Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Sound Horeg sebagai Subkultur – TIMES Banyuwangi

sound-horeg-sebagai-subkultur-–-times-banyuwangi
Sound Horeg sebagai Subkultur – TIMES Banyuwangi

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Selama beberapa tahun terakhir, banyak orang memperbincangkan fenomena sound horeg. Perbincangan itu disebabkan oleh segala hal yang disebabkan oleh “kebisingan” suara dan aktivitas yang dilakukan dalam sound horeg, atau juga disebut battle sound (adu suara). 

Sejak kemunculannya, sound horeg memang selalu diperdebatkan oleh banyak pihak. Bahkan di kalangan ulama Jawa Timur sampai mengeluarkan fatwa “haram” atas kegiatan seni musik kontemporer tersebut.

Fatwa yang diputuskan dalam Forum Satu Muharram (FSM) 1447 Hijriah di Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan itu mengundang respons pro dan kontra dari masyarakat, khususnya di Jawa Timur. Alasan hukum (‘illat hukm) fatwa pengharaman sound horeg itu ada dua: menggangu dan memicu orang untuk melakukan kemaksiatan. Oleh karena itu para ulama Jawa Timur, terutama KH. Muhibbul Aman, mendorong pemerintah untuk membuat aturan-aturan khusus mengenai masalah tersebut.

Jika kita melacak akar sejarah kegiatan yang menjadi polemik di tengah masyarakat itu, ternyata sound horeg atau battle sound bercokol dari Bumi Blambangan. Sejak tahun 1980-an, masyarakat Desa Sumbersewu memiliki tradisi “takbir keliling” menggunakan sound system berukuran kecil. Kemudian lambat laun tradisi itu berkembang sebagaimana yang kita ketahui saat ini. 

Bermula dari tradisi kecil-kecilan, takbir keliling berubah menjadi besar dan gegap gempita. Bahkan masyarakat dari desa lain dan luar kota berbondong-bondong ikut memeriahkan acara battle sound yang semula digelar di lapangan Desa Sumbersewu.

Kalau demikian, berarti sound horeg itu bisa dianggap sebagai subkultur (subculture). Hal ini bukan tanpa dasar, sebab dalam kajian budaya (cultural studies), subkultur memang telah dijadikan salah satu ciri khas di dalam kebudayaan populer (popular culture). 

Menurut Chris Barker dalam Cultural Studies: Theory and Practice (2003) memahami subkultur sebagai keseluruhan cara hidup atau peta makna yang membuat kelompok tertentu memahami kehidupan. 

Kemudian, dalam Subculture: The Meaning of Style (2002), Dick Hebdige menengarai subkultur sebagai sebuah “kebudayaan” di dalam kebudayaan (yang dominan). Artinya, subkultur merupakan representasi dari kelompok sosial yang mengembangkan pola-pola kehidupan dan ekspresi yang berbeda dari budaya dominan.

Sehingga, dari uraian di atas, sound horeg yang menjadi tren di Jawa Timur adalah subkultur masyarakat yang berkembang karena berusaha dihidupkan oleh kelompok atau komunitas tertentu. Dalam konteks sound horeg, tentu subkultur ini berkaitan erat dengan kesenian musik kontemporer dengan ciri memutar lagu menggunakan sound system berukuran besar yang mampu mengeluarkan suara yang “menggetarkan” (Jawa: horeg). 

Selain itu, fenomena budaya sound horeg memiliki keunikan yang membedakan dirinya dengan budaya lain, seperti Tari Gandrung, Jaranan, Reog, Janger, atau seni musik pop, misalnya disc jockey (Dj), remix, dan seterusnya.

Sudah menjadi konsekuensi logis, bahwa fenomena sound horeg menimbulkan dampak yang cukup serius karena kebisingan suara dan aktivitas yang dilakukan. Namun, menolak secara membabi buta terhadap eksistensi sound horeg sebagai subkultur, menurut saya, sikap yang kurang tepat untuk tidak mengatakan cara pandang yang “sempit”. 

Suka atau tidak, bagaimanapun, kita harus jujur bahwa sound horeg adalah subkultur yang berada di tengah-tengah kehidupan kita saat ini. Oleh karena itu, menjadikan “fatwa haram” untuk menuntut pemerintah “melarang” sama sekali kegiatan sound horeg adalah “penindasan” sistemik terhadap budaya masyarakat itu sendiri. 

Fatwa yang berbunyi “sound horeg haram” itu bersifat nisbi (relatif), tidak absolut (final). Perbedaan sangat mungkin terjadi di kalangan para ulama dengan mempertimbangkan berbagai aspek mengenai sound horeg. Sehingga interpretasi ulama Jawa Timur mengenai hal itu tidak boleh dianggap “tunggal” dan “final”. 

Cara pandang terhadap fatwa Pondok Besuk itu lebih tepat dipahami sebagai ijtihad kolektif sebagian ulama yang kemudian menjadi salah satu referensi (dari sisi hukum Islam) pemerintah dalam mengambil kebijakan mengenai sound horeg. 

Menurut saya, selain perspektif hukum, kita juga harus membaca fenomena sound horeg itu dari berbagai sudut. Salah satunya sudut kebudayaan. Sebagaimana yang telah saya singgung di atas, dalam lanskap cultural studies, fenomena sound horeg termasuk ke dalam subkultur masyarakat kita. 

Jika sound horeg adalah subkultur, maka tidak ada larangan untuk melestarikannya. Tentu pelestarian subkultur ini harus berlandaskan prinsip-prinsip demokratis dan “tepa selira” (tenggang rasa) yang selama ini kita jadikan acuan bersama. 

Selain itu, peran pemerintah dalam persoalan ini benar-benar sangat dibutuhkan melalui kebijakan khusus yang membuat seluruh pihak (pro-kontra) sama-sama “legawa”. 

***

*) Oleh : Dendy Wahyu Anugrah, Pemuda Banyuwangi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman