambang di Banyuwangi, idealnya, tidak hanya menyorot PT BSI, melainkan juga tambang ilegal di sekitarnya.
“Pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan pertanyaan dogmatis, tambang baik atau buruk? Tetapi pertanyaan yang lebih dewasa, bagaimana menjadikan tambang sebagai kebijaksanaan ekologis yang memproduksi martabat manusia dan keberlanjutan alam sekaligus,” tutup akademisi muda Banyuwangi ini. (*)
| Pewarta | : Syamsul Arifin |
| Editor | : Ferry Agusta Satrio |







