MAHKAMAH Konstitusi (MK) Republik Indonesia melalui Putusan Nomor 87/PHP.BUP-XIX/2021 memberikan putusan tegas terhadap gugatan perselisihan hasil pemilihan (PHP) Pilkada Banyuwangi 2020 yang diajukan pasangan calon H Yusuf Widyatmoko dan KH Muhammad Riza Azizy. Gugatan ini ditolak karena tidak memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana diatur dalam kerangka hukum yang berlaku. Putusan ini sekaligus menjadi pelajaran penting bagi setiap pihak yang berkeinginan mengajukan sengketa hasil pemilu ke MK.
Dalam Putusan Nomor 87/PHP.BUP-XIX/2021, MK menguraikan beberapa alasan utama penolakan gugatan. Pertama, Ambang Batas Selisih Suara Tidak Terpenuhi. Berdasarkan Pasal 158 UU 10/2016. Gugatan PHP hanya dapat diajukan jika selisih suara antara pemenang dan pihak penggugat tidak melebihi 0,5 persen dari total suara sah untuk kabupaten dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa.
Dalam kasus Pilkada Banyuwangi 2020, selisih suara antara pasangan nomor urut 1 (Yusuf-Riza) dan pasangan nomor urut 2 (Ipuk-Sugirah) mencapai 4,86 persen atau 40.734 suara, jauh melebihi batas yang diperbolehkan. Ketentuan ini merupakan bentuk penerapan asas kepastian hukum, yang memastikan hanya sengketa dengan potensi pengaruh signifikan terhadap hasil pemilu yang dapat diajukan ke MK. Tanpa memenuhi syarat ini, pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan.
Kedua, tidak terbuktinya pelanggaran TSM pemohon mendalilkan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang melibatkan Bupati Abdullah Azwar Anas dalam mendukung pasangan nomor urut 2. Beberapa tuduhan, seperti penggunaan bantuan sosial untuk kampanye, pengerjaan proyek infrastruktur menjelang pemilihan, hingga pembagian insentif guru ngaji, diajukan sebagai bukti.
Namun, MK menyatakan bahwa bukti-bukti yang diajukan tidak menunjukkan bahwa pelanggaran tersebut berdampak langsung dan signifikan pada perolehan suara. MK menekankan bahwa pelanggaran TSM harus dibuktikan memenuhi tiga elemen utama:
Terstruktur, melibatkan institusi atau aparatur pemerintah. Sistematis direncanakan dengan tujuan tertentu. Masif, berdampak luas dan signifikan terhadap hasil pemilu. Dalam kasus ini, MK menilai bahwa pelanggaran yang didalilkan bersifat sporadis dan tidak memiliki korelasi langsung dengan hasil penghitungan suara.
Ketiga, fokus gugatan di luar kewenangan MK. MK hanya berwenang memutuskan sengketa terkait penetapan hasil penghitungan suara, sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat 3 UU 10/2016. Banyak dalil yang diajukan pemohon lebih berkaitan dengan pelanggaran administratif, seperti dugaan penyalahgunaan program pemerintah. Pelanggaran semacam ini bukanlah ranah MK, melainkan menjadi kewenangan Bawaslu atau PTUN.
Keempat, asas legalitas dan kesempatan perbaikan. Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa proses pemilu telah berjalan sesuai dengan asas legalitas. Proses keberatan atau koreksi atas dugaan pelanggaran administratif seharusnya diajukan pada tahapan penyelenggaraan, bukan setelah hasil pemilu ditetapkan. MK tidak dapat mengubah hasil pemilu hanya berdasarkan narasi tanpa bukti yang kuat.
Pelajaran untuk Pilkada Banyuwangi 2024
Putusan ini memberikan pedoman penting bagi setiap pihak yang hendak mengajukan sengketa PHP pilkada, termasuk untuk kasus Pilkada Banyuwangi 2024. Pemohon harus memastikan bahwa gugatan:
- Memenuhi Ambang Batas Legal Standing.
Gugatan hanya dapat diajukan jika selisih suara berada dalam rentang toleransi yang diatur UU. Untuk Pilkada Banyuwangi 2024, pemohon harus memahami bahwa perselisihan suara yang melebihi 0,5 persen dari total suara sah otomatis menggugurkan hak untuk mengajukan gugatan.
- Menyajikan Bukti TSM yang Memadai.
Setiap pelanggaran yang didalilkan harus dibuktikan melalui dokumen, saksi, dan fakta lapangan yang menunjukkan dampak signifikan pada hasil pemilu. Narasi semata tanpa bukti konkret akan menjadi kelemahan utama dalam persidangan.
- Memahami Kewenangan MK. Gugatan harus fokus pada sengketa hasil penghitungan suara, bukan pelanggaran administratif atau pidana. Pelanggaran di luar kewenangan MK harus diselesaikan di lembaga yang berwenang, seperti Bawaslu untuk pelanggaran administrasi dan Gakkumdu untuk pidana pemilu.
Membangun Demokrasi Berdasarkan Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi atas sengketa Pilkada Banyuwangi 2020 adalah pelajaran berharga tentang bagaimana hukum menjadi pilar demokrasi. Sengketa pemilu tidak dapat diselesaikan hanya dengan retorika politik atau tuduhan tanpa bukti. Hukum menuntut bukti yang jelas, terukur, dan sesuai prosedur.
Bagi para kandidat di Pilkada Banyuwangi 2024, putusan ini menjadi pedoman penting. Gugatan PHP yang berhasil bukan hanya soal memenangkan argumen, tetapi tentang memahami hukum dan menghadirkan bukti yang memenuhi standar konstitusional. Setiap langkah hukum harus berlandaskan pada asas kepastian hukum, keadilan, dan efisiensi peradilan.
Page 2

Pelajar dan Perbedaan
Jumat, 15 November 2024 | 10:02 WIB

Ketergantungan atau Kemandirian?
Kamis, 31 Oktober 2024 | 10:07 WIB

Gondongan, Gejala dan Langkah Mediknya
Sabtu, 26 Oktober 2024 | 09:05 WIB
Page 3
MAHKAMAH Konstitusi (MK) Republik Indonesia melalui Putusan Nomor 87/PHP.BUP-XIX/2021 memberikan putusan tegas terhadap gugatan perselisihan hasil pemilihan (PHP) Pilkada Banyuwangi 2020 yang diajukan pasangan calon H Yusuf Widyatmoko dan KH Muhammad Riza Azizy. Gugatan ini ditolak karena tidak memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana diatur dalam kerangka hukum yang berlaku. Putusan ini sekaligus menjadi pelajaran penting bagi setiap pihak yang berkeinginan mengajukan sengketa hasil pemilu ke MK.
Dalam Putusan Nomor 87/PHP.BUP-XIX/2021, MK menguraikan beberapa alasan utama penolakan gugatan. Pertama, Ambang Batas Selisih Suara Tidak Terpenuhi. Berdasarkan Pasal 158 UU 10/2016. Gugatan PHP hanya dapat diajukan jika selisih suara antara pemenang dan pihak penggugat tidak melebihi 0,5 persen dari total suara sah untuk kabupaten dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa.
Dalam kasus Pilkada Banyuwangi 2020, selisih suara antara pasangan nomor urut 1 (Yusuf-Riza) dan pasangan nomor urut 2 (Ipuk-Sugirah) mencapai 4,86 persen atau 40.734 suara, jauh melebihi batas yang diperbolehkan. Ketentuan ini merupakan bentuk penerapan asas kepastian hukum, yang memastikan hanya sengketa dengan potensi pengaruh signifikan terhadap hasil pemilu yang dapat diajukan ke MK. Tanpa memenuhi syarat ini, pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan.
Kedua, tidak terbuktinya pelanggaran TSM pemohon mendalilkan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang melibatkan Bupati Abdullah Azwar Anas dalam mendukung pasangan nomor urut 2. Beberapa tuduhan, seperti penggunaan bantuan sosial untuk kampanye, pengerjaan proyek infrastruktur menjelang pemilihan, hingga pembagian insentif guru ngaji, diajukan sebagai bukti.
Namun, MK menyatakan bahwa bukti-bukti yang diajukan tidak menunjukkan bahwa pelanggaran tersebut berdampak langsung dan signifikan pada perolehan suara. MK menekankan bahwa pelanggaran TSM harus dibuktikan memenuhi tiga elemen utama:
Terstruktur, melibatkan institusi atau aparatur pemerintah. Sistematis direncanakan dengan tujuan tertentu. Masif, berdampak luas dan signifikan terhadap hasil pemilu. Dalam kasus ini, MK menilai bahwa pelanggaran yang didalilkan bersifat sporadis dan tidak memiliki korelasi langsung dengan hasil penghitungan suara.
Ketiga, fokus gugatan di luar kewenangan MK. MK hanya berwenang memutuskan sengketa terkait penetapan hasil penghitungan suara, sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat 3 UU 10/2016. Banyak dalil yang diajukan pemohon lebih berkaitan dengan pelanggaran administratif, seperti dugaan penyalahgunaan program pemerintah. Pelanggaran semacam ini bukanlah ranah MK, melainkan menjadi kewenangan Bawaslu atau PTUN.
Keempat, asas legalitas dan kesempatan perbaikan. Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa proses pemilu telah berjalan sesuai dengan asas legalitas. Proses keberatan atau koreksi atas dugaan pelanggaran administratif seharusnya diajukan pada tahapan penyelenggaraan, bukan setelah hasil pemilu ditetapkan. MK tidak dapat mengubah hasil pemilu hanya berdasarkan narasi tanpa bukti yang kuat.
Pelajaran untuk Pilkada Banyuwangi 2024
Putusan ini memberikan pedoman penting bagi setiap pihak yang hendak mengajukan sengketa PHP pilkada, termasuk untuk kasus Pilkada Banyuwangi 2024. Pemohon harus memastikan bahwa gugatan:
- Memenuhi Ambang Batas Legal Standing.
Gugatan hanya dapat diajukan jika selisih suara berada dalam rentang toleransi yang diatur UU. Untuk Pilkada Banyuwangi 2024, pemohon harus memahami bahwa perselisihan suara yang melebihi 0,5 persen dari total suara sah otomatis menggugurkan hak untuk mengajukan gugatan.
- Menyajikan Bukti TSM yang Memadai.
Setiap pelanggaran yang didalilkan harus dibuktikan melalui dokumen, saksi, dan fakta lapangan yang menunjukkan dampak signifikan pada hasil pemilu. Narasi semata tanpa bukti konkret akan menjadi kelemahan utama dalam persidangan.
- Memahami Kewenangan MK. Gugatan harus fokus pada sengketa hasil penghitungan suara, bukan pelanggaran administratif atau pidana. Pelanggaran di luar kewenangan MK harus diselesaikan di lembaga yang berwenang, seperti Bawaslu untuk pelanggaran administrasi dan Gakkumdu untuk pidana pemilu.
Membangun Demokrasi Berdasarkan Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi atas sengketa Pilkada Banyuwangi 2020 adalah pelajaran berharga tentang bagaimana hukum menjadi pilar demokrasi. Sengketa pemilu tidak dapat diselesaikan hanya dengan retorika politik atau tuduhan tanpa bukti. Hukum menuntut bukti yang jelas, terukur, dan sesuai prosedur.
Bagi para kandidat di Pilkada Banyuwangi 2024, putusan ini menjadi pedoman penting. Gugatan PHP yang berhasil bukan hanya soal memenangkan argumen, tetapi tentang memahami hukum dan menghadirkan bukti yang memenuhi standar konstitusional. Setiap langkah hukum harus berlandaskan pada asas kepastian hukum, keadilan, dan efisiensi peradilan.