Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Dr. Yeni Artanti Soroti Tradisi Lisan dan Naskah Lokal sebagai Ruang Emansipasi Perempuan dalam Sastra

Banyuwangi, Jurnalnews.com — Sesi ketiga Lokakarya Penulisan Kreatif Sastra dan Pembuatan Produk Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip yang digelar di Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi, Rabu (28/05/2025) menghadirkan narasumber istimewa, Dr. Yeni Artanti, M.Hum., akademisi dari Universitas Indonesia yang dikenal luas melalui kajiannya seputar budaya dan representasi perempuan dalam sastra lokal.

Mengusung tema “Tradisi Lisan, Perempuan, dan Reinterpretasi dalam Sastra Modern”, Dr. Yeni menyoroti pentingnya menggali ulang peran perempuan dalam cerita rakyat, mitologi, serta manuskrip kuno. Ia menyebutkan bahwa tradisi lisan Indonesia kaya akan narasi perempuan—baik yang muncul secara langsung maupun tersembunyi dalam simbol dan struktur cerita—yang dapat menjadi sumber inspirasi sekaligus ruang refleksi dalam penciptaan karya sastra modern.

“Warisan lisan kita menyimpan banyak suara perempuan. Ada yang tampil jelas, ada pula yang tersembunyi dalam simbol, tokoh pendamping, atau latar cerita. Kita perlu menafsirkan ulang kisah-kisah ini dengan sudut pandang yang lebih peka terhadap zaman dan kesadaran gender,” ungkap Dr. Yeni dalam pemaparannya.

Ia juga mendorong peserta untuk mengadaptasi tokoh-tokoh perempuan dari kisah tradisional ke dalam bentuk karya sastra seperti puisi, cerpen, maupun narasi kreatif lainnya. Menurutnya, proses ini bukan sekadar upaya pelestarian, melainkan juga langkah strategis untuk menyuarakan semangat emansipasi, nilai-nilai kemanusiaan, serta spiritualitas lokal.

Sesi yang berlangsung interaktif ini diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai latar belakang, mulai dari guru, mahasiswa, penulis pemula, hingga pelaku budaya lokal. Diskusi berkembang dari soal teknik menulis ulang narasi tradisional hingga tantangan menyeimbangkan kreativitas dan ketepatan budaya dalam interpretasi ulang cerita lama.

“Bukan hanya tentang menulis, tetapi juga tentang menyadari bagaimana tradisi bisa menjadi jembatan untuk memahami identitas dan peran perempuan dalam sejarah masyarakat,” ujar salah satu peserta, Yuliana, mahasiswa sastra dari Banyuwangi.

Kegiatan lokakarya ini merupakan hasil inisiasi HISKI Pusat dan didukung penuh oleh Dana Indonesiana serta LPDP. Program ini juga terselenggara melalui kolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi lewat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dewan Kesenian Blambangan, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA), dan HISKI Komisariat Banyuwangi. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Festival Banyuwangi 2025 yang mengusung tema “Banyuwangi Kolo Semono”, sebuah ajakan untuk kembali menyelami akar budaya lokal sebagai pusat inovasi kreatif.

Ketua HISKI Pusat dalam sambutan pembukanya menyatakan bahwa HISKI terus mendorong kolaborasi antarpelaku budaya untuk menghidupkan kembali tradisi lisan dan naskah kuno. “Kami percaya bahwa digitalisasi dan reinterpretasi tradisi bisa menjadi jembatan antara generasi, sekaligus bentuk pelestarian yang adaptif dan inklusif,” tegasnya.

Dengan narasi yang kuat dan perspektif yang menggugah, sesi ketiga lokakarya ini memperkaya wacana kesusastraan berbasis tradisi dengan nilai-nilai lokal yang hidup. Harapannya, peserta mampu melahirkan karya-karya yang tak hanya bernilai estetika, tetapi juga mampu menyuarakan isu-isu sosial dan identitas budaya secara lebih berkelanjutan.(Syaf)