Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Gus Mus Tolak Keras Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Orang NU yang Setuju, Berarti Tak Ngerti Sejarah!

gus-mus-tolak-keras-soeharto-jadi-pahlawan-nasional:-orang-nu-yang-setuju,-berarti-tak-ngerti-sejarah!
Gus Mus Tolak Keras Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Orang NU yang Setuju, Berarti Tak Ngerti Sejarah!

sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menolak keras rencana pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” tegas Gus Mus di kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah, Rabu (5/11/2025), seperti dikutip dari NU Online.

Gus Mus mengaku masih mengingat betul berbagai tindakan tidak adil yang dialami ulama dan warga Nahdlatul Ulama (NU) selama masa pemerintahan Orde Baru.

“Banyak kiai yang dimasukkan ke sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, dan banyak yang dirobohkan. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ujarnya.

Ia juga menyinggung bagaimana Kiai Sahal Mahfudh didatangi pengurus Golkar Jawa Tengah dan diminta menjadi penasihat partai, namun menolak. “Saya menyaksikan sendiri,” ujar mantan Rais Aam PBNU 2014–2015 itu.

Baca Juga: Kasus Ijazah Palsu Jokowi: Polda Metro Jaya Tetapkan 8 Tersangka, Termasuk Roy Suryo

Gus Mus: Banyak Ulama Tak Mengejar Gelar, Demi Keikhlasan Amal

Gus Mus menilai, banyak tokoh dan ulama besar yang lebih memilih tidak mengajukan gelar pahlawan meski berjasa besar bagi bangsa.

“Banyak kiai yang dulu berjuang tapi keluarganya tidak ingin mengajukan gelar pahlawan supaya amal kebaikannya tidak berkurang di mata Allah. Mereka menghindari riya’,” tuturnya.

“Orang NU yang Setuju, Berarti Tak Ngerti Sejarah”

Lebih lanjut, Gus Mus menyebut bahwa warga NU yang ikut mendukung gelar pahlawan untuk Soeharto menunjukkan kurangnya pemahaman sejarah.

“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” tegas pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, itu.

Menurutnya, masa Orde Baru penuh dengan tragedi kelam bagi para kiai, santri, dan warga NU, termasuk intimidasi, kekerasan, dan pembatasan kegiatan organisasi keagamaan.

Baca Juga: KAI Terapkan Jadwal Baru, Pemesanan Tiket Kereta Api Desember 2025 Kini Tersedia


Page 2


Page 3

Tragedi Losarang hingga Pembunuhan Kiai Hasan Basri

Gus Mus mengingatkan peristiwa Pemilu 1971 di Losarang, Indramayu, yang menjadi salah satu tragedi pahit bagi warga NU.

Mereka kala itu diintimidasi, diteror, dan diperlakukan secara kejam oleh aparat.

Ensiklopedia NU mencatat, jurnalis Panda Nababan bersama KH Yusuf Hasyim dan Zamroni menyaksikan langsung kondisi tragis usai peristiwa itu.

Rumah-rumah warga NU dibakar, masjid dirusak, dan banyak yang mengungsi meninggalkan harta benda mereka.

Tragedi serupa juga terjadi di Brebes, Jawa Tengah, pada 1977. Tokoh NU Kiai Hasan Basri dibunuh dengan keji, meski pemerintah saat itu menyebutnya “jatuh ke sumur”.

Namun, laporan Harian Pelita kala itu menolak klaim tersebut dan menyajikan bukti kekerasan yang dialami korban.

Tak hanya itu, pembakaran 140 rumah di Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, juga terjadi menjelang Pemilu 1977. Para kiai dan warga diintimidasi agar mendukung partai tertentu.

Baca Juga: Ngopi Sepuluh Ewu 2025 di Kemiren Banyuwangi, Ribuan Cangkir Siap Sajikan Kopi Robusta Lokal!

NU dan Orde Baru: Dari Cipasung 1994 hingga Tekanan Politik

Ketegangan antara NU dan Orde Baru juga memuncak pada Muktamar Ke-29 NU di Cipasung tahun 1994, ketika pemerintah diduga berupaya menjegal KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Choirul Anam dalam buku Konflik Elit PBNU Seputar Muktamar (2010) menulis bahwa pemerintah melalui Abu Hasan berupaya mengkooptasi NU lewat pembagian bantuan dan dukungan politik.

Meski Abu Hasan kalah, ia menolak hasil muktamar dan menggugat ke pengadilan—hal yang belum pernah terjadi sebelumnya di tubuh NU.

Pada tahun 1996, tekanan kembali muncul saat BJ Habibie, yang kala itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi, meminta Gus Dur mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU dengan alasan “demi kepentingan NU”.

“Kalau ingin lebih jelas, tanya saja Pak Tjip (Soetjipto Wirosardjono). Saat itu dia bersama saya ke DPR,” kata Habibie sebagaimana dikutip dalam Jawa Pos edisi 31 Januari 1996.