RADARBANYUWANGI.ID – Di hamparan tanah tandus Irak, sebuah nama akan selamanya terukir dalam memori kolektif umat Islam, yaitu Karbala.
Ini bukan karena kesuburan tanah atau sumber daya alamnya, tetapi karena darah suci yang mengalir di tanah tersebut pada 10 Muharram 61 Hijriah.
Peristiwa tragis yang terjadi lebih dari 1300 tahun lalu ini bukanlah kejadian politik biasa, melainkan momen yang mengguncang jiwa dan mengubah sejarah Islam selamanya.
Karbala, yang dalam bahasa Arab berarti “kesedihan dan penderitaan,” menjadi saksi bisu atas pengorbanan terbesar dalam sejarah Islam.
Baca Juga: Doa Awal Tahun Baru Hijriah Lengkap Arab, Latin, dan Artinya: Dibaca Setelah Maghrib Saat 1 Muharram
Di tempat ini, Hussein bin Ali, cucu tercinta Rasulullah SAW, memilih untuk berdiri teguh mempertahankan kebenaran meski harus menghadapi maut yang sudah di depan mata.
Kisah kepahlawanan ini bukan tentang kemenangan dalam perang, melainkan tentang kemenangan moral yang akan memotivasi jutaan orang hingga akhir zaman.
Latar Belakang: Akar Konflik yang Dalam
Peristiwa tragis di Karbala tidak muncul mendadak seperti petir di siang hari. Akar masalah ini dapat ditelusuri hingga akhir pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, ayah dari Hussein.
Setelah Ali meninggal, dunia Islam terbelah dalam ketegangan politik yang tak kunjung mereda.
Muawiyah bin Abi Sufyan yang berkuasa di Damaskus berhasil menguatkan posisinya dan mendirikan Dinasti Umayyah.
Ketika Muawiyah wafat pada tahun 60 Hijriah, putranya Yazid menggantikan tahta. Hal ini menjadi momen yang menentukan bagi Hussein. Yazid bukanlah sosok yang dikenal karena kesalehannya.
Ia lebih dikenal sebagai seorang pemuda yang hobi bersenang-senang, meminum khamar, dan menghabiskan waktu dengan kemewahan dunia.
Gaya hidupnya yang bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam membuat banyak tokoh senior menolak untuk mengakui dia sebagai khalifah.
Sebagai cucu Nabi dan penerus spiritual keluarga suci, Hussein merasakan tanggung jawab moral yang berat.
Page 2
Namun, semua tawaran tersebut ditolak. Yazid telah mengeluarkan perintah yang jelas. Hussein harus membai’at atau mati.
Selama sepuluh hari, dari tanggal 1 hingga 10 Muharram, ketegangan semakin memuncak. Pasukan Yazid menutup akses ke Sungai Furat, satu-satunya sumber air di daerah itu.
Anak-anak dan perempuan dalam rombongan Hussein mulai mengalami rasa haus yang menyengsarakannya.
Suara tangisan bayi Ali Asghar yang kehausan sangat menyedihkan siapa saja yang mendengarnya.
Pada pagi 10 Muharram, Hussein bangkit untuk melaksanakan shalat Shubuh.
Ia menyadari bahwa ini adalah shalat terakhirnya di dunia. Setelah selesai shalat, ia berkumpul bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Dengan suara yang tenang namun penuh karisma, Hussein mengungkapkan.
“Kematian adalah sesuatu yang pasti bagi anak-anak Adam, seperti kalung yang menghiasi leher seorang gadis. Betapa aku merindukan pertemuan dengan leluhurku, seperti Ya’qub rindu kepada Yusuf.”
Hussein memberikan kesempatan terakhir bagi siapa saja yang ingin meninggalkannya. Ia bahkan memadamkan api unggun pada malam sebelumnya agar orang-orang yang ingin pergi dapat melakukannya tanpa terdeteksi.
Namun, tidak ada satu pun dari 72 pengikutnya yang memilih untuk pergi. Mereka semua bertekad untuk tetap bersama Hussein hingga nafas terakhirnya.
Pertempuran dimulai ketika matahari belum sepenuhnya terbit. Satu per satu, pengikut Hussein jatuh dengan penuh keberanian.
Mereka tidak mundur sedikit pun. Abbas bin Ali, saudara tiri Hussein yang dikenal sebagai “Qamar Bani Hashim” (Bulan Keluarga Hasyim), gugur saat berusaha mendapatkan air untuk anak-anak yang kehausan.
Meski kedua tangannya dipotong, ia tetap berjuang untuk membawa air dengan menggigit.
Detik-Detik Terakhir: Sang Cucu Rasul Menghadap Illahi
Ali Akbar, putra Hussein yang tampan dan mirip dengan Rasulullah, melangkah ke medan perang.
Ketika ia jatuh, Hussein memeluk tubuhnya sambil berkata:
Page 3
Bagaimana ia bisa memberi dukungan kepada pemimpin yang secara terbuka melanggar aturan Islam?
Penolakan Hussein untuk membaiat Yazid bukanlah karena ambisi politik pribadi, tetapi karena komitmen mendalamnya terhadap nilai-nilai Islam yang tulus.
Perjalanan Menuju Karbala: Langkah Terakhir Menuju Keabadian
Ketika tekanan politik di Madinah semakin memuncak, Hussein memutuskan untuk meninggalkan kota asalnya.
Ia memulai perjalanan menuju Mekah, berharap menemukan ketenangan di tanah suci.
Namun, takdir memiliki rencana lain. Dari Kufah, Irak, banyak surat yang datang memanggil Hussein untuk datang dan memimpin perlawanan melawan Yazid.
Ratusan surat dari penduduk Kufah sampai ke tangan Hussein. Mereka berjanji akan memberikan dukungan penuh untuk gerakannya.
Isi surat-surat itu sangat menyentuh.
“Wahai cucu Rasulullah, datanglah kepada kami. Kami tidak memiliki pemimpin selain Anda. Tanah kami subur dan hati kami siap menerima Anda.”
Namun, ketika Hussein akhirnya memutuskan untuk pergi ke Kufah, ia tidak menyadari bahwa ini adalah sebuah jebakan yang telah direncanakan dengan matang.
Rombongan Hussein terdiri dari keluarga dan teman-teman dekatnya. Di antara mereka terdapat Zainab, kakak perempuan Hussein yang akan menjadi saksi bagi tragedi ini.
Ada juga Ali Akbar, putra Hussein yang tampan dan berani. Yang paling memilukan adalah kehadiran Ali Asghar, bayi berusia enam bulan yang akan menjadi korban termuda dalam tragedi ini.
Hari-Hari Terakhir: Kepungan dan Diplomasi yang Tidak Berhasil
Ketika rombongan Hussein tiba di kawasan Karbala, mereka menghadapi kenyataan yang sangat menyedihkan. Pasukan Yazid yang dipimpin oleh Umar bin Sa’d telah bersiap menunggu kedatangan mereka.
Situasi jumlah pasukan sangat tidak seimbang, 72 orang di pihak Hussein berhadapan dengan lebih dari 4.000 tentara Yazid. Ada pula laporan yang menyebutkan jumlah pasukan mencapai 30.000 orang.
Hussein tetap berusaha memilih jalur diplomasi. Ia menyampaikan tiga pilihan kepada Umar bin Sa’d.
Pertama, mengizinkannya kembali ke Madinah, kedua membolehkannya pergi ke perbatasan untuk berjuang melawan musuh-musuh Islam, atau membawanya menemui Yazid di Damaskus.
Page 4
“Semoga Allah membalas orang-orang yang membunuhmu, wahai anakku. Betapa beraninya mereka melawan Allah dan melanggar martabat Rasul-Nya.”
Momen paling menyedihkan terjadi ketika Hussein mengangkat bayi Ali Asghar di hadapan pasukan musuh. Dengan suara bergetar, ia berkata:
“Jika kalian marah padaku, apa salah bayi ini? Berikanlah dia seteguk air. ”
Jawaban yang ia terima adalah sebuah panah bersarungkan tiga yang menembus leher bayi malang itu. Darah Ali Asghar menyiram tangan Hussein. Dengan hati yang remuk, Hussein mengangkat tangannya ke langit dan berdoa:
“Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu.”
Ketika semua pengikutnya telah gugur, Hussein berdiri sendirian di medan perang. Tubuhnya dipenuhi luka, namun semangatnya tetap membara.
Ia maju ke tengah medan sembari membaca ayat-ayat Al-Quran. Panah terus menerus menghujani tubuhnya, namun ia tetap tegak.
Shimr bin Dzil Jaushan akhirnya turun dari kuda dan memenggal kepala Hussein dengan pedangnya.
Setelah Tragedi: Penderitaan yang Berlanjut
Setelah Hussein jatuh, tragedi belum berakhir. Kepala-kepala para syuhada dipancung dan dibawa ke Damaskus sebagai tanda kemenangan.
Kemah-kemah dibakar, dan perempuan serta anak-anak dijadikan tawanan. Zainab, saudara Hussein, terpaksa menyaksikan keponakannya dipenggal dan dibawa dalam tombak.
Perjalanan kafilah tawanan dari Karbala ke Kufah, lalu ke Damaskus, adalah satu babak kelam lainnya.
Mereka diperlakukan seperti penjahat perang, padahal mereka adalah keluarga Nabi. Di istana Yazid, kepala Hussein diletakkan di atas nampan dari emas.
Yazid bahkan memukul gigi Hussein dengan tongkatnya sambil melantunkan syair yang menghina.
Dampak dan Warisan Abadi
Tragedi Karbala mengubah arah sejarah Islam. Ini tidak hanya melahirkan aliran Syiah sebagai kelompok yang menolak legitimasi Yazid, tetapi juga menjadi simbol universal penentangan terhadap kezaliman.
Kisah Hussein menginspirasi berbagai gerakan pembebasan global, tidak hanya di kalangan Muslim.
Page 5

Bisikan Gaib dari Gua Istana
Rabu, 25 Juni 2025 | 13:41 WIB

Banyuwangi Berkhidmat
Rabu, 25 Juni 2025 | 06:06 WIB