Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Belajar Introspeksi dari Kebencian Siswa

Heriyanto Nurcahyo Guru SMAN 1 Glenmore Banyuwangi. Sedang belajar di graduates School Of Education Kumamoto University Jepang
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Heriyanto Nurcahyo Guru SMAN 1 Glenmore Banyuwangi. Sedang belajar di graduates School Of Education Kumamoto University Jepang

APAKAH kira-kira respon yang akan diberikan seorang guru saat mengetahui gaya mengajarnya di kelas tidak disenangi oleh siswa? Apapula respon yang akan diberikannya jika siswa tidak menyukainya secara personal? Bisa jadi, sang guru melakukan instropeksi diri sesaat setelah mengetahuinya. Bisa juga sang guru bersikap cuek dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara dia dengan siswanya.

Atau bisa pula dia melakukan tindakan-tindakan yang sangat “ekstrim”. Semisal mengusir sang siswa dari kelas, atau memarjinalkan peran dan keberadaannya. Banyak kemungkinan atas jawaban pertanyaan itu, bukan? Respon yang akan diberikan terkait erat dengan salah satunya bagaimana dia memandang pendidikan itu sendiri. Dia pandang sebagai proses atau hasil.

Jika dia memandangnya sebagai sebuah proses, maka kebencian sang anak didik akan menjadi bahan bakar yang sangat dia perlukan dalam memperbaiki kualitas dan profesionalnya. Dengan kebencian itulah dia punya banyak ruang untuk berbenah. Proses ini bukan tidak mungkin dapat membuahkan hasil bagi perbaikan pembelajarannya.

Namun jika dia memandangnya dari hasil, maka kebencian itu akan mendorong otak reptilnya berontak dan melakukan respon-respon yang kontraproduktif. Respon-respon semacam ini justru semakin membuat pembelajarannya terpuruk dan bahkan mendorong terjadinya cognitive shutdown alias kemunduran belajar bagi para siswanya.

Bagi Anda yang mungkin berprofesi sebagai guru pasti pernah mengalaminya. Atau kalau Anda belum pernah mengalaminya pasti pernah melihat dan setidak-tidaknya pernah mendengar dari kolega anda di sekolah. Kejadian- kejadian semacam ini sering terjadi di sekolah-sekolah kita bukan? Terkait dengan fenomena di atas, ada sebuah cerita menarik saat penulis mengoreksi ulang hasil pekerjaan siswa-siswa kelas 2 sebuah sekolah tingkat menengah di Jepang beberapa hari yang lalu.

Keanehan itu ada pada salah satu lembar jawaban sang siswa. Dalam salah satu jawabannya sang siswa menuliskan kata berikut: “Saya tidak menyukai pelajaran Bahasa Inggris!”. Ini adalah jawaban atas pertanyaan : Sukakah Anda pada pelajaran Bahasa Inggris? Tidak cukup dengan kata-kata yang meletup emosi sang guru itu, sang siswa juga menuliskan alasan di balik ketidaksenangannya.

Usut punya usut, ternyata ketidaksukaan siswa pada pelajaran tadi dipicu perlakuan yang pernah dia terima dari sang guru. Sang guru pernah membentaknya saat dia tidak berkata sepatahpun dalam sebuah kegiatan di kelas. Rupanya, peristiwa itu telah menjadi “virus” yang terus mengganggu kinerja alam bawah sadarnya. Kondisi ini memaksanya melihat sang guru laksana “momok” yang menghantui dan mengganggu minat dan kosentrasi belajar Bahasa Inggrisnya.

Di sisi lain, tahukah Anda apakah respon yang diberikan oleh sang guru saat mengetahui ungkapan emosi siswa tersebut? Marahkah dia? Membecikah? Atau menga- nggap ungkapan itu sebagai angin lalu belaka? Sungguh apa yang dilakukan sang guru memberi pelajaran sangat berharga bagi penulis. Sang guru tidak marah, apalagi mengusir siswa tersebut dari kelasnya. Justru yang dia lakukan adalah memenangkan perasaan sang murid.

Rupanya dia membangun empati dengan jalan memposisikan dirinya dalam perasaan sang siswa. Dengan menulis balasan di lembar jawaban sang siswa: Benarkah saya melakukannya? Kapan? Maukah Anda saya temui untuk membahas persoalan itu? Respon positif sang guru tadi mengingatkan saya pada pendapat Andrian Underhill yang mengkategorikan mengajar dalam tiga ga- ya utama: The Explainer,The Involver, dan The Enabler.

Ketika gaya itu tersusun secara berurutan dari yang hanya memiliki pengetahuan, metodologi sampai yang memiliki simpati dan empati. Konon, The Enabler-lah yang mendorong terjadinya percepatan pembelajaran. Hal ini terjadi karena guru tidak hanya berfungsi sebagai agen pengetahuan semata, namun dia menjelma menjadi penuntun, konselor, mampu bersimpati dan cakap membangun empati, bahkan pencerah spiritual sekaligus bagi siswa.

Dengan kata lain, saat dia mengetahui pembelajarannya gagal, maka dengan segera ia mencari tahu dan memformulasikan alternatif pemecahannya. Saat dia menemukan sang siswa berada dalam mood belajar yang sangat rendah, maka dengan segera dicarikan terobosan-terobosan untuk merangsang gairah belajarnya kembali. Bukan malah asyik mencari kambing hitamnya atau sibuk melimpahkan kesalahan pada sang siswa.

Dari pengalaman inilah kemudian penulis menyadari betapa penting respon anak didik dalam perbaikan pembelajaran. Terlepas dari rasa senang dan tidak senang atas ‘protes‘ yang dilakukan siswa, menjadi sangat berharga sekali jika segala kebencian itu dapat diubah menjadi energi positif bagi perbaikan kualitas pembelajaran. Seberapa hebat nyeri psikologis yang ditimbulkan oleh ungkapan kebencian itu, dia tetaplah emas yang menjadikan kita lebih baik dan baik lagi. Guru juga manusia.

Karenanya dia tidak luput dari salah dan alpa. Beruntunglah kita memiliki siswa yang bersedia menunjukkan letak kelemahan yang kita miliki. Tanpa itu semua, mustahil kita bisa menjadi baik. Sesungguhnya dalam pendidikan, kesalahan itu adalah silabus yang akan menyempurnakan pembelajaran yang kita fasilitasi. Dari kesalahanlah kita bisa belajar dan menemukan cara lain menggapai prestasi belajar siswa. (radar) ([email protected])