Detik.com
Ratusan aparat diterjunkan untuk mengamankan situasi, termasuk mencari Wirjo dalam persembunyian. Pos-pos komando untuk memburu Wirjo didirikan di berbagai tempat oleh para personel gabungan dari Polres Banyuwangi, Kodim 0825/Banyuwangi, serta batalion infanteri Kostrad dan TNI AL.
Dikutip koran Kompas edisi 16 April 1987 dan majalah Tempo edisi 25 April 1987, tragedi pembantaian itu bermula ketika Wirjo tengah mengasah celurit dan parang yang biasa digunakan untuk memotong rumput di belakang rumahnya pada Rabu, 15 April 1987, pagi. Ketika mengasah kedua perkakas itu, Wirjo hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada.
Saat mengasah celurit dan parang itu, mata Wirjo tak henti-hentinya mengawasi anak angkatnya, Sri Reny, 4 tahun, yang tengah bermain dengan riang bersama teman sebayanya, Arbaiyah, di depan rumah. Entah apa masalahnya, sekonyong-konyong Wirjo lari mengejar Reny sambil mengacungkan senjatanya. Dia langsung menebaskan celurit itu ke arah Reny, tapi korban dapat berkelit dan lari menghindar.
Melihat sasarannya lolos, Wirjo malah menyasar Arbaiyah, yang dekat dengannya. Bocah malang itu pun langsung tersungkur dengan luka yang mengenaskan. Reny menjerit langsung lari menuju ibunya, Indirah, 32 tahun, yang berada di sawah. Ibu dan anak yang ketakutan itu langsung berlari menuju jalan kampung untuk meminta pertolongan.
Wajah Wirjo datar, tak ada ekspresi apa pun. Dia membiarkan istri dan anak angkatnya itu lari begitu saja. Sejurus kemudian, Wirjo malah mendatangi rumah Maskur, 80 tahun, yang berada di sebelah rumahnya. Dia masuk melalui pintu dapur di belakang rumah. Dia mendapati istri Maskur, Mursiyah, 43 tahun, tengah menanak nasi.
Tanpa menyapa, Wirjo langsung masuk dan menebas perempuan itu tanpa ampun. Satu kali jeritan mengakhiri hidup Mursiyah. Lehernya terluka hebat akibat sabetan celurit. Mendengar kegaduhan di dapur, Maskur mendatanginya. Tapi, karena tubuhnya sudah renta, Maskur tak bisa membela diri ketika Wirjo menyerangnya. Tubuh Maskur pun langsung ambruk tak bernyawa lagi di tempat kejadian.
Seperti orang tak takut berdosa, Wirjo terus menenteng celurit dan parang di tangannya sambil berjalan kaki. Siapa pun yang ditemuinya langsung menjadi sasaran amukannya, termasuk Gimin. Tapi Gimin bisa menghindari serangan dan lari meminta tolong kepada tetangga lainnya. Mereka lalu mengejar Wirjo, yang berjalan menuju persawahan tak jauh dari aliran Sungai Galung.
Begitu sampai di pematang sawah, bukan Wirjo yang ditemukan. Warga menemukan jasad Mak Isah, 40 tahun, sudah tergolek bersimbah darah. Korban dibunuh Wirjo ketika tengah menyabit rumput. Warga melihat dari kejauhan, Wirjo, terus berjalan di pematang sawah sambil mengacung-acungkan parang dan celurit yang berlumuran darah.
Di sana Wirjo berpapasan dengan Istianah, 15 tahun, pelajar SMP Kosgoro. Wirjo langsung memburu gadis tersebut. Istianah lalu menjerit dan lari balik arah untuk menghindari amukan Wirjo. Wirjo berhasil mengejar dan langsung membabat leher gadis remaja itu. Seketika tubuh Istianah roboh bersimbah darah.
Warga dan pengurus RT setempat langsung mengejar Wirjo yang lari entah ke mana. Alih-alih menemukan Wirjo, warga justru mendapati tubuh Mbok Suwendah, 73 tahun, dan Mbah Taman, 75 tahun, sudah tergeletak tanpa nyawa. Kedua korban mengalami luka menganga di lehernya dan nyaris putus. Akhirnya penduduk sibuk mengurus tubuh-tubuh korban yang bergelimpangan di tanah.
Sementara itu, Wirjo terus membabi buta mencari sasaran lainnya. Dia bertemu dengan Djami, anggota Keamanan Rakyat (Kamra), di depan rumahnya. “Wir, ono paran (ada apa)?” tanya Djami kepada Wirjo. Bukannya mendapat jawaban, Djami pun tak luput diserang Wirjo. Djami, yang dikenal pintar silat, menangkis serangan Wirjo. Tapi sayang, dua jari tangan Djami putus ketika menangkis celurit Wirjo.