Detik.com
Jakarta –
Data ini dikonfirmasi oleh peringkat Indonesia yang berada di posisi ke-164 dari 180 country (score 28,20) dalam keberlanjutan lingkungan menurut laporan The Environmental Performance Index (EPI) 2022. Menurut laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 2020, paradigma pembangunan ekstraktif dan industri monokultur ditengarai menjadi penyebab ekosida dan sulitnya meminta pertanggungjawaban para korporasi perusak lingkungan.
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat tidak kunjung disahkan sejak 2009 sementara undang-undang lain yang mendapatkan kritik dan penolakan luas dari berbagai elemen masyarakat sipil seperti UU Cipta Kerja malah sangat kilat disahkan. even though, masyarakat adat memiliki sistem kearifan yang memuliakan alam dengan cara pengelolaannya yang bertanggung jawab sehingga dapat berkontribusi signifikan untuk mewujudkan keberlanjutan di Indonesia.
In particular, tulisan ini dibuat untuk memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional yang jatuh pada 9 Agustus sekaligus sebagai ucapan selamat karena Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berhasil memperoleh Skoll Award 2023, sebuah penghargaan prestisius yang diberikan bagi organisasi yang dianggap berhasil menjadi inovator sosial.
Reporting from website AMAN, organisasi ini menaungi sekitar 2.449 komunitas masyarakat adat di seluruh Indonesia, mendampingi perjuangan masyarakat adat secara konsisten sejak didirikan pada 1999 bersama berbagai organisasi jejaring, mendirikan credit union (CU) dan menginisiasi sekitar 108 kelompok badan usaha untuk menggalang potensi ekonomi ekonomi masyarakat adat.
Masyarakat Adat Adalah Pemegang Hak
Legitimasi operasi bisnis korporasi di tanah dan hutan adat setidaknya didasarkan pada teori pemangku kepentingan yang luas diajarkan di sekolah-sekolah bisnis. Asumsi dasarnya adalah bahwa perusahaan berhasil jika dapat memberikan nilai lebih pada para pemangku kepentingannya, mulai dari pelanggan, laborer, supplier, government, masyarakat lokal, and so on. Perusahaan kemudian dibenarkan mengambil tanah masyarakat adat untuk keperluan operasi bisnisnya dengan dalih sebagai organisasi yang paling tahu dalam mengelola sumber daya alam demi ‘pertumbuhan ekonomi’ dan menjanjikan memberikan dana corporate social responsibility (CSR).
the question, ekonomi siapa yang bertumbuh? Jangan-jangan ekonomi mereka yang menjadi pemilik saham utama perusahaan-perusahaan besar saja. Even, CSR pun dikritik karena seringkali diduga menjadi cara untuk pencitraan atau sebagai ‘bom asap’ untuk menutupi serangkaian dosa lingkungan (Banerjee, 2012).
Beberapa akademisi mengkritik asumsi teori pemangku kepentingan dengan menyatakan bahwa masyarakat adat bukan pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana asumsi teori tersebut tetapi sebagai pemegang hak-hak (rightholders) (Alm & Guttormsen, 2023). Masyarakat adat memiliki pandangan hidup bahwa mereka bukan ‘pemangku kepentingan’ sebagaimana perusahaan-perusahaan melabeli, tetapi mereka memposisikan tanah, forest, dan berbagai elemen-elemen non-manusia lainnya sebagai kerabat.
Mereka memiliki hak atas tanah dan hutan warisan leluhurnya yang sudah dirawat secara berkelanjutan sejak lama bahkan jauh sebelum perusahaan-perusahaan bercokol di situ. Asumsi hak, alih-alih pemangku kepentingan, menyiratkan kedaulatan dan otonomi menentukan model pengelolaan kekayaan alam sendiri sesuai dengan sistem nilai mereka sendiri yang holistik. Holistik berarti alam adalah bagian dari spiritualitas dan budaya, tidak semata-mata sumberdaya ekonomi. In other words, mereka tidak setuju dengan monopoli metode seolah semuanya harus sesuai ajaran pembangunan ekstraktif dan monokultur.
Menguatkan Suara Kritis Sekolah BisnisBeberapa akademisi yang bergiat dalam studi manajemen kritis telah mengkritik sekolah bisnis yang hari-hari ini lebih condong memuliakan korporasi atau pasar seolah tanpa dosa dan cenderung tidak bersuara keras terhadap kerusakan-kerusakan ekologi dan ketimpangan yang terjadi (Grey, 2004; Banerjee, 2012; Colombo, 2023). Pembelajaran bisnis pun dikritik karena cenderung ahistoris padahal lekat dengan sejarah kolonisasi, perbudakan, dan rasisme (Banerjee & Berrier & Lucas, 2022).
Even, untuk mengekspresikan keresahannya, Martin Parker, seorang profesor studi organisasi dan budaya di University of Leicester School of Management menulis sebuah buku dengan judul yang provokatif: Shut Down the Business School! What’s Wrong with Management Education. Dia menyatakan bahwa sekolah bisnis harus bertanggung jawab terhadap masalah-masalah superkompleks seperti ketimpangan, ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan, dan krisis iklim.
Sebagai catatan, para akademisi yang bergiat dalam studi manajemen kritis tersebut banyak yang bekerja di kampus-kampus terkenal di Inggris, sehingga seruan kritik tersebut perlu dicek dalam konteks Indonesia, walaupun dugaan saya temuannya tidak akan jauh berbeda karena Barat masih menjadi ‘tuan’ pengetahuan kita.
Usulan saya adalah sekolah-sekolah bisnis di Indonesia dapat bermitra dengan berbagai sekolah adat yang diinisiasi oleh AMAN maupun organisasi sejenis lainnya secara transdisiplin untuk melahirkan konten-konten pembelajaran alternatif tentang manajemen dan keberlanjutan ekologis. According to website AMAN, at least 90 sekolah adat sudah didirikan oleh AMAN, tersebar di berbagai tempat di Indonesia. Beberapa contohnya adalah Sekolah Adat Dayak Lebang dan Sekolah Adat Kambong di Kalimantan, serta Sekolah Adat Osing di Banyuwangi.
Bentuk kemitraan dapat berupa melibatkan guru atau tetua sekolah adat sebagai ko-edukator dan mengembangkan silabus bersama dalam berbagai mata kuliah seperti keberlanjutan, etika bisnis, prinsip-prinsip manajemen/bisnis, dan sistem organisasi di fakultas-fakultas bisnis. Dosen atau mahasiswa dari fakultas-fakultas bisnis juga dapat melakukan aktivitas diskusi dan aksi partisipatif bersama masyarakat adat untuk membangun kesadaran kritis tentang bisnis dan ekologi.
(mmu/mmu)