Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Amunisi Literasi Santri

PONDOK pesantren, sejak dahulu telah menjadi Kawah Candradimuka pembentukan karakter, moral, dan intelektual umat. Namun di era digital dan informasi yang deras mengalir tanpa filter, santri dituntut untuk tidak hanya mahir membaca kitab kuning, tapi juga piawai membaca dunia.

Di sinilah literasi menjadi amunisi utama yang tak boleh ditinggalkan. Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis. Literasi adalah daya nalar, kepekaan terhadap sekitar, serta kemampuan memilah informasi dan mengolahnya menjadi pengetahuan yang berguna.

Santri yang literat mampu menjawab tantangan zaman, bahkan melampauinya. Ia bisa menjadi ulama, penulis, jurnalis, pemimpin, bahkan inovator.

Sayangnya, masih ada pandangan bahwa santri cukup berkutat dengan kitab klasik, dan tidak perlu sibuk dengan buku-buku kontemporer atau isu-isu global. Pandangan ini tak hanya keliru, tapi juga membatasi potensi besar para santri.

Bukankah dulu para ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari atau KH Ahmad Dahlan adalah sosok yang sangat terbuka pada literasi dan ilmu pengetahuan luas?

Kini, kita menyaksikan geliat baru di banyak pesantren. Gerakan literasi mulai tumbuh. Banyak pesantren mendirikan perpustakaan modern, komunitas menulis, hingga media internal seperti buletin atau majalah pesantren. Ini adalah kabar baik.

Santri tidak lagi hanya membaca, tapi juga menulis. Mereka tidak hanya mengaji, tapi juga berdiskusi dan menyampaikan gagasan melalui tulisan. Di sinilah santri bukan hanya penerus tradisi, tapi juga pemikul estafet perubahan.

Santri masa kini adalah digital native. Mereka terbiasa bersentuhan dengan gadget dan media sosial. Ini adalah peluang besar untuk mengembangkan literasi digital -sebuah bentuk literasi baru- yang menuntut kemampuan menyaring informasi, berpikir kritis, dan menciptakan konten yang bermanfaat. Namun tantangan besarnya adalah bagaimana membimbing santri agar tidak terjerumus dalam arus digital yang penuh distraksi dan konten negatif.

Santri sejatinya sudah memiliki fondasi kuat untuk menjadi insan literat. Tradisi ngaji kitab kuning, diskusi antar-santri, bahkan debat antar-madzhab, adalah bentuk literasi kritis yang telah berlangsung selama berabad-abad. Namun sayangnya, tradisi ini belum sepenuhnya terdokumentasi dan diaktualisasikan dalam medium yang lebih luas, seperti tulisan populer, karya ilmiah, atau konten digital.

Amunisi literasi santri bukan hanya buku. Internet, jika digunakan dengan bijak, bisa menjadi tambang ilmu. Media sosial bisa menjadi sarana dakwah dan edukasi, bukan sekadar tempat menyebar hoaks atau debat kusir. Maka perlu pendampingan yang kuat dari para kiai, ustad, dan pengelola pesantren untuk menjadikan literasi sebagai budaya, bukan sekadar program seremonial.

Tantangan memang tak sedikit. Fasilitas yang terbatas, akses bacaan yang kurang variatif, hingga masih rendahnya minat baca, adalah pekerjaan rumah (PR) yang besar. Tapi seperti kata pepatah Arab, man jadda wa jada -siapa yang bersungguh-sungguh, akan menuai hasil. Santri adalah kaum yang terbiasa hidup dalam keterbatasan, tapi tidak pernah kehabisan semangat. Maka literasi bisa menjadi jalan jihad intelektual baru untuk para santri

Sudah saatnya kita mengubah citra santri. Santri bukan hanya ahli ibadah, tapi juga agen perubahan sosial. Santri bukan hanya penjaga moral, tapi juga pemikir dan komunikator ulung. Santri bukan hanya mengkaji, tapi juga mencipta. Dan semua itu berawal dari literasi -membaca, menulis, dan menyampaikan gagasan- dengan santun dan tajam. (*)