Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Upaya Menekan Angka Perceraian di Indonesia – TIMES Banyuwangi

upaya-menekan-angka-perceraian-di-indonesia-–-times-banyuwangi
Upaya Menekan Angka Perceraian di Indonesia – TIMES Banyuwangi

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Fenomena perceraian di Indonesia masih menjadi persoalan serius yang memerlukan perhatian mendalam dari berbagai pihak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Agama (Kemenag) menunjukkan adanya fluktuasi angka perceraian dalam tiga tahun terakhir. 

Pada tahun 2023, tercatat 463.654 kasus perceraian, menurun sekitar 10,2% dibandingkan 2022 yang mencapai 516.344 kasus. 

Penurunan ini dianggap sebagai hasil dari penguatan ketahanan keluarga melalui program Bimbingan Perkawinan (Bimwin) dan layanan konseling pranikah serta pascanikah yang diselenggarakan oleh KUA (Kemenag, 2023).

Namun, tren tersebut kembali mengalami kenaikan pada 2024. Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung melaporkan adanya 446.359 kasus perceraian pada tahun tersebut (Media24, 2025). Sementara itu, Ditjen Bimas Islam Kemenag mencatat 251.828 kasus (Kompas TV, 2025). 

Perbedaan data ini disebabkan oleh metodologi pencatatan yang berbeda: Badilag menghitung seluruh putusan perceraian di Pengadilan Agama, sedangkan Kemenag hanya mencatat kasus yang tercatat dalam sistem perkawinan KUA. 

Walau berbeda angka, kedua data tersebut mengindikasikan bahwa perceraian masih berada pada tingkat yang memprihatinkan dan memerlukan intervensi berkelanjutan. Hingga Agustus 2025, data resmi belum dirilis dan baru akan diumumkan awal 2026. 

Data ini penting untuk menilai keberhasilan program-program pencegahan perceraian, termasuk penguatan peran KUA, pengembangan layanan Before Marriage Service dan After Marriage Service, serta penerapan pendekatan ekoteologi keluarga berbasis maqāṣid al-syarī‘ah.

Tingginya angka perceraian pada 2023–2024 mencerminkan tantangan besar dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Penyebab perceraian yang dominan meliputi perselisihan berkepanjangan, masalah ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, dan maraknya judi online. 

Kondisi ini bukan hanya terjadi di kota besar tetapi juga di pedesaan, di mana tekanan ekonomi, pergeseran nilai budaya, serta ketidakmampuan mengelola konflik menjadi pemicu utama (Azizah & Syarif, 2020). 

Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan keluarga Indonesia berada dalam situasi yang memerlukan perhatian serius. Padahal, keluarga adalah institusi terkecil yang menjadi pilar peradaban, kesejahteraan sosial, dan tempat pembentukan karakter generasi penerus.

Salah satu pendekatan yang dapat dioptimalkan dalam pencegahan perceraian adalah dengan menggali kembali nilai-nilai spiritual dan etika melalui maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu pemeliharaan agama (ḥifẓ al-dīn), jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan harta (ḥifẓ al-māl) sebagai kerangka utama kemaslahatan manusia (Kamali, 2018). 

Dalam konteks keluarga, maqāṣid menjadi instrumen yang mampu melindungi hak, keadilan, serta keharmonisan rumah tangga. Perspektif ini dapat bersinergi dengan layanan KUA dan program Bimwin untuk memperkuat aspek spiritual dan hubungan suami-istri secara preventif.

Untuk memperkaya pendekatan ini, ekoteologi dapat dijadikan bingkai etika tambahan. Ekoteologi tidak hanya mengatur relasi manusia dengan alam, tetapi juga menekankan prinsip keseimbangan (mīzān) dan keberlanjutan (isti‘mar) yang relevan diterapkan dalam hubungan keluarga (Nasr, 2001). 

Jika alam harus dijaga agar tidak mengalami kerusakan (fasad), maka hubungan dalam keluarga pun harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan kehancuran emosional dan spiritual. Keharmonisan keluarga, dengan demikian, bukan sekadar menjaga ikatan emosional, melainkan menjaga keseimbangan kosmik yang sejalan dengan tujuan syariat Islam.

Ekoteologi adalah cabang teologi yang membahas hubungan manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Dalam Islam, konsep ini berlandaskan pada tauhid (keesaan Tuhan), amanah (kepercayaan), khilāfah (kepemimpinan), dan mīzān (keseimbangan). 

Ulama klasik seperti al-Ghazali (1058–1111) maupun pemikir kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr (2001) menegaskan bahwa kerusakan lingkungan adalah pelanggaran terhadap amanah Ilahi. Prinsip ini dapat diperluas ke dalam keluarga, yang juga merupakan “ekosistem kecil” yang harus dijaga keseimbangannya.

Maqaṣid al-syariah sendiri diklasifikasikan oleh Imam al-Shāṭibī dalam al-Muwāfaqāt ke dalam tiga kategori: ḍarūriyyāt (primer), ḥājiyyāt (sekunder), dan taḥsīniyyāt (tersier). Dalam rumah tangga, aspek ḍarūriyyāt seperti pemeliharaan keturunan dan jiwa memiliki peran penting. 

Perceraian yang tidak didasarkan pada alasan mendesak berpotensi merusak maqāṣid yang lebih besar seperti keselamatan anak, stabilitas emosional pasangan, dan kesejahteraan sosial. Dengan demikian, konflik rumah tangga harus diselesaikan dengan mempertimbangkan maqāṣid secara menyeluruh, bukan hanya kepentingan sesaat.

Dalam ekoteologi, kerusakan alam biasanya disebabkan keserakahan, egoisme, dan abainya manusia terhadap keseimbangan. Hal yang sama dapat terjadi dalam rumah tangga, di mana egoisme salah satu pihak dapat menimbulkan ketidakseimbangan. 

Misalnya, krisis komunikasi yang kerap menjadi penyebab perceraian (Haryanto, 2021) dapat dianalogikan dengan deforestasi atau pencemaran. Ketika komunikasi tidak terjaga, hubungan akan kehilangan “oksigen” yang penting untuk keberlangsungan. Oleh karena itu, perlu ada kesadaran untuk membangun sustainable relationship, yaitu hubungan yang seimbang, adil, dan harmonis.

Prinsip khilafah dalam ekoteologi juga dapat diaplikasikan dalam rumah tangga. Suami dan istri harus memandang diri mereka sebagai pemegang amanah, bukan pemilik mutlak. Pemahaman ini akan mencegah lahirnya sikap otoriter maupun kekerasan yang kerap memicu perceraian.

Beberapa strategi implementasi nilai ekoteologi berbasis maqaṣid al-syariah dapat diterapkan, antara lain: pertama, memperkuat pendidikan pra-nikah dengan perspektif ekoteologi, di mana calon pasangan diajarkan bahwa keluarga adalah ekosistem yang harus dijaga.

Kedua, menggunakan pendekatan mediasi restoratif dalam konflik rumah tangga untuk mengembalikan keseimbangan yang hilang. Ketiga, memberdayakan ekonomi keluarga melalui program berbasis kemaslahatan yang juga ramah lingkungan.

Pendekatan integratif ini dapat membawa dampak signifikan: meningkatkan ketahanan keluarga, memperkuat kesadaran spiritual bahwa menjaga keluarga berarti menjaga keseimbangan kosmik, serta membangun sinergi antara institusi agama, masyarakat, dan negara. 

Dengan pemahaman mendalam mengenai amanah, keseimbangan, dan kemaslahatan, perceraian tidak lagi dianggap sebagai solusi instan, melainkan diupayakan penyelesaiannya secara konstruktif.

Pada akhirnya, keluarga adalah ekosistem penting dalam kehidupan manusia. Perceraian yang marak dapat dipandang sebagai bentuk kerusakan ekologis pada tingkat sosial. Oleh karena itu, paradigma pencegahan perceraian perlu diarahkan pada integrasi nilai ekoteologi dan maqāṣid al-syariah. 

Ekoteologi menekankan keseimbangan, amanah, dan keadilan, sedangkan maqaṣid al-syariah memberikan kerangka normatif tujuan berkeluarga. Dengan menggabungkan keduanya, diharapkan lahir keluarga yang kokoh, harmonis, dan berkelanjutan.

***

*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman