Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Harga Rokok Rp 50 Ribu, PHK Mengintai Karyawan

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Seorang-buruh-sedang-bekerja-memproduoksi-rokok-di-sebuah-home-industry-di-Jalan-Serayu-Nomor-62,-Kelurahm-Panderejo,-Banyuwangi,-kemarin.
Seorang-buruh-sedang-bekerja-memproduoksi-rokok-di-sebuah-home-industry-di-Jalan-Serayu-Nomor-62,-Kelurahm-Panderejo,-Banyuwangi,-kemarin.

MESKI sebatas rencana, kabar harga rokok akan membubung tinggi melahirkan keresahan bagi sebagian pihak. Termasuk para pelaku industri rokok di Bumi Blambangan. Kalangan pengusaha rokok berharap kalau pemerintah menaikkan harga, kenaikannya jangan terlalu drastis. Jika naik drastis, usaha mereka akan gulung tikar.

Kemarin (22/8) Jawa Pos Radar Banyuwangi mencoba menelusuri jumlah  pabrik rokok legal di Banyuwangi. Ternyata ada 15 pabrik  rokok legal yang tersebar di seantero Bumi Blambangan. Disebut legal, karena pabrik rokok tersebut telah memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC).

Keresahan terkait kabar melambungnya harga rokok tersebut diutarakan Samsul Hudi, pemilik Pabrik Rokok (PR) Lang Mas, di Jalan Ikan Wijinongko, Kelurahan Sobo, Banyuwangi. Menurut dia, apabila pemerintah menaikkan cukai rokok hingga harganya mencapai Rp 50 ribu per bungkus, hal itu sama saja membunuh.

Dikatakan, jika harga rokok mencapai Rp 50 ribu per batang, maka akan memberatkan konsumen. Jadinya, mereka enggan membeli rokok kemasan dan memilih merokok dengan cara melinting sendiri. Selain itu, kebijakan tersebut akan memicu oknum-oknum tidak bertanggung Jawab memperdagangkan rokok ilegal alias rokok tanpa pita cukai.

“Akibatnya, akan banyak perusahaan rokok legal yang gulung tikar. Itu sama saja bunuh diri. Karena selama ini salah satu pendapatan terbesar negara berasal dari cukai rokok,” ujar Samsul kemarin (23/8). Dia menuturkan, perusahaan rokok miliknya mengalami masa kejayaan sejak didirikan tahun 2006.

Kala itu dia mampu mempekerjakan 168 karyawan. Total produksinya pm cukup fantastis, yakni 300 ribu batang per bulan. Namun,. setelah itu pemerintah menerapkan sejumlah kebijakan yang cukup memberatkan para pengusaha rokok.

Salah satunya, menaikkan cukai hasil tembakau. Akibatnya, pada 2009 perusahaan rokok milik Samsul mengalami kemunduran. Total produksinya merosot hingga tinggal 30 ribu batang per bulan.  Oleh karena itu, mau tidak mau Samsul terpaksa mengurangi jumlah karyawan hingga menjadi enam orang. Enam karyawan itu tetap bertahan sampai saat ini.

“Kalau harga rokok benar-benar naik hingga Rp 50 ribu per bungkus, saya tidak tahu lagi perusahaan saya ini ke depan akan seperti apa. Yang pasti akan banyak perusahaan rokok yang gulung tikar,” kata mantan ketua Gabungan Perusahaan Rokok Banyuwangi (Gaproba) tersebut.

Samsul berharap, kenaikan harga rokok yang akan diberlakukan pemerintah itu tidak terlalu signifikan. “Kalau naik, yang wajar saia kenaikannya. Kalau terlalu signifikan, industri rokok akan mengalami kemunduran luar biasa,” pungkasnya.

Pemyataan serupa diungkapkan Windi Aswati, salah satu pengusaha home industry rokok yang beralamat di Jalan Serayu Nomor 62, Kelurahan Panderejo, Banyuwangi. Dia mengaku sangat resah dengan isu naiknya harga rokok itu. Dia takut usaha yang dirintisnya sejak tahun 2013 itu akan gulung tikar.

“Rokok yang saya produksi untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah. Harga per bungkus hanya Rp 4.000. Isinya 10 batang,” katanya. Jika memang benar harga rokok harus naik sampai Rp 50 ribu, pengusaha rokok rumahan benar-benar kena dampaknya. Bahkan, Windi sudah berancang-ancang menutup usahanya itu jika harga rokok benar-benar naik.

“Yang jelas kita kehilangan konsumen kalau harganya mahal. Karyawan bisa saia kita PHK. Kalau semakin lesu, ya kita tutup,” tegasnya.  Kalau harus rokok naik tentu pita cukai juga naik. Saat ini saja sudah bisa dibilang cukup mahal. Pita cukai untuk satu rim rokok, Windi harus merogoh kocek Rp 48 juta. Jika tidak, maka produk rokoknya menjadi ilegal.

“Bayangkan Mau harga rokok naik, berapa juta lagi kita harus menyetor ke bea cukai untuk mendapatkan pita cukai. Pastinya kan naik juga,” katanya. Naiknya harga rokok memang sebatas wacana. Sampai sekarang, Windi masih terus memprodulsi rokok.

Terkait rokok yang dia produksi, permintaan biasanya datang dari Lombok, Kupang, dan daerah lain di NTT. “Kita bisa produksi sampai 5 karton per hari. Semua dikerjakan secara manual. Kami punya sebelas karyawan yang semua warga sekitar. Kalau harga rokok harus naik. kita terpaksa PHK karyawan,” tandasnya.

Dia berharap, jika pemerintah ingin mengurangi jumlah perokok sebaiknya juga memikirkan pengusaha kecil. Sebab, modal dan biaya produksi akan meningkat jika harga rokok naik. “Harus ada solusinya. Kalau perusahaan rokok besar mungkin tidak bingung karena pasarnya sudah jelas. Kebijakan ini berdampak kepada pengusaha rokok kecil seperti kami. Di Banyuwangi banyak lho produksi rokok rumahan, ada puluhan bahkan lebih,” pungkas Windi (radar)