Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Selawat Badar : Dari Banyuwangi ke Panggung Dunia Mengupas Sejarah, Budaya, dan Politik di Balik Sholawat yang Mendunia

selawat-badar-:-dari-banyuwangi-ke-panggung-dunia-mengupas-sejarah,-budaya,-dan-politik-di-balik-sholawat-yang-mendunia
Selawat Badar : Dari Banyuwangi ke Panggung Dunia Mengupas Sejarah, Budaya, dan Politik di Balik Sholawat yang Mendunia

Banyuwangi —Di sebuah ruangan berarsitektur khas Jawa di Palinggihan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, puluhan pasang mata tertuju ke panggung. Sebuah buku bertajuk Selawat Badar menjadi pusat perhatian dalam diskusi yang menghadirkan sejarawan, budayawan, dan akademisi. Bukan sekadar sholawat, Selawat Badar adalah warisan yang lahir dari pergolakan sosial, budaya, dan politik di Banyuwangi.

Rabu siang (26/3), ruang diskusi dipenuhi oleh tokoh-tokoh dari Dewan Kesenian Belambangan (DKB), Lentera Sastra Banyuwangi, serta mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi. Mereka datang untuk menelisik lebih dalam kisah di balik selawat yang telah mendunia.

Acara dibuka oleh Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Dewa Alit. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa Selawat Badar bukan sekadar doa, tetapi juga bukti sejarah yang telah diakui negara. “Presiden Republik Indonesia bahkan menganugerahkan Satyalancana kepada penciptanya, KH. Ali Mansur,” katanya. Penghargaan tersebut diterima oleh putra KH. Ali Mansur sebagai bentuk penghormatan atas kontribusinya.

Penulis buku, Ayung Notonegoro, membuka diskusi dengan pemaparan tentang pencipta Selawat Badar. KH. Ali Mansur, sosok ulama yang menulis sholawat ini pada 1960-an, adalah Ketua PCNU Banyuwangi sekaligus mantan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Banyuwangi. “Pada masanya, jabatan itu setingkat Kepala Kantor Kementerian Agama saat ini,” jelas Ayung.

Namun, yang membuat Selawat Badar istimewa bukan hanya pengarangnya, tetapi juga situasi politik saat itu. Menurut Ayung, dekade 1950–1960-an adalah masa penuh ketegangan ideologi. Di tengah persaingan antara NU dan PKI, ekspresi keagamaan menjadi lebih dari sekadar ibadah. “Selawat ini lahir dalam suasana di mana agama dan politik saling bersinggungan,” kata Ayung.

Perintah membaca selawat sendiri berasal dari Allah, lanjutnya. Namun, redaksi selawat berkembang sesuai budaya dan konteks sosial. Itu sebabnya ada berbagai versi, seperti Selawat Nariyah, Selawat Munjiyat, Selawat Tibbil Qulub, dan Selawat Asyghil. Di Nusantara, sholawat pun diadaptasi dengan warna budaya setempat, termasuk di Bangkalan, Probolinggo, dan Banyuwangi.

Diskusi semakin menarik ketika tiga pembedah mulai mengulas lebih dalam makna Selawat Badar.

Syafaat, Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi sekaligus ASN di Kementerian Agama Banyuwangi, melihat Selawat Badar sebagai produk sejarah. “Tanpa KH. Ali Mansur, mungkin selawat ini tak akan lahir dari Banyuwangi,” katanya. Ia menekankan bahwa selawat ini tidak bisa dipisahkan dari dinamika sosial-politik saat itu.

Hasan Basri, Ketua Dewan Kesenian Belambangan, mengaitkan Selawat Badar dengan perkembangan sastra Islam di Nusantara. “Selawat ini punya unsur sastra yang kuat, baik dari simbolisme maupun strukturnya yang khas dalam puisi Arab,” katanya.

Dari perspektif politik, Iqbal Baraas, akademisi dari Universitas Islam Ibrahimy Genteng, menyoroti bagaimana seni menjadi alat ekspresi dan propaganda. “Di masa itu, seni dan agama sering bersinggungan dengan politik. Selawat Badar bukan hanya bentuk kecintaan pada Rasul, tapi juga bagian dari narasi besar perjuangan identitas Islam di tengah gempuran ideologi lain,” jelasnya.

Para peserta semakin antusias saat diskusi beralih ke bagaimana Selawat Badar menyebar dari Banyuwangi ke berbagai daerah, seperti Jakarta, Pasuruan, Jember, hingga Lombok. Penyebaran ini, kata mereka, tidak lepas dari peran para ulama dan majelis taklim.

Samsudin Adlawi, salah satu peserta, menambahkan bahwa KH. Ali Mansur memiliki penguasaan sastra Arab yang tinggi. “Itu sebabnya, selawat ini terasa sangat indah dan penuh makna,” katanya.

Menjelang petang, diskusi diakhiri dengan pembacaan Selawat Badar bersama. Lantunan syair penuh pujian itu menggema di ruangan, membawa suasana syahdu di tengah senja Banyuwangi.

Lebih dari sekadar bedah buku, acara ini membuktikan bahwa Selawat Badar bukan hanya doa, tetapi juga warisan sejarah yang terus hidup. Warisan yang mengajarkan bahwa agama, budaya, dan politik tak selalu harus berseberangan. Kadang, justru ketiganya bersinergi untuk melahirkan sesuatu yang abadi.