Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Gandrung Semalam Suntuk di Balai Dusun Klatakan, Singojuruh

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

gandrungAda Generasi 1955, Gandrung 1980, dan Penari 2010

GAMELAN yang sudah tertata rapi sejak sore itu akhirnya berbunyi. Lengkingan khas mengawali atraksi jejer gandrung yang ditampilkan sepuluh pasang penari cilik. Gerak gemulai para penari cilik tersebut memukau para warga yang sudah lama menunggu mereka. Penampilan yang diiringi hentakan kendang itu merupakan prakegiatan warga Dusun Klatakan, Desa Singojuruh, malam itu. Malam itu merupakan malam yang istimewa bagi warga Dusun Kalatakan, Desa Singojuruh. Rasa gembira menyelimuti sebagian besar warga.

Hal itu tidak berlebihan karena bangunan balai Dusun Klatakan berbentuk joglo itu bakal diresmikan. Bangunan itu menjadi simbol kebanggaan warga setempat. Bangunan hasil swadaya warga itu sengaja diresmikan bersamaan dengan pergelaran gandrung semalam suntuk di tempat tersebut. Meski di Banyuwangi sering dipentaskan tari gandrung, tapi gandrung yang dihelat secara utuh bisa dibilang sudah sangat jarang. Bagi para pemerhati seni Banyuwangi, malam itu merupakan malam yang tidak akan dilupakan. 

Pergelaran yang diprakarsai akademisi yang juga Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Profesor Doctor Sri Hastanto, S. Ker dengan masyarakat Singojuruh itu tidak tanggung-tanggung. Para punggawa gandrung Banyuwangi dari tiga generasi tampil bersama malam itu. Temu dan Darti mewakili generasi 1955. Generasi yang mewakili angkatan 1980 adalah Supinah, Sunasih, dan Lilik. Yang paling muda adalah generasi gandrung 2010, yakni Mia dan Een.

Penonton pementasan malam itu bisa menyaksikan urutan pergelaran gandrung secara utuh sejak awal hingga akhir. Terlebih ada penampilan tari topengan, sebuah tari asli Banyuwangi yang kini mungkin sangat sulit disaksikan. Belum hilang rasa terkesima dengan suguhan pertama, Sudarti tampil luwes membawakan “Jejer Ukir Kawin”. Penampilan penari gandrung pro itu disusul aksi yang tak kalah menghibur “Jejer Gandrung” olehSunasih. Disusul menampilkan gandrung kreasi 2010. Malam itu juga dilangsungkan sesi “Godog”, yakni sebuah bagian dari pergelaran gandrung.  

Praktiknya, seorang penari laki-laki membawa para penari ke meja tamu. Sesi itu dilanjutkan dengan ngrepen. Saat ngrepen berlangsung, penonton boleh request lagu yang dinyanyikan gandrung. Sesi itu berlangsung cukup lama. Pada sesi inilah para tamu berkesempatan menari bersama gandrung. Umumnya satu gandrung akan menari bersama empat tamu. Kades Singojuruh, Sahuni, yang juga alumnus ISI Surakarta mengaku senang dengan hajatan malam itu.

Selain senang dengan bergotong-royong warga membangun balai dusun hingga rampung, sebagai seorang seniman dirinya merasa senang karena bisa menyaksikan gandrung Banyuwangi yang utuh. Gandrung merupakan akar kesenian di Banyuwangi, khususnya tari. Dari pertunjukan itu, generasi muda bisa mengerti selukbeluk dan pakem gandrung yang sebenarnya. Kades Sahuni menilai, saat ini pementasan gandrung kurang memperhatikan unsur yang menjadi esensi gandrung. “Gandrung banyak dibatasi paguyuban,” keluh pria berkumis tebal itu. 

Sahuni berharap, para gandrung yang sudah waktunya pensiun bisa segera diwakili para generasi muda. ”Penari gandrung itu harus yang punya daya tarik,” cetusnya. Profesor Dr. Sri Hastanto sebagai salah satu pemrakarsa acara malam itu mengaku, ada yang sedikit beda dengan gandrung yang dilihat pada era awal. Menurutnya, perkembangan gandrung secara teknis saat ini lebih bagus. Namun, banyak penari yang kurang memahami esensi gandrung tersebut.

Hal itu perlu segera disikapi para pemerhati gandrung. ”Agar gandrung muda mengerti gandrung,” ujarnya. Kecintaannya terhadap seni tradisi juga dilontarkan dengan obsesinya menggelar pergelaran serupa tahun depan.”Obsesi saya menyelenggarakan gandrung semalam suntuk. Masak tidak ada yang bisa,” harapnya. Keinginan itu nanti bila terwujud nanti akan dilangsungkan di Banyuwangi. Hal itu mengacu pada akar kesenian gandrung yang lahir di Banyuwangi. “Kesenian itu bisa tumbuh jika punya akar. Akarnya gandrung ya di Banyuwangi,” tuturnya. 

Sementara itu, para tamu undangan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) dan juga Dewan Kesenian Blambangan (DKB) menyampaikan apresiasinya. “Acara malam ini sungguh dahsyat. Benar-benar lengkap,” ujar Azhar, salah satu anggota DKB. Sementara itu, Dariharto selaku Kabid Kebudayaan pada Disbudpar Banyuwangi menyambut baik acara malam itu. Dia berharap muncul para penari muda yang benar-benar profesional. Terkait keinginan Profesor Sri Hastanto, pihaknya menyambut baik dan berharap itu bisa terwujud. “Acara ini luar biasa. Kita dukung beliau,” pungkasnya. (radar)

Kata kunci yang digunakan :