TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Langkah Kejaksaan Negeri (Kejari) Banyuwangi yang melarang wartawan melakukan wawancara di lingkungan kantor kejaksaan saat peliputan kasus dugaan korupsi Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) Tamansuruh tahun anggaran 2020–2024, menuai sorotan tajam. Larangan tersebut disampaikan oleh seorang petugas keamanan bernama Hendrik pada Senin (30/6/2025), ketika sejumlah awak media hendak meliput pemeriksaan para pihak yang diperiksa dalam perkara tersebut.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Hendrik menjelaskan bahwa aktivitas wawancara di area Kejari Banyuwangi harus mendapatkan izin dari Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus), Rustamaji Yudica Adi Nugraha.
“Ngapunten (maaf), wawancara di area kejaksaan harus mendapat izin dari Pak Kasi-nya. Tadi saya sudah konfirmasi ke PTSP, dan katanya setelah berbicara dengan staf Pak Rustam, tidak diizinkan,” kata Hendrik.
Transparansi Kejari Banyuwangi Dipertanyakan
Situasi ini menimbulkan pertanyaan publik: ada apa di balik penanganan perkara ini? Sebab, larangan wawancara terhadap wartawan di kantor kejaksaan merupakan langkah yang tidak lazim, terlebih dalam kasus yang menyangkut dugaan korupsi dana publik.
Perkara yang sedang ditangani ini berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan anggaran Dana Desa dan ADD di Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Sejumlah pihak, termasuk Sekretaris Desa Tamansuruh, Makruf, dan Camat Glagah, Joko Kuncoro, telah dipanggil untuk dimintai keterangan.
Namun ketika wartawan mencoba mewawancarai pihak-pihak terkait, larangan kembali ditegaskan oleh petugas keamanan.
“Silakan melakukan wawancara di luar pagar kejaksaan. Yang penting sudah di luar area kantor,” ujar Hendrik lagi.
Sorotan terhadap Kebebasan Pers dan Akuntabilitas Publik
Tindakan pembatasan terhadap aktivitas jurnalistik ini dinilai berpotensi melanggar prinsip kebebasan pers yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Lebih dari itu, larangan tersebut menimbulkan kekhawatiran akan kurangnya transparansi dalam proses penegakan hukum—khususnya dalam perkara yang menjadi perhatian publik.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Banyuwangi, Syamsul Arifin atau yang akrab disapa Mas Bono, menyayangkan tindakan tersebut. Menurutnya, selama tidak mengganggu jalannya proses pemeriksaan di ruang tertutup, area kantor kejaksaan tetap merupakan ruang publik yang tidak semestinya dibatasi bagi jurnalis.
“Dan melarang wartawan melakukan wawancara, hingga meminta wawancara hanya dilakukan di luar pagar kantor kejaksaan, itu jelas perbuatan yang menghalang-halangi dan mencederai kemerdekaan pers,” tegas Syamsul.
Sebagai bentuk tindak lanjut, IJTI Banyuwangi berencana berkoordinasi dengan organisasi pers lain, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banyuwangi. Kolaborasi ini dilakukan untuk memperjuangkan kemerdekaan pers sekaligus memastikan tidak ada tindakan dari pihak mana pun yang dapat mengancam atau menghambat tugas jurnalistik.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Kejari Banyuwangi, khususnya Kasi Pidsus Rustamaji Yudica Adi Nugraha, belum memberikan pernyataan resmi terkait alasan di balik pelarangan wawancara tersebut.
Syamsul berharap Kejari Banyuwangi bisa lebih terbuka dan menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas serta keterbukaan informasi publik dalam menangani kasus yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
“Penanganan kasus korupsi harus bisa diawasi oleh publik, termasuk melalui media,” katanya.
Kini, perhatian publik tidak hanya tertuju pada dugaan penyalahgunaan DD dan ADD di Tamansuruh, tetapi juga pada kebijakan Kejari Banyuwangi dalam merespons kerja jurnalistik. Masyarakat menunggu penjelasan resmi terkait dasar pelarangan tersebut, apakah semata-mata prosedural atau ada pertimbangan lain yang belum diungkapkan.(*)
Pewarta | : Syamsul Arifin |
Editor | : Imadudin Muhammad |