TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Fenomena langka blue fire atau api biru di Kawah Gunung Ijen beberapa pekan terakhir tak tampak seperti biasanya. Kondisi tersebut memunculkan banyak pertanyaan dari publik terutama wisatawan yang datang untuk menyaksikan keindahan cahaya biru di tengah kegelapan malam.
Menanggapi hal tersebut, praktisi geologi Banyuwangi, Abdillah Baraas menegaskan bahwa padamnya blue fire bukanlah pertanda hilangnya fenomena alam tersebut. Kondisi ini terjadi akibat proses perawatan pipa sistem gas yang tengah dilakukan oleh PT Candi Ngrimbi, selaku pemegang izin pengelola kawasan tambang belerang Ijen.
Praktisi geologi Banyuwangi, Abdillah Baraas. (FOTO: Dokumentasi TIMES Indonesia)
Abdillah menjelaskan, blue fire muncul karena adanya pembakaran gas sulfur (belerang) yang keluar dari celah-celah bumi dan bereaksi dengan oksigen pada suhu tinggi.
Saat sistem pipa menjalani proses peremajaan, aliran gas dikendalikan sehingga sublimasi sulfur yang biasanya memunculkkan api biru menjadi terhenti sementara.
“Api biru yang menghilang hari ini adalah bagian dari kegiatan peremajaan sistem pipa oleh Candi Ngrimbi,” jelas Abdillah, Kamis (6/11/2025).
General Manager UNESCO Global Geopark Ijen itu, menerangkan bahwa di Kawah Ijen, terdapat dua sistem yang memiliki fungsi berbeda. Satu digunakan untuk kepentingan wisata atau atraksi blue fire, sedangkan yang lain berfungsi untuk proses produksi belerang oleh para penambang. Kondisi ini, dinilai seringkali memunculkan dilema antara dua kepentingan yang sama pentingnya.
Abdillah mencontohkan, ketika nyala api biru dari jalur atraksi merembet ke area produksi, belerang padat bisa ikut terbakar dan mengganggu produktivitas penambangan. Karena itu, keseimbangan antara kepentingan wisata dan kepentingan ekonomi masyarakat sekitar harus dijaga.
“Tidak fair kalau fenomena ini dilihat hanya dari sisi wisata. Kita juga harus memikirkan para penambang yang terdampak,” ujarnya.
Fenomena padamnya blue fire, masih Abdillah, bisa menjadi momentum bagi Bumi Blambangan untuk melakukan transisi pariwisata yang lebih berkelanjutan.
Dalam momentum ini, Abdillah mengingatkan bahwa api biru merupakan fenomena alam dari aktivitas gas sulfur yang suatu saat dapat berhenti dengan sendirinya. Oleh karena itu, kawasan Ijen tidak bisa selamanya bergantung pada satu daya tarik tersebut.
“Kawah Ijen ini memiliki danau asam terbesar di dunia dengan warna hijau toska yang menawan. Pemandangan tersebut bisa dikemas menjadi destinasi fotografi alam, wisata edukatif, maupun tur ekologi. Selain itu, panorama sunrise di puncak Ijen juga menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia,” ucapnya.
Abdillah berharap, momentum ini dapat menjadi titik awal bagi semua pihak untuk menata kembali arah pengelolaan Kawah Ijen secara lebih bijak.
Dengan keseimbangan antara konservasi alam, edukasi, dan ekonomi masyarakat, Ijen akan tetap menjadi ikon kebanggaan Banyuwangi yang memikat dunia bukan hanya karena blue fire-nya, tetapi karena keindahan dan kearifan alamnya yang lestari. (*)
| Pewarta | : Muhamad Ikromil Aufa |
| Editor | : Ferry Agusta Satrio |







