Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Endemi Politik Dinasti

Detik.com

Jakarta

Politik dinasti atau sering disebut juga politik kekerabatan, secara genealogis dan historis lahir dan tumbuh kembang dalam sistem monarki, di mana kekuasaan diwariskan secara turun-temurun dari ayah ke anak. Hal ini dilakukan dalam rangka agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.

Tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik dalam masyarakat politik modern. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.

Para politisi memanfaatkan kultur neopatrimonial ini sebagai strategi politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan melalui jalur politik prosedural (baca: demokrasi). Anak, keluarga, atau kerabat para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik.

Tak Terkendali

Saat ini praktik politik dinasti tidak sekadar fenomena politik semata, tetapi sudah menjadi endemi politik yang menyebar ke berbagai daerah yang tak terkendali. Menjamurnya praktik politik dinasti ini tentu saja akan mengancam tumbuh-kembangnya demokrasi yang sehat di Indonesia. Dengan politik dinasti, tata kelola kenegaraan dan kepemerintahan dapat dilakukan di “kamar tidur” rumah.

Endemi politik dinasti ini tidak hanya ada di lembaga legislatif, tapi juga eksekutif. Hasil riset Lembaga Studi Negara Institute (LNSI) menyebut sekitar 17,22% anggota DPR 2019 – 2024 merupakan bagian dari politik dinasti, karena memiliki hubungan dengan pejabat publik, baik hubungan darah, pernikahan, maupun kombinasi keduanya.

Praktik politik dinasti ini hampir menyebar di seluruh parpol yang masuk Senayan. LSNI menyebutkan detailnya; urutan pertama Partai Nasdem dengan 20 aleg (dari 59 kursi) atau 33,90%, disusul PPP dengan 31,58% (6 dari 19), Golkar 21,8% (18 dari 85), Demokrat 18,52% (10 dari 54), PAN 18,8% (8 dari 44), Gerindra 16,7% (13 dari 78), dan PDI-P 13,38% (17 dari 128), PKS 8% (4 dari 50), dan PKB 5,17% (3 dari 58 kursi).

Secara geografis, hampir 80% wilayah di seluruh Indonesia produk politik dinasti, dan Jawa Timur adalah daerah terbanyak yang menjalankan politik dinasti, yakni 14 daerah. Disusul Jawa Tengah dan Sulsel (6 daerah), Jawa Barat, Sumsel, dan Banten (5 daerah), dan Kalimantan Timur, Sumut, dan Lampung (4 daerah).

Praktik politik dinasti juga memawah di ajang kontestasi politik Pilkada 2020. Pada Pilkada 2020, Jatim melahirkan politik dinasti di antaranya Ipuk Azwar Anas, Bupati Banyuwangi (istri Azwar Anas/bupati Banyuwangi); Ikfina MKP, Bupati Kab. Mojokerto (istri dari Musthofa Kamal Pasha/bupati Kab. Mojokerto); Makmun Ibnu Fuad, Bupati Bangkalan (anak Fuad Amin/Bupati Bangkalan); Puput Tantriana, Bupati Probolinggo (istri Hasan Aminuddin/bupati Kab. Probolinggo); Ita Puspotasari, Wali Kota Mojokerto (adik MKP/Bupati Kab. Mojokerto); Hanindito Himawan, Bupati Kediri (anak Pramono Anung); Ony Anwar, Wabup Kab. Ngawi (anak Harsono/mantan bupati); Aditya Halindra, Bupati Tuban (anak Heny/mantan bupati).

Tak mau ketinggalan, praktik politik dinasti juga dilakukan oleh Presiden Jokowi sendiri. Dalam waktu kurang enam tahun, mampu membangun imperium baru. Anak pertama, Gibran Raka Buming Raka jadi Wali Kota Solo; sang menantu, Bobby Nasution jadi Wali Kota Medan; dan, saat ini sedang mempersiapkan Kaesang Pangarep untuk maju Pilkada Kota Depok.

Pada 2024 mendatang, diprediksi politik dinasti akan semakin marak, baik itu di pemilu legislatif maupun di pilkada. Semua itu dilakukan dalam rangka meraih dan mempertahankan kekuasaannya agar jangan sampai pindah ke tangan orang lain.

Obat Penyubur

Beberapa obat penyubur lahirnya praktik politik dinasti; pertama, tidak ada regulasi yang mengatur/membatasi orang untuk maju dalam kontestasi politik. Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah membatalkan ketentuan yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah incumbent.

Alasannya, pasal seperti ini melanggar hak asasi manusia dan bersifat diskriminatif. Putusan MK ini menjadi angin segar bagi tumbuh suburnya pelembagaan politik dinasti. Dengan demikian, siapapun sanak famili yang masih ada hubungan dengan kepala daerah incumbent, boleh saja menjadi kepala daerah sepanjang dipilih oleh publik.

Kedua, sistem kelembagaan internal parpol yang masih sangat lemah, yang ditandai dengan macetnya kaderisasi di internal. Parpol lebih mengandalkan ikatan genealogis dari pada merit sistem (prestasi, kecerdasan, dan usaha). Ketiga, di tengah macetnya kaderisasi, maka muncullah tindakan politik pragmatis dan instan, yakni mencari calon yang punya ikatan kekerabatan dengan pejabat yang memiliki peluang menang.

Keempat, kuatnya oligarki politik di internal parpol. Pemilihan kepala daerah melalui pencalonan kandidat oleh partai politik lebih cenderung didasarkan atas keinginan elite partai, bukan berdasar rasionalitas dengan mempertimbangkan kapasitas, rekam jejak, dan integritas calon. Kelima, masih lemahnya literasi dan pendidikan politik pemilih tentang dampak buruk dari praktik politik dinasti.

Dampak Buruk

Agar pemilih tidak tertipu, tidak emosional, dan tetap bersikap rasional dan objektif, perlu ditunjukkan data dan fakta tentang dampak buruk dari praktik politik dinasti. Pertama, politik dinasti tentu saja akan menghambat dan bahkan merusak sistem kaderisasi di internal parpol –menjadikan partai sebagai mesin politik semata.

Rekrutmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan calon untuk meraih kemenangan. Muncullah calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah biru” atau politik dinasti, tanpa melalui proses kaderisasi.

Kedua, politik dinasti akan melahirkan oligarki politik, karena dalam sistem yang “eksklusif” tersebut hanya orang-orang “eksklusif” saja yang memiliki akses dan meraih tongkat estafet kekuasaan, mirip sistem politik kerajaan, serta hanya mereka yang akan mengendalikan jalannya roda pemerintahan.

Ketiga, secara faktual, politik dinasti lebih dekat dengan praktik penyalahgunaan kekuasaan dan sarat dengan praktik korupsi. Data KPK menunjukkan, daerah-daerah yang ada politik dinastinya, sebagian besar berujung pada praktik korupsi. Pelajaran yang paling nyata fenomenal adalah poitik dinasti yang terjadi di Provinsi Banten, di mana ayah, anak, menantu, keponakan, dan kerabat mantan Gubernur Ratu Atut Chosiyah memegang berbagai lini kekuasaan, baik eksekutif dan legislatif.

Pendidikan Pemilih

Kita mungkin tidak dapat melarang munculnya praktik politik dinasti dalam demokrasi elektoral (pemilu atau pilkada), tetapi praktik politik dinasti setidaknya dapat dicegah dan dihambat, melalui; pertama, dari sisi negara: dibutuhkan pemikiran yang komprehensif dan regulasi yang kuat untuk setidaknya membatasi agar dan dinasti tidak merajalela dan merusak tatanan demokrasi.

Kedua, dari sisi parpol: kita dorong parpol agar menerapkan sistem atau model kandidasi bertahap dan bertingkat; tumbuh kembangkan sistem meritokrasi di internal partai yang sehat; sistem seleksi yang terbuka dan transparan; kapasitas, integritas, dan rekam jejak harus menjadi pertimbangan utama calon daripada kedekatan politik kekerabatan.

Ketiga, dari sisi pemilih: perlu digencarkan pendidikan pemilih yang lebih rasional dan mencerahkan. Gerakan pendidikan pemilih ini harus dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Edukasi politik publik yang kuat untuk membangun budaya literasi politik yang kritis di tengah masyarakat. Pilihlah pemimpin daerah karena visi, misi, dan program kerja yang berkualitas, bukan karena faktor dinasti politik.

Saat ini masih ada waktu yang cukup panjang bagi masyarakat pemilih untuk menentukan pilihan politiknya. Pilihan politik masyarakat yang diwujudkan dalam suatu bilik suara kurang lebih lima menit, akan berdampak serius terhadap nasib pemilih sendiri, masyarakat lainnya, dan nasib bangsa/daerah lima tahun ke depan. Karena itu, gunakan hak pilih Anda secara rasional dan bertanggung jawab.

Pilihlah pemimpin (daerah) karena visi, misi, dan program kerja yang berkualitas, bukan karena faktor dinasti politik. Suara rakyat akan menentukan arah perubahan dan perbaikan bangsa/daerah dalam lima tahun ke depan. Pemilih yang cerdas diharapkan akan menghadirkan pemilu/pilkada dan pemimpin (daerah) yang berkualitas..

Umar Sholahudin dosen Sosiologi Politik dan Wadek 1 FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

(mmu/mmu)

source