Seorang sopir travel warga Dusun Kedonen, Desa Bomo, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi bernama Wahyudi (45) menjadi 1 dari 30 korban selamat KMP Tunu Pratama Jaya yang tenggelam di Selat Bali. Dia sampaikan pengakuan betapa mengerikan peristiwa yang saat itu hingga dirinya lolos dari maut.
Apa yang dia alami di KMP Tunu Pratama Jaya itu dia anggap bukan pengalaman tapi kepahitan yang tak ingin diulang. Sembari bersila di atas kasur lipat di ruang keluarga rumahnya yang sederhana dia menerima kedatangan sejumlah tamu mulai dari kerabat dekat hingga tetangga dan mulai bercerita.
Kecelakaan maut di Selat Bali pada malam 7 Suro itu masih menyisakan memori yang begitu nyata. Teriakan puluhan manusia yang sedang panik di bahtera yang sedang karam itu masih terngiang memenuhi kedua rongga gendang telinganya. Dia menghela nafas berat dan mencoba menceritakan kembali pengalaman mencekam itu.
Ketika kapal mulai miring dan air mulai masuk ke palka, Wahyudi mengaku terjebak di antara rongga kapal yang sempit. Dia harus segera menemukan jalan keluar di tengah situasi kapal yang setengah tenggelam tanpa penerangan. Dia berupaya tenang dan mulai menyelam mencari jalan keluar sebelum Kapal Feri itu benar-benar tenggelam.
“Saya napas pelan-pelan di antara rongga kapal lalu kembali menyelam mencari jalan keluar sebelum kapal tenggelam penuh. Kondisi di dalam gelap tak ada cahaya apa pun. Saya gerayah-gerayah (meraba-raba) dan memegangi besi satu-persatu untuk pegangan, saya tidak tahu itu ruang apa,” katanya di hadapan tamunya, termasuk detikJatim, Kamis (10/7/2025).
Sebelum menjadi sopir travel, Wahyudi cukup terlatih menghadapi kelamnya laut saat dirinya masih menjadi pencari ikan yang terbiasa menyelam dengan menggunakan kompresor. Karena itu dia mampu menangani kepanikan di tengah situasi terjebak dalam ruang sempit yang gelap dan penuh pembatas besi.
Matanya perih, jantungnya berdegup kencang, dengan perlahan dirinya mengatur ritme menyelam dan terus memejam untuk melindungi matanya dari air asin. Pada saat seperti itu dia mengandalkan instingnya. Dia terus merayap dengan mata terpejam untuk bisa lolos dari ruangan sempit itu hingga kepalanya beberapa kali terbentur besi.
“Pelan-pelan saya merayap dan kepala saya ini terbentur besi berkali-kali sampai 4 kali apa ya. Beruntung saya tidak pingsan,” ujarnya.
Upaya keras itu membuahkan hasil. Kepalanya tak lagi menyentuh besi pembatas dan tubuhnya mulai merasakan ruangan yang lebih lega. Dari situ dia berpikir bahwa tubuhnya sudah jauh dari jepitan ruang sempit sehingga dia pun terus melaju mencari jalan keluar dari kapal untuk menuju permukaan laut.
“Saya berpikir kalau kepala saya sudah tidak terbentur itu berarti memang benar jalan keluarnya,” kisahnya.
Dia berhasil keluar dari kapal dan terus berenang ke permukaan menjauh dari badan KMP Tunu Pratama Jaya. Beberapa kali tubuhnya terempas ombak, tapi dia tetap mengikuti alunan gelombang dengan terus mengayuh lengah menjauhi titik kecelakaan.
Mendekati permukaan, dia temukan sebongkah kayu berukuran 1 meter. Dia meraihnya dan kembali mengarungi lautan. Da juga menemukan helm yang terantuk tubuhnya lalu menjadikannya pelampung. Wahyudi tak sempat mengambil pelampung yang tersedia di kapal yang tenggelam itu.
“Setelah itu saya naik kayu ada sekitar 1 meter, terus tangan saya mengayuh dan nemu helm itu, terus saya naik helm,” ujar Wahyudi.
Saat dirinya sudah berupaya di tengah lautan, dia berupaya berteriak sekuat tenaga untuk mencari pertolongan. Tak satu pun pertolongan yang datang hingga dirinya dengan samar-samar melihat sebuah perahu yang dia perkirakan jaraknya kurang lebih 7 meter. Dia berupaya semakin keras mengayuh lengan dan menjejakkan kaki di dalam air.
“Terus saya itu teriak minta tolong itu dan kapal itu seperti dekat padahal kapal itu jauh sekali, terus saya melihat ada perahu karet itu terus saya naik itu ada sekitar 13 atau 14 orang itu di sana. Saya naik perahu karet itu. Tidak lama kemudian naik satu orang hingga total ada 16 orang terdiri dari 15 laki-laki 15 dan 1 perempuan,” katanya.
Selama 7 jam Wahyudi dan 16 orang selamat lainnya mengarungi lautan tanpa arah. Saat langit mulai terang mereka mencoba mengayuh perahu menuju tepian dengan mengandalkan kemampuan pemetaan lokasi selat bali. Tak peduli kemana tujuannya, yang terpenting adalah mencapai daratan.
“Saya berenang itu sekitar 1 jam, terus naik perahu itu sekitar 7 jam baru ketemu orang dan dibawa ke pinggir itu sekitar pantai cekik,” ujar Wahyudi.
Di tengah pikiran yang berkecamuk, Wahyudi terus mengayuh lengannya untuk keluar dari bahaya hingga ia berhasil selamat dengan menumpang perahu karet berisi 16 orang. Ada trauma mendalam di benak Wahyudi tetapi itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus bekerja sebagai seorang sopir Travel.

(dpe/abq)