Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Event  

Festival Ngopi Sepuluh Ewu, Sekali Seduh Kita Bersaudara

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

BANYUWANGI – Ribuan orang memadati jalan utama di Desa Adat Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Sabtu (10/11/2018) malam dalam acara Festival Kopi Sepuluh Ewu.

Ribuan orang yang sebagian besar wisatawan berkumpul untuk menikmati kopi bersama di desa adat yang terletak di Kecamatan Glagah itu.

Kemiren adalah basis masyarakat Suku Osing (masyarakat asli Banyuwangi) yang menggelar festival 10 ribu cangkir kopi.

Pada malam itu di sepanjang jalan di depan rumah warga, tersedia bangku, tikar, dan tempat duduk lainnya.

Pengunjung bebas memilih singgah di rumah warga untuk menikmati seduhan kopi yang disuguhkan secara gratis.

Selain kopi, warga juga menyediakan jajanan tradisional untuk para pengunjung, seperti pisang goreng, apem, kucur, klemben, dan lainnya.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, tradisi meminum kopi bersama ini tak sekadar festival, melainkan ada makna filosifis, merupakan tradisi, hingga mampu menggeliatkan roda ekonomi.

“Festival ini sebagai undangan kepada seluruh orang untuk datang dan merasakan kehangatan warga Desa Kemiren dalam menyambut tamu,” kata Anas.

Anas mengatakan bahwa filosofi masyarakat Desa Kemiren adalah sak corot dadi seduluran, yang artinya sekali seduh kita menjadi bersaudara.

“Dengan meminum kopi bersama, kita bersilaturahim. Orang dari berbagai daerah jadi satu di sini, bersenda-gurau, padahal sebelumnya mereka belum saling kenal,” ujarnya.

Menurut Bupati, sudah sejak lama masyarakat Desa Kemiren memiliki tradisi menyuguhkan kopi kepada para tamunya.

Suguhannya pun khas, yaitu tak menggunakan gelas, tapi menggunakan cangkir khusus yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Tak heran, cangkir yang digunakan di setiap rumah dalam festival ini pun seragam karena merupakan cangkir yang telah diturunkan dari generasi sebelumnya.

“Tradisi masyarakat Kemiren yang suka berbagi inilah yang menjadi ruh dari festival ini, sehingga memiliki nilai lebih dibanding festival kopi lainnya,” ujar Anas.

Ia menambahkan, festival ini juga bertujuan menggerakkan sektor ekonomi kreatif berbasis kopi. Pasar kopi di Indonesia masih sangat terbuka, apalagi pasar ekspor.

Indonesia adalah produsen kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam dan Kolombia. Tiap tahun Indonesia memproduksi sekitar 670 ribu ton, tapi masyarakat Indonesia bukan peminum kopi terbesar.

“Negara peminum kopi terbesar adalah Finlandia dengan 12 kilogram per orang per tahun. Konsumsi kopi Indonesia baru 1,7 kilogram per orang per tahun. Tapi trennya terus naik. Nah ini peluang yang bisa diincar,” ujarnya.

Anas juga menyebut bagaimana penetrasi Starbucks yang punya lebih dari 20 ribu kedai kopi di seluruh dunia.

Demikian pula beragam kedai kopi lainnya yang mampu mengolah kopi asal Indonesia menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.

“Banyuwangi punya potensi kopi luar biasa. Sekarang banyak anak muda menggarapnya dengan kemasan menarik. Penjualannya cukup besar, terutama lewat online. Karena itulah, Banyuwangi juga menggelar Coffee Processing Festival untuk meningkatkan daya saing penggerak kopi,” ujarnya.

Ia menjelaskan produksi kopi Banyuwangi berkisar 9.000 ton per tahun dengan luasan lahan hampir 8.500 hektare. Sekitar 90 persen dari produksi itu dikirim ke berbagai daerah dan diekspor melalui BUMN perkebunan.

Dengan festival berbasis kopi, Anas berharap kreativitas para penggeraknya terus meningkat. Anas lalu mengutip pendapat pendiri Alibaba, Jack Ma, tentang tiga hal yang harus disiapkan untuk menghadapi revolusi industri 4.0.

“Jack Ma bilang ada tiga hal yang disiapkan, yaitu e-government, education dan entrepreneurship. Entrepreneurship berbasis kreativitas inilah yang perlu terus dipupuk, termasuk lewat sektor kopi,” katanya.