Radarbanyuwangi.id – Edisi terbaru buku Man Nahnu karya Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa) Samsudin Adlawi resmi diluncurkan Jumat (2/8). Launching sekaligus bedah buku berjudul Man Nahnu 5: Menggahar Cintamani Banyuwangi” itu digelar di auditorium Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi.
Sekitar 250 peserta asal lintas elemen mengikuti bedah buku tersebut. Mulai kalangan akademisi, mahasiswa, pegiat literasi, masyarakat umum, hingga pengurus dan anggota Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Banyuwangi.
Buku yang berisi kumpulan tulisan Samsudin selama periode penerbitan koran JP-RaBa periode tahun 2023 dan 2024 tersebut dikupas oleh tiga tokoh, yakni Ketua Perpenas Banyuwangi Sugihartoyo, Wakil Ketua Dewan Ahli Pimpinan Cabang (PC) ISNU Banyuwangi Dr Kurniyatul Faiza, dan Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Hasan Basri. Bedah buku kali ini dimoderatori Wakil Rektor I Untag Mahfud.
Buku setebal 289 halaman yang bertisi 59 judul tulisan tersebut dibedah selama kurang lebih tiga jam. Berbagai tanggapan pun muncul dalam bedah buku tersebut. Audiens memberikan respons beragam kepada penulis. Mulai dari bagaimana penyusunan buku itu sampai filosofi pemilihan judul buku Man Nahnu edisi kelima tersebut itu.
Wakil Rektor II Untag Zaenudin Imam mengatakan, tulisan dan uraian dalam buku Man Nahnu selalu membawa pembaca untuk membuka cakrawala tentang Banyuwangi. Baik dari sudut pandang ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya. Sehingga, membuka mata pembaca untuk melihat potensi Banyuwangi dari sudut yang berbeda.
BEDAH BUKU: Dari kiri, Samsudin Adlawi, Ketua Perpenas Sugihartoyo, Wakil Ketua Dewan Ahli Pimpinan PC ISNU Dr Kurniyatul Faiza, dan Ketua DKB Hasan Basri dan moderator Mahfud (Ramada Kusuma)
”Dengan gaya penulisan yang khas dan isi yang inspiratif, semoga buku ini bisa membawa Banyuwangi seperti judulnya. Menggosok Permata Banyuwangi agar kilaunya menyebar ke seluruh dunia,” ujarnya.
Baca Juga: KRT Ilham Triadi Nagoro Dapat Support dari Ikawangi Balikpapan: Kondisi Tus Ngedrop, Dupa Mati, IKN Hujan Gerimis Sebentar
Ketua Perpenas Banyuwangi Sugihartoyo menuturkan, pemilihan warna putih pada sampul buku tersebut membawa pesan netral dari penulis. Logo peta Banyuwangi yang berada pada sampul buku tersebut juga menunjukkan kecintaan penulis kepada Banyuwangi.
Sedangkan dari sisi tulisan, menurut Sugihartoyo, buku Man Nahnu berisi bacaan dengan gaya populer, tapi santai. Hal ini menurutnya cukup menyenangkan bagi pembaca yang bisa menikmatinya di mana saja. ”Mau dibaca di kantor, di kereta, ini tetap enak karena diksinya santai,” tuturnya.
Dari segi tema tulisan, Sugihartoyo membeber semua aspek dalam tulisan Samsudin di buku Man Nahnu 5 ini. Mulai tulisan bergaya deskriptif, bernuansa seperti tajuk rencana, kritik, hingga pengalaman penulis. Seperti saat berada di Turki, Samsudin dalam tulisannya seolah mengajak pembaca untuk ikut menikmati negara Balkan itu.
”Jika dibaca dengan baik dan benar, kita akan melihat informasi yang lengkap dan mengedukasi kita semua. Buku ini berisi kontemplasi renungan dalam bentuk singkat. Dengan tujuan akhir mengajak Banyuwangi agar lebih besar, lebih bermanfaat, dan lebih terhormat,” kata dia.
Baca Juga: Siswa Tangguh SDN 8 Karangharjo Banyuwangi, Berangkat dan Pulang Naik Truk Milik Perkebunan Treblasala
Sementara itu, luasnya bahasan tulisan dalam buku Man Nahnu membuat pembedah berharap buku tersebut bisa diakses dunia pendidikan di Banyuwangi. Wakil Ketua Dewan Ahli PC ISNU Banyuwangi Dr Kurniyatul Faiza mengatakan, sangat disayangkan jika buku tersebut hanya dikonsumsi sekelompok elite.
Untuk itu, Faiza menyarankan buku tersebut bisa menjadi konsumsi siswa di sekolah. ”Buku ini bisa dijadikan materi untuk muatan lokal. Kita juga tidak hanya mengandalkan diaspora untuk mempromosikan Banyuwangi di luar daerah. Buku ini bisa menjadi bahan untuk dibawa keluar Banyuwangi sebagai catatan khazanah dari Banyuwangi,” ucapnya.
Page 2
Page 3
Dari sisi budaya, ada beragam hal yang menurut Ketua DKB Hasan Basri ditulis dalam Man Nahnu. Tulisan pertama Prestasi Prestisius Banyuwangi bagi Hasan adalah sesuatu yang dianggap berisiko. Sebab, berisi tulisan sanjungan bagi prestasi Banyuwangi yang dianggap tidak ”seksi” oleh pembaca.
Tapi dari sudut pandangnya, hal itu justru menjadi sebuah pengajaran baru kepada pembaca. Bagaimana sebuah sanjungan akan keberhasilan yang dilakukan orang lain, apalagi pemimpin menjadi bentuk kelegawaan.
Ada jug bab-bab tulisan yang menurut Hasan berisi refleksi budaya yang kini telah mulai hilang. Seperti suasana Ramadan di masa lampau yang kini sudah benar-benar hilang.
”Sensitivitas penulis dalam melihat kejadian, melihat fenomena tertentu, kemudian menjadikannya sebagai tulisan membutuhkan kepekaan dan analisis yang tajam,” jelasnya.
Kesan positif juga disampaikan Bupati Ipuk Fiestiandani Azwar Anas. Ipuk yang menjadi pembicara utama (keynote speaker) bedah buku kemarin mengatakan, dirinya selalu membaca setiap tulisan yang ada di dalam buku tersebut.
Ipuk nyaris tak pernah absen memantau perkembangan Banyuwangi dari sisi sudut pandang Samsudin Adlawi. ”Setiap tayang Pak Samsudin selalu mengirimi saya isi tulisannya, jadi saya sudah baca hampir seluruh isi buku Man Nahnu 5 ini,” akunya.
Ipuk mengatakan, ada banyak hal yang bisa dipelajari dari setiap tulisan Samsudin. Selain perkembangan Banyuwangi dari sudut pandang penulis yang juga seorang budayawan dan mantan wartawan, Ipuk juga merasakan kritik yang diberikan melalui tulisan-tulisan Samsudin Adlawi.
Baca Juga: Universitas Bhakti Indonesia, Banyuwangi Gelar Seminar Nasional Strategi Pengelolaan PT Unggul dan Kompetitif di Era Digital
Meski ada kritik di sana, Ipuk mengatakan dirinya bisa menangkap pesan yang diberikan tanpa merasa tersinggung atau gerah dengan isi tulisan.
Hal itu juga yang akhirnya membuat Ipuk merasa Man Nahnu perlu diperkenalkan kepada para pelajar di Banyuwangi sehingga bisa mendorong mereka yang enggan menulis menjadi suka menulis dan yang tidak suka membaca akhirnya menjadi suka membaca.
”Saya rasa Dinas Pendidikan dan Perpustakaan bisa membuat program untuk menelurkan Pak Samsudin-Pak Samsudin baru dari anak-anak kita. Karena banyak dari mereka saat ini yang malas untuk menulis. Dan saya rasa Pak Samsudin tidak akan kehabisan gagasan dalam tulisannya,” ucap Ipuk.
Sementara itu, penulis Man Nahnu 5 Samsudin Adlawi mengatakan, bagian tersulit dalam penulisan buku itu adalah bagaimana menuliskan memori dari apa yang diamatinya menjadi sebuah catatan.
Baca Juga: PLN UP3 Banyuwangi Pastikan Kesiapan Operasional, Gelar Pasukan dan Peralatan Bersama Mitra Kerja
Ditambah, Man Nahnu selama ini ditulis dengan gaya tersendiri. Jadi meski berisi kritik, Man Nahnu tetap bisa diterima semua orang. ”Di buku Man Nahnu, mereka yang dikritik tidak merasa marah karena tulisan dibaca dengan bahasa sarkas, namun tetap bernuansa sastrawi,” kata Samsudin.
Alumnus Universitas Negeri Malang itu secara konsisten menerbitkan buku Man Nahnu pada tahun 2018, 2019, 2021, 2022, dan 2024. Samsudin berharap, buku tersebut ke depannya bisa menjadi dokumen untuk perjalanan Banyuwangi. Sehingga, siapa pun yang ingin meneliti wajah Banyuwangi pada periode 2014 sampai 2024 bisa menggunakan Man Nahnu sebagai referensi dalam penelitian mereka.