KEMAJUAN generasi yang didukung dengan keberadaan teknologi, berpeluang besar dalam membangun sumber daya manusia (SDM) dengan potensi tinggi dan kompeten.
Masuknya akses pada media sosial (medsos), seperti Instagram dan Tiktok, memberikan ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai platform yang dapat mendukung produktivitas dan kelangsungan hidup. Tentunya, platform media sosial terbuka secara luas bagi penggunanya sehingga masyarakat dapat bebas berekspresi kepada sesama pengguna.
Namun, di balik manfaatnya, penyalahgunaan hak beropini pada media sosial kerap terjadi. Maraknya penyebaran hoaks dan kasus perundungan di aplikasi Tiktok menjadi isu yang meresahkan. Fenomena ini tidak hanya melanggar etika, tetapi juga menimbulkan konsekuensi hukum yang serius.
Penyebaran hoaks melalui aplikasi Tiktok sering dilakukan dengan motif meningkatkan popularitas atau sensasi semata. Aktivitas ini sering ditemukan berupa opini pada kolom komentar maupun video Tiktok.
Contohnya, sebuah video yang menyebarkan informasi tidak benar tentang seorang artis yang dituduh selingkuh, dapat merusak reputasi pihak yang menjadi korban. Kasus seperti ini seringkali memicu perdebatan yang melibatkan ribuan pengguna. Sehingga kondisi tersebut memperparah dampak negatifnya.
Selain itu, perundungan di aplikasi Tiktok juga menjadi masalah yang tidak kalah serius. Penggunaan fitur komentar untuk menghina warna kulit seseorang, menunjukkan rendahnya kesadaran etika di kalangan pengguna.
Perundungan semacam ini tidak hanya melukai korban secara emosional. Tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Seperti yang tertera pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang melarang penghinaan dan pencemaran nama baik.
Dampak yang dibuat sangat berpengaruh pada korban, baik secara rohani maupun jasmani. Penyebaran informasi palsu dapat menciptakan ancaman dan kebencian pada individu sehingga berujung dengan kerusakan reputasi dan dampak psikologis. Bullying terhadap warna kulit dapat memperkuat stereotip negatif dan memperburuk rasisme dalam masyarakat.
Pelanggaran ini bertentangan dengan prinsip etika komunikasi, yang mengedepankan tanggung jawab dalam mengekspresikan pendapat. Hak kebebasan beropini seharusnya tidak digunakan untuk merugikan orang lain. Baik merugikan secara fisik maupun psikis.
Sayangnya, anonimnya dunia maya sering kali dimanfaatkan untuk melakukan tindakan tidak bermoral, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan. Dalam upaya mengatasi hal ini, platform media sosial, seperti Tiktok harus memperkuat sistem moderasi menggunakan teknologi artificial intelligence (AI). Serta melibatkan tim manusia untuk memantau konten yang melanggar aturan.
Kampanye yang bersifat edukatif pun dapat diterbitkan untuk meningkatkan literasi digital pengguna. Secara sistem internal, Tiktok dapat melakukan penyederhanaan mekanisme pelaporan konten yang melanggar dan pemberian sanksi. Seperti pemblokiran akun atau larangan penggunaan aplikasi sementara. Untuk menangani kasus tersebut, Tiktok dapat berkolaborasi dengan pihak berwenang untuk menindaklanjuti kasus yang memiliki unsur pelanggaran hukum.
Penyalahgunaan hak mengekspresikan pendapat pada platform media sosial Tiktok, seperti penyebaran hoaks dan bullying, tidak hanya melanggar etika. Tetapi hal ini juga berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum.
Maka dari itu, sangat diperlukan peran aktif dari semua pihak, baik para pengguna, pengelola platform, maupun pemerintah, untuk menciptakan lingkungan digital yang sehat. Tiktok memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memastikan platformnya tidak menjadi sarana penyebaran keburukan. Dengan langkah yang berjalan dengan hukum, Tiktok diharapkan dapat menjadi ruang yang aman dan positif bagi penggunanya. (*)