Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Mengenal Angklung Banyuwangian yang Ada Sejak Zaman Kerajaan Blambangan

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Detik.com


Banyuwangi

Angklung merupakan alat musik tradisional yang terbuat dari bambu yang berasal dari Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat. Seiring berjalannya waktu, permainan angklung menyebar ke beberapa wilayah, salah satunya di Banyuwangi, yang dikenal dengan nama Angklung Banyuwangian.

Di Jawa Barat, alat musik ini dimainkan di beberapa upacara tradisional. Angklung juga dikaitkan dengan mitos Nyai Sri Pohaci atau Dewi Sri sebagai lambang dewi padi. Mulanya, angklung digunakan masyarakat desa pada upacara penghormatan dan persembahan terhadap Dwi Sri agar lahan pertanian mereka tumbuh subur.

Bagi yang belum tahu, berikut ini perkembangan angklung di Banyuwangi dikutip dari karya ilmiah Dinamika Kesenian Tradisional ‘Angklung Caruk’ Kabupaten Banyuwangi tahun 1999-2018 oleh Arista Nortaviana.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perkembangan Angklung Banyuwangian

Pada 1942, ketika Indonesia berada dalam masa penjajahan Jepang, masyarakat Banyuwangi menciptakan kreasi baru menggunakan instrumen angklung untuk mengiringi tembang Using.

Usut punya usut, keberadaan angklung ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Blambangan. Kemudian, alat instrumen ini banyak dimanfaatkan sebagai pengiring berbagai jenis tarian. Hingga akhirnya, seorang pemusik andal dari Temenganggungan Mohammad Arif menciptakan angklung untuk mengiringi tembang Using.

Angklung Banyuwangi merupakan alat musik yang terbuat dari bilahan atau tabung bambu, yang disusun dari nada terendah hingga tertinggi. Nada tersebut tersusun dalam tangga nada selendro khas Banyuwangian.

Angklung ini biasanya disusun dalam tiga oktaf tangga nada pentatonik selendro Banyuwangian sebanyak 15 nada. Nada rendah terletak pada bagian kiri penabuhnya, dan disusun berurutan sampai nada tinggi terletak di sebelah kanan.

1. Angklung Paglak

Pada 1926, masyarakat petani menggemari Angklung Pagrak. Jenis angklung ini selalu dimainkan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.

Nama Paglak sendiri berarti gubuk yang tinggi dan terletak di tengah sawah. Alat musik ini untuk menjaga hamparan padi yang sedang menguning dari serangan hama burung-burung sawah.

Terdapat sebuah Paglak serta gubuk kecil dengan bambu-bambu berukuran panjang sebanyak kurang lebih tujuh buah dengan uluran benang yang memanjang, dan tambahan sebanyak lima buah bambu sebagai penyangga gubuk di atas atau yang biasa disebut Ondho Lanang.

Jenis angklung ini diciptakan dari gagasan para petani Using yang sedang mengalami kegagalan panen karena lahan pertanian mereka terserang penyakit hama. Masyarakat Using yang masih mempercayai mistis dan mitos yang berkembang, berupaya melakukan persembahan kepada Dewi Sri, yakni menggunakan kesenian yang memanfaatkan jenis tanaman bambu yang banyak tumbuh di Desa Kemiren.

2. Angklung Caruk

Kesenian angklung yang semakin digemari mendorong beberapa pemain musik di berbagai daerah mendirikan komunitas angklung. Bahkan, mereka menggelar pertandingan atau kompetensi antar grup yang disebut Angklung Caruk.

Pada 1938, Angklung Caruk mulai banyak dimainkan. Angklung Caruk adalah pertunjukan kompetisi atau perlombaan musikal terdiri dari dua grup angklung. Mereka saling berhadapan dan bergantian memainkan gaya dalam lagu menggunakan bahasa Using yang berisi pesan untuk para penonton.

Istilah Caruk diambil dari kata Kecaruk yang bermakna bertemu. Pertemuan yang dimaksud adalah pertemuan antar dua kelompok seniman angklung yang saling mengadu kemampuan musikal mereka.

Dua kelompok tersebut ditampilkan dalam satu panggung. Masing-masing dari mereka akan memperlihatkan kemampuan secara bergantian dan diiringi sejumlah tembang Banyuwangian untuk merebut gelar sebagai kelompok kesenian terbaik.

3. Instrumen Angklung Caruk

Ada beberapa alat atau sarana yang digunakan dalam pertunjukan Angklung Caruk, yakni sebagai berikut.

Angklung

Angklung di Banyuwangi biasanya memiliki hiasan ular melingkar berkepala satria, seperti halnya dalam pertunjukan wayang Jawa Ontoseno dan Ontorejo. Hiasan ini menggambarkan nasehat kepada pemain angklung bahwa sepanas apapun situasi, pertunjukan Angklung Caruk harus tetap terjalin.

Saron, Peking, Selentem

Instrumen ini terbuat dari lempengan logam besi, baja, atau bahan lainnya dengan berbentuk pipih melengkung. Ada empat persegi panjang yang disusun berdasarkan nada-nada tertentu.

Gong dan Kethuk

Gong terbuat dari logam, baja, drum atau logam lainnya yang berbentuk lingkaran dan diberi kupingan atau tambahan pinggir berbentuk lingkaran. Begitu pula dengan Kethuk, akan tetapi ukurannya lebih kecil.

Kendang

Kendang asal Banyuwangi ini terbuat dari kayu, biasanya menggunakan bonggol atau batang bagian bawah pohon kelapa. Instrumen ini dimanfaatkan sebagai unsur pengatur tempo.

Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.

Simak Video “Angklung Paglak, Seni Musik yang Berbalut Tradisi Panen Padi, Banyuwangi
[Gambas:Video 20detik]
(irb/sun)

source