Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Mark Down Harga dan Korupsi

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

MARK UP adalah pidana, nah bagaimana kalau mark down? Suatu hari ketika saya ke bengkel, di satu etalase bengkel ada setumpuk kertas. Ternyata sebuah brosur perumahan di Banyuwangi. Biasa saja, tidak ada yang istimewa. Setelah dicermati, ada satu hal yang menarik, yaitu ada rumah yang ditawarkan seharga Rp 85 juta. Rumah itu dinyatakan akan mendapat subsidi bunga KPR. Sehingga, bunganya hanya 7,25 persen, sangat jauh dari bunga KPR komersial yang di kisaran 12 persen.

Bagi yang awam, itu hal yang biasa. Tetapi, bagi yang mengerti, pasti berpendapat bahwa iklan tersebut adalah indikasi awal pelanggaran yang dapat menimbulkan kerugian negara. Kalau benar-benar terjadi transaksi jual-beli, maka akan ada 4 kerugian negara. Pertama, rumah yang mendapat fasilitas likuiditas pembiayaan pembangunan (FLPP) adalah rumah pertama yang dimiliki, bertipe 36, dan harga maksimal Rp 70 juta.

Sudah dapat disimpulkan bahwa rumah tersebut sebenarnya tidak berhak mendapat subsidi bunga KPR. Untuk mengelabui pihak bank, kemungkinan mereka mengatur akta jual- beli rumah, seolah-olah harga rumah tersebut di bawah Rp 70 juta. Pihak bank yang hanya melihat legal-formal, tentu meloloskan proses pengajuan KPR tersebut. Bunga KPR bank yang biasanya berkisar 12% terpangkas menjadi 7,25 %, karena sisanya ditanggung pemerintah.

Semakin banyak pengembang menjual rumah bertipe tersebut, pasti akan semakin banyak keru- gian negara yang timbul. Kedua, berdasar Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, Pasal 85 s.d. 93, setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (pembeli) akan dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebesar 5 persen dari nilai perolehan objek pajak dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebesar Rp 60 juta.

Nilai perolehan objek pajak di sini seharusnya nilai riil, atau bisa juga menggunakan nilai NJOP PBB bila nilai transaksi tidak diketahui atau di bawah nilai NJOP PBB. Masalahnya, kalau nilai transaksi sengaja dikecilkan atau hanya disamakan dengan NJOP PBB, otomatis semakin sedikit uang BPHTB yang masuk ke kas negara. Bahkan, tidak akan ada pemasukan ke kas negara kalau mereka mengatur harga transaksi di bawah Rp 60 juta.

Ketiga, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, Pasal 4, disebutkan bahwa setiap penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan akan dikenakan tarif sebesar 5%, kecuali atas pengalihan hak atas rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dilakukan wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan pajak penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.

Rumah sederhana yang dimaksud adalah rumah sederhana sehat dan rumah inti tumbuh yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak pertam- bahan nilai sesuai perundang- undangan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 31/PMK.03/2011 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/ PMK.03/2007 tentang batasan rumah sederhana, rumah san- gat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar, serta perumahan lainnya, yang atas penyerahannya dibebas- kan dari pengenaan pajak pertambahan nilai, bahwa yang dimaksud rumah sederhana adalah rumah yang pertama dimiliki, bertipe 36, dan harga maksimal Rp 70 juta.

Berdasar hal tersebut, seharusnya rumah yang dijual pengembang tadi dikenakan tarif sebesar 5% dari harga jual, karena harga jualnya Rp 85 juta. Namun, apabila harga dalam akta jual beli di bawah Rp 70 juta, tentu pajak yang harus dibayar penjual hanya 1%. Keempat, apabila pengem- bang perumahan tersebut merupakan pengusaha kena pajak, yaitu pengusaha yang beromzet di atas Rp 600 juta setahun, sesuai Peraturan Men- teri Keuangan RI Nomor 68/ PMK.03/2010 tentang batasan pengusaha kecil pajak pertam- bahan nilai, maka pengusaha tersebut wajib memungut pajak sebesar 10% dari setiap trans- aksi penjualan rumah tersebut.

Apalagi, rumah yang dijual pengembang itu termasuk kategori rumah yang PPN-nya tidak dibebaskan karena harga jualnya lebih dari Rp 70 juta. Tetapi, sekali lagi, bila harga dalam akta jual beli dibuat di bawah Rp 70 juta, tentu PPN sebesar 10% itu akan menguap. Mengecilkan nilai transaksi dalam akta jual beli disinyalir sudah berlangsung lama, dan tidak hanya dilakukan para oknum pengembang properti, tapi juga oknum perorangan yang melakukan transaksi jual-beli tanah dan bangunan.

Modus yang sering digunakan adalah membuat harga transaksi yang disamakan dengan harga NJOP PBB atau hanya dinaikkan sedikit di atasnya. Padahal, kalau mau jujur, hampir semua NJOP PBB itu jauh di bawah harga pasar yang sesungguhnya. Mungkin pemerintah berpikir kalau seluruh NJOP dinaikkan secara signifikan, semua ma- syarakat akan merasakan kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang juga signifikan. Ada konsep keadilan dalam aturan yang berlaku sekarang. Sebab, hanya mereka yang menerima keuntungan lebih (penjual dan pembeli) saja yang harus memyar pajak lebih tinggi.

Namun, kenyataannya ke- curangan seperti ini masih sering terjadi dan sulit ter- ungkap, karena pihak-pihak yang terkait merasa saling diuntungkan. Penjual diun- tungkan karena mereka akan lebih murah dalam membayar pajak penghasilan, sedangkan pembeli juga akan membayar BPHTB lebih rendah dari yang seharusnya. Demikian juga dengan notaris/PPAT, mereka tidak akan khawatir kehilangan klien, karena bisa menetapkan biaya yang tentu lebih murah.

Apabila kecurangan seperti ini terus dibiarkan, tentu akan menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit. Pendapatan dari sektor pajak penghasilan, penerimaan BPHTB, dan PPN, pasti tidak akan maksimal. Jutaan bahkan miliaran rupiah yang seharusnya menjadi hak negara dan bisa digunakan membiayai pembangunan akan melayang begitu saja. Semestinya pihak-pihak berwenang harus lebih serius mengambil tindakan demi menyelamatkan keuangan negara. Dalam mengatasi hal ini, pihak pajak (Dispenda dan Direktorat Jenderal Pajak) kejaksaan, dan kepolisian, seharusnya bersinergi dan mengesampingkan ego masing-masing.

Sebab, menurut saya yang awam hukum ini, mengecilkan harga transaksi dalam sebuah akta jual-beli termasuk pidana. Dalam Pasal 266 ayat 1 Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) disebutkan bahwa barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Selain itu, kecurangan seperti itu seharusnya masuk dalam kategori tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sebab, perbuatan tersebut sudah memenuhi tiga unsur pidana korupsi, yaitu pelanggaran hukum, timbulnya kerugian negara, dan usaha menguntungkan diri send- iri atau orang lain. Kita sering melihat dan men- dengar pejabat ditangkap aparat hukum karena terlibat korupsi pengadaan barang dengan modus “mark up” harga pembelian. Tapi, kita belum pernah melihat aparat hukum yang menangkap oknum-ok- num yang melakukan ‘’mark down” harga transaksi dalam sebuah akta jual-beli. *) Pemerhati sosial & ekonomi di Banyuwangi. @ radar)