Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Jadi Sarjana Usia 60, Kisah Pak No Ini Bikin Hati Nggak Kuat: Jual Kambing Demi Kuliah

jadi-sarjana-usia-60,-kisah-pak-no-ini-bikin-hati-nggak-kuat:-jual-kambing-demi-kuliah
Jadi Sarjana Usia 60, Kisah Pak No Ini Bikin Hati Nggak Kuat: Jual Kambing Demi Kuliah

RADARBANYUWANGI.ID – Sabtu lalu (24/5) di auditorium Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi penuh dengan wajah-wajah cerah.

Sebanyak 166 mahasiswa dari 6 fakultas dan 11 program studi menjalani wisuda. Satu di antara wajah-wajah semringah adalah Suriyono. Pria berusia 60 tahun resmi menyandang Sarjana Pertanian (SP). 

Ratusan wisudawan berdiri gagah dengan toga di kepala. Di antara barisan anak-anak muda itu, satu sosok tampak mencolok.

Seorang pria paro baya, Suriyono namanya. Dia duduk dengan ekspresi lega, senyumnya paling terang di antara semua wisudawan.

Tahun ini Suriyono genap berusia 60 tahun. Tahun ini pula ia resmi bergelar sarjana pertanian dengan IPK 3,06.

Air matanya nyaris tumpah saat namanya dipanggil ke podium. Bukan karena pencapaian semata, tapi karena semua kenangan, luka, dan pengorbanan selama enam tahun terakhir.

”Lega, akhirnya selesai juga. Cita-cita menjadi sarjana alhamdulillah bisa terwujud sekarang, terima kasih semuanya,” ujar Pak No, panggilan akrabnya kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi, Jumat (30/5).

Pada momen bahagia itu, Pak No datang bersama kakaknya yang bernama Surip Sugiyono. Sejak pagi buta, Pak No sudah bersiap diri. Mencukur kumis, merapikan rambut.

Dia mengambil sebuah kemeja putih, yang sudah lama terlipat di sudut lemari kamarnya. Kemeja tersebut tampak lusuh meski berkali-kali disetrika. Ini bukti bahwa Pak No adalah pribadi yang sederhana.

Waktu mulai menunjukkan pukul 07.00 WIB. Pak No bergegas menuju kampus. Mengenakan setelan hitam putih, dengan ransel dipunggung berisi kostum wisuda, ia menaiki motor miliknya.

Belum sempat memacu gas, tiba-tiba saja hujan turun. Ia merasa sedikit kecewa. Tak ingin menunggu lama, bermodal jas hujan plastik ia nekat menerjang di pagi itu.

”Pas mau berangkat, hujan. Daripada menunggu lama, berangkat saja. Kebetulan ada mantel plastik, ya sudah nekat saja,” ujarnya.

Setibanya di halaman kampus, Pak No bergegas untuk mencari kamar mandi. Di sana ia sedikit berdandan, merapikan lagi rambut yang acak-acakan.

Dengan toga terpakai, ia dengan bangga berjalan menuju aula. Singkat cerita, prosesi wisuda telah rampung.


Page 2

Pak Husnul Ganti Kelamin?

Pak Husnul Ganti Kelamin?

Kamis, 29 Mei 2025 | 15:32 WIB

Empat Istri, Satu Nyawa

Empat Istri, Satu Nyawa

Kamis, 29 Mei 2025 | 15:30 WIB


Page 3

Setelah mengobrol dengan anak-anak muda teman sekelasnya, Pak No bergegas pulang. Sore harinya, ia harus kembali bekerja. Saking bangganya Pak No pulang dengan toga yang masih terpakai.

”Ada yang ngasih saya kenang-kenangan berupa gelas. Setelah foto-foto, ngobrol lalu pulang. Karena sore saya harus bekerja lagi,” katanya.

Kini, Pak No dikenal sebagai seorang yang terpelajar di lingkungan rumahnya. Meskipun usianya tak lagi muda, namun semangat belajarnya masih membara. Beberapa tetangga bahkan mulai menjulukinya, ”Pak No si Sarjana Pertanian”.

Sekilas tentang Suriyono, impian merengkuh gelar sarjana itu sebenarnya sudah ada sejak muda. Tapi, kemiskinan menahannya.

Ia harus bekerja sejak remaja, mengubur cita-cita demi menyambung hidup. Waktu berjalan, usia bertambah, tapi mimpi itu tidak pernah benar-benar mati.

Pada 2017, semangat itu menyala kembali. Ia mulai menabung dengan cara yang sederhana, yakni beternak kambing.

Dari sepasang kambing etawa, berkembang jadi enam. Lalu dijual semuanya, bukan untuk kebutuhan rumah, tapi untuk satu hal: biaya kuliah.

”Orang bilang saya gila. Sudah tua kok malah mau kuliah,” kenangnya.

Tapi Pak No tidak gentar. Ia tahu, jalan ini tidak akan mudah, tapi ia memilih untuk menempuhnya. Kuliah dimulai tahun 2019.

Awalnya berjalan lancar. Tapi badai datang di pertengahan semester. Uang habis, biaya kuliah macet. Ia terpaksa berhenti.

Tiga semester ia habiskan bekerja di pabrik pengalengan ikan, memeras tenaga, menahan lelah, demi bisa kembali ke kampus.

”Saya sempat nyaris menyerah. Tapi saya pikir, saya sudah terlalu jauh untuk mundur,” katanya.

Saat kembali, ia menyelesaikan kuliah dengan sisa tenaga yang ia punya.

Skripsinya membahas agroforestri di pertanian kopi robusta.

Tebal naskahnya 87 halaman, tapi bagi Pak No, itu bukan sekadar tugas akhir. Itu adalah bukti bahwa mimpi tak pernah terlalu tua untuk diperjuangkan.