Jember. 26 Oktober 2025. Bukan hanya hujan yang riuh di bulan Oktober, ada juga yang tak kalah riuh menderu bak gemuruh hujan dalam perayaan puisi oleh para penyair serumpun atau ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darus Salam, Thailand, dan Timor Leste) yang berlangsung di Seger Nusantara Jember. Kegiatan Temu Karya Serumpun berlangsung selama 2 hari di tempat dan topik yang berbeda. Pada hari pertama berlangsung di Seger Nusantara tanggal 25 Oktober 2025. Acara pembuka yakni Dialog Sastra Penyair Serumpun yang mendatangkan narasumber dari Thailand, peneliti, pengamat, dan aktivis komunitas sastra di Indonesia. Abas Salae, salah satu tokoh sastra dari Pattani, menyoroti pentingnya hubungan budaya dan bahasa dalam mempererat persaudaraan antara penyair-penyair di kawasan Asia Tenggara. Ia menekankan bahwa kesamaan sejarah dan pengalaman hidup masyarakat serumpun menjadi sumber inspirasi yang kaya bagi karya sastra.
Penyair Muhammad Asqalani E dari Riau membagikan kisah pribadinya tentang bagaimana trauma masa lalu membentuk dirinya menjadi penulis puisi. Ia mengungkapkan bahwa rasa sakit dan kehilangan justru menjadi bahan bakar kreativitas yang mengantarnya pada kedalaman makna dalam setiap bait puisinya. Narasi tersebut diperkuat oleh kajian teoritis oleh Rakmat Faisal dari UNESA Surabaya. Kemudian dilanjutkan oleh Nurul Ludfiah (aktivis sastra Banyuwangi), Faidi Rizal Alief (Damar Korong Sumenep, Madura), Muhammad Lefand (Sastra Timur Jawa), Yogira Yogaswara (Komunitas Sastra Ciwedey, Jawa Barat) yang dipandu langsung oleh Fitri Nura Murti dosen FKIP UNEJ.
Sementara itu, Tengsoe menambahkan bahwa dialog lintas negara ini bukan sekadar pertemuan para penyair, tetapi juga ruang berbagi pengalaman dan refleksi tentang kondisi kemanusiaan di kawasan. Ia berharap kegiatan semacam ini terus dilakukan agar puisi tetap menjadi jembatan antara perbedaan budaya dan bahasa.
Pada sesi kedua, yakni Peluncuran dan Bedah Buku, Prof. Taufiq memaparkan bahwa tema besar yang diusung, yakni Semesta ingatan: Trauma dan Imajinasi Kebebasan” menggambarkan perjalanan batin manusia dalam menghadapi luka sejarah dan menemukan makna kebebasan melalui sastra. Ia menilai bahwa ingatan kolektif menjadi sumber penting dalam proses penciptaan karya.
Penyair Acep Zamzam Noor menyampaikan pandangannya bahwa trauma tidak selalu berdampak buruk, justru dapat menjadi kekuatan yang mendorong lahirnya karya sastra yang mendalam. Menurutnya, banyak karya besar lahir dari pengalaman personal yang penuh luka, yang kemudian diolah menjadi estetika puitik. Sementara menurut Adziah Abd Aziz, penulis asal Malaysia menekankan bahwa kreativitas dan imaji kebebasan harus memiliki pedoman-pedoman kepantasan agar tidak mengganngu sesama penulis.
Mashuri menutup sesi dengan menegaskan pentingnya bahasa dalam dunia sastra. Ia menjelaskan bahwa dalam kurasi puisi, ketepatan penggunaan bahasa menjadi penentu utama kualitas karya. “Kalau kata depan saja salah, bisa gagal jadi juara satu,” ujarnya, menekankan bahwa keindahan puisi lahir dari kedisiplinan berbahasa yang tinggi (Miskawi)







