Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Biasa Bermalam, Bawa Peralatan di Jok Motor

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Hapadah (kanan) bersama temannya memutar pintu air dam Joyo, Dusun Prejengan 1, Desa-Kecamatan Rogojampi, kemarin.

HUJAN rintik-rintik mengguyur wilayah Rogojampi siang kemarin. Seorang lelaki mengenakan kaus lengan panjang berwarna hijau, bersepatu boots, sibuk mengamati aliran sungai Lungun.

Lelaki tersebut mulai melipat lengan kaus yang dikenakannya begitu melihat kondisi air mulai naik. Hujan yang terus mengguyur membasahi pakaian, celana dan anggota tubuhnya seolah tak lagi dipedulikan.

Lelaki itu bergegas menuju motor yang diparkir tak jauh di tepi dam lalu mengambil tas yang peralatan. Tak berselang lama, lengan lelaki itu, memasang sebuah alat palang besi yang dimasukkan ke dalam besi bergulir yang menjadi pembuka dan penutup palang pintu air.

Dengan kuat-kuat, kedua lengan lelaki itu memegangi besi horizontal yang ada palang pintu dan memutarnya searah jarum jam. Pandangannya terus mengamati aliran air yang terus memenuhi areal dam.

Dengan penuh kesabaran di tengah guyuran hujan, lelaki itu terus memutar palang pintu air dengan kuat-kuat. Sesekali, pandangannya juga mendongak melihat mendung hitam terus meneteskan air hujan, berharap hujan segera reda.

Itulah pekerjaan yang dilakoni Hapadah, salah seorang petugas penjaga pintu air di Dam Joyo, Dusun Prejengan l, Desa/Kecamatan Rogojampi. Hapadah bukanlah orang baru yang bertugas di juru palang pintu pengairan.

Bapak dua anak itu sudah melakoni aktivitas itu sejak 32 tahun silam. Tak heran, jika terjadinya banjir di gang sawo, Dusun Maduran, Desa/Kecamatan Rogojampi pekan lalu membuatnya prihatin.

Meski terkesan sepele, rupanya itu memiliki tangung jawab besar. Jika palang pintu air itu tidak segera ditutup atau terlalu tinggi membuka, bisa berakibat fatal. “Kalau hujan deras dan telat menutup sedikit saja, air bisa naik ke rumah-rumah penduduk dan dampaknya banjir,” ungkapnya.

Karena tidak ingin dianggap lalai dalam menjalankan tugas, dia langsung melakukan koordinasi dan pemantauan dengan mengontak petugas yang ada di Kecamatan Songgon. Jika aliran sungai sudah mulai besar, Hapadah langsung koordinasi dengan masing-masing petugas Himpunan Petani Pemakai Air (Hippa) dan penjaga pintu air untuk waspada dan siaga di sekitar lokasi dam.

“Kalau sudah hujan turun, saya tidak bisa tidur. Bahkan juga bermalam di dam hanya untuk menungu dan memantau kondisi air sungai,” cetus Hapadah. Karena tergolong lama menjaga pintu air, dia tahu persis mengenai pola perubahan dan aliran air di masing-masing dam.

Perubahan yang paling mencolok adalah semakin banyaknya sampah kayu dan rumah tangga yang banyak dibuang langsung ke sungai. Tak heran, setiap kali datang ke pintu dam, dipastikan dia juga turun ke permukaan pintu air untuk membersihkan sampah yang hanyut karena tersangkut di pintu air.

“Berangkat pakaian dinas, pulang dari dam pasti basah,” aku terkekeh-kekeh. Jika sampah-sampah itu tidak segera dibersihkan bisa berdampak yang lebih besar. Sampah bisa mengganggu kelancaran aliran air, baik yang mengalir hingga ke sawah-sawah maupun ke aliran sungai di hilir.

Hujan dengan intensitas tinggi di daerah hulu akan berdampak terhadap daerah aliran sungai (DAS) di wilayah hilir. Untuk mengenali daerah hulu turun hujan, tidak hanya diberi kabar oleh petugas yang berada di hulu seperti yang ada di wilayah Kecamatan Songgon. Tapi, dikenali dari tanda-tanda warna air.

“Karena terbiasa mengamati aliran sungai, akhirnya bisa melihat tanda-tandanya,” jelasnya. Jika akan terjadi banjir, kata Hapadah, warna air akan berubah cokelat kehitam-hitaman dibarengi sampah banyak yang hanyut.

Bila mengetahui tanda-tanda akan banjir, dia langsung berkoordinasi dengan petugas pintu jaga lainnya, seperti menghubungi petugas Hippa yang berada di bawah dam yang berada di bawah Dam Joyo.

“Mulai dari daerah hulu aliran sungai lungun ini sudah dibagai mulai dari Dam Kelir, Dam Racek, Dam Cerme, Dam Joyo Pejengan, Dam Rejeng Prejengan, Dam Concrong,” terang lelaki yang diangkat menjadi PNS Pengairan tahun 2007 ini.

Untuk menunjang pekerjaanya itu, Hapadah juga selalu siap dengan membawa sejumlah peralatan mulai dari sabit, obeng, engkol dan peralatan lainnya yang diletakkan di dalam jok motornya. Jika sewaktu-waktu dibutuhkan, maka dia tinggal mengambil peralatan tersebut.

Selama menjalankan tugas tersebut, dia kerap berkoordinasi dengan petugas Hippa dusun setempat. Dengan demikian, langkah antisipasi yang dilakukan tersebut juga diketahui petugas Hippa dusun setempat.

“Jadi petugas tidak sembarangan, karena ada prosedurnya,” jelas bapak dua anak itu. Kondisi terbalik itu saat musim kemarau. Dengan bermitra bersama Hippa dan Jogotirto, dituntut bisa memberikan pelayanan mengaliri air ke kawasan persawahan yang dialiri sungai lungun, mulai dari Desa Bunder, Kecamatan Kabat hingga di daerah hilir di sekitar bandara Desa/Kecamatan Blimbingsari.

Kunci sukses dan tidaknya pertanian, juga bergantung pengaturan irigasi dipintu air. Untuk memberikan suplai aliran air di sawah itu, kerap dia selalu menjadi ujung tombak petani dalam pencapaian swasembada pangan.

“Kata orang gabah atau beras yang dialiri sungai lungun ini rasanya lebih manis. dan baik dibanding daerah lainnya,” terangnya. Meski tanggung jawab yang dipikul sangat berat, dia tetap berupaya semaksimal mungkin demi kesejahteraan petani dan keberlangsungan tanaman pangan di Banyuwangi.

“Kuncinya kerja keras dan kerja ikhlas,” tandasnya . (radar)