TIMES BANYUWANGI – Mangkatnya Sang Maharaja – Agustus yang lalu, saya menghadiri sarasehan bertema “Gesahne Bengen” di kantor Desa Macanputih, Kecamatan Kabat, Banyuwangi. Saat itu, salah satu tamu undangan yang juga seorang Guru Sejarah bercerita bahwa dia kesulitan untuk menunjukkan bukti eksistensi Kerajaan Balambangan dengan raja terbesarnya Tawangalun.
Tapi di sisi lain, saya juga sering menemukan konten di internet maupun obrolan warung kopi yang mendiskusikan bahkan memperdebatkan sejarah Balambangan maupun sosok Tawangalun ini. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana cara kita dapat mengidentifikasi mana yang benar-benar Sejarah dan mana yang hanya cerita rakyat sehingga kita bisa melihat secara jernih dan utuh.
Saya pernah melakukan studi kecil-kecilan untuk mengukur seberapa-melek orang Banyuwangi akan sejarahnya sendiri?. Hasilnya, ternyata sangat minim yang paham, apalagi yang benar-benar paham dan mampu memahamkan. Oleh karena itu perlu kiranya sedikit kita ulas mengenai Sejarah akhir hayat Kangjeng Suhunan Tawangalun, selaku raja agung terakhir Balambangan tersebut berdasarkan data dan sumber Sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hari ini, tepat 334 tahun silam, Kangjeng Susuhunan Tawangalun mangkat. Saat itu, hari masih pagi, tanggal 18 September 1691, ketika terdengar kabar bahwa kesehatan Suhunan Tawangalun yang beberapa hari sebelumnya sakit, telah kian membaik. Beberapa tamu negara yang sudah dijadwalkan menghadap akhirnya diperkenankan menghadap.
Di antara tamu-tamu tersebut adalah Kapten Jan Barveld dan Letnan Jan Francen Holsteyn dari Batavia. Mereka tiba di Macanputih sejak tanggal 14 September 1691, dan tanggal 18 mereka dijadwalkan ulang untuk diterima oleh raja. Kedatangan mereka berdua membawa misi kerjasama untuk mengalahkan Untung Surapati, musuh Batavia sekaligus musuh Balambangan.
Dari kedua orang inilah hari ini kita memperoleh keterangan bahwa pada tanggal 18 September 1691, raja agung terakhir Balambangan itu mangkat. Utusan Batavia itu akhirnya tetap tidak dapat menghadap Tawangalun, karena raja yang sudah tua-renta itu kemudian meninggal dunia dan mereka tidak sampai mencapai suatu persetujuan.
Istana gempar. Kabar kematian tersebut segera menyebar ke seantero negeri bahkan ke mancanegara termasuk ke Klungkung, Mengwi , Pasuruan, dan Kartasura. Penduduk Balambangan berkabung, atas kepergian sang raja agung mereka. Saat itu yang berkuasa di Klungkung adalah Dewa Agung Jambe (1687-1700).
Kesibukan di istana Macanputih-pun dimulai. Pihak keluarga mempersiapkan pemakanam agung untuk sang raja. Selama menunggu waktu pengabenan, jenazah Kangjeng Suhunan Tawangalun dimakamkan di Meru (bukit) yang letaknya masih di dalam kota raja Macanputih.
Sementara itu para Saptamanggala segera bersidang untuk menetapkan raja yang baru diantara tiga putra terpilih; Pangeran Patih Sasranegara (Pangeran Senapati), Pangeran Ketha Arya Macanagara, dan Pangeran Adipati Mas Macanpura.
Sati Agung 1691
Setelah dimakamkan dua puluh lima hari, tepatnya pada 13 Oktober 1691, dilakukan kremasi terhadap jenazah raja besar Balambangan tersebut. Kapten Jan Barvelt dan Letnan Jan Franszen Holsteyn menyaksikan sendiri pemandangan yang sangat mencengangkan itu, di mana sebanyak 270 dari total 400 istri sang Maharaja ikut menceburkan diri dalam kobaran api.
Menurut Cerita Tutur Suluk Balumbungan, abu jenazahnya kemudian dilarung di pantai selatan dan dibangun Pura Segara.
Dalam tradisi waktu itu, memang adalah kemuliaan bagi seorang istri yang mau mengikuti suaminya ke alam keabadian. Banyak wanita yang dikisahkan dalam berbagai kakawin mengakhiri hidupnya dalam pertunjukan cinta dan kesetiaan, dengan memilih mengikuti suaminya ke ‘dunia lain’ daripada tetap hidup tanpa kehadirannya.
Jika hanya 270 orang dari 400 istri yang ikut melakukan sati, lantas kemana yang 130 orang lainnya. Ada tiga kemungkinan; (1) Mereka sudah meninggal lebih dahulu; (2) Mereka memilih menjadi pertapa; dan (3) Mereka adalah muslimah.
Makam Tawangalun?
Ada cerita rakyat yang beredar di Banyuwangi, namun belum dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Dalam cerita-cerita tersebut diantaranya mengatakan bahwa Tawangalun itu adalah seorang muslim dan tidak mungkin dikremasi. Yang lain mengatakan bahwa Tawangalun itu Moksa atau hilang kealam kelanggengan beserta jasad fisiknya.
Bagi yang meyakini muslim dan dimakamkan, hal itu diperkuat dengan adanya beberapa cerita masyarakat mengenai ‘makam islam’ yang disebut sebagai Makam Prabu Tawangalun. Dimana diantaranya memiliki nama lain Mas Senepo Handoyokusumo dan bahkan bergelar Syech Abdul Karim. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada ketidak-sinkronan antara data Sejarah dengan tutur masyarakat di Banyuwangi.
Data Sejarah bahwa Kangjeng Suhunan Tawangalun sebagaimana disebutkan dalam sumber-sumber baik Jawa, Bali, maupun Belanda di atas, dikatakan meninggal dalam usia tua kemudian jenazahnya di-aben (dibakar) dan istri-istrinya ber-Sati.
Adanya dua makam Tawangaun di Desa Sraten, Kecamatan Cluring dan di Desa Gombolirang, Kecamatan Kabat. Juga sebuah tempat yang disebut monument berkubah di Mlecutan Desa Gombolirang, Kecamatan Kabat, saat ini menjadikan diskursus tentang sosok Tawangalun sepertinya tak akan selesai untuk diulas dalam waktu dekat. Belum lagi jika dengan legawa kita menengok ke sebelah utara Desa Macanputih ada Taman Meru di Desa Tambong, Kecamatan Kabat. Serta di selatan ada Pura Segara Tawangalun di Lokasi wisata Pulau Merah, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran.
Dengan rendah hati penulis mempersilahkan sidang pembaca untuk terus menduga-duga.
Bahan Bacaan :
C. Lekkerkerker, De Indische Gids, Blambangan.
De Graaf, Terbunuhnya Kapten Tack.
Helen Creese, Perempuan Dalam Dunia Kakawin.
M.H. Aji Ramawidi, Suluh Blambangan,
M.H. Aji Ramawidi, Suluh Blambangan 2.
M.H. Aji Ramawidi, Babad Raja Balambangan VI,
M.H. Aji Ramawidi, Babad Raja Balambangan VII,
Winarsih, Babad Blambangan. (*)
***
*) Penulis adalah : M.H. Aji Ramawidi, Sejarawan Muda Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Syamsul Arifin |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |