Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Kisah Srikandi Sungai Banyuwangi Sekolahkan Anak dari Menambang Pasir

kisah-srikandi-sungai-banyuwangi-sekolahkan-anak-dari-menambang-pasir
Kisah Srikandi Sungai Banyuwangi Sekolahkan Anak dari Menambang Pasir

detik.com

Banyuwangi

Suara cangkul beradu dengan bebatuan sungai terdengar nyaring. Di tengah hamparan pasir dan bebatuan Sungai Setail, Kecamatan Genteng, Banyuwangi, tampak seorang perempuan tua dengan caping bambu dan pakaian merah mencolok. Ia adalah Suniah (73), perempuan tangguh yang puluhan tahun menggantungkan hidup dari pasir sungai.

Tak kurang dari 15 perempuan, rata-rata berusia setengah abad, setiap hari mengais pasir di sungai tersebut. Suniah menjadi salah satu penambang tertua di antara mereka. Dengan senyum ramah, ia menceritakan perjalanannya mencari rezeki dari pasir.

“Saya sudah berpuluh tahun cari pasir di sini, anak saya 6 semua lulus SMP dan sekarang bantu anak sekolahkan 15 cucu, ada yang SD, SMP dan SMA,” kata Suniah lantang, Minggu (24/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Srikandi penambang pasir di BanyuwangiSrikandi penambang pasir di Banyuwangi Foto: Eka Rimawati/detikJatim

Tubuh Suniah tak lagi sekuat dulu. Jika di masa mudanya ia bisa mendapatkan satu pikap pasir dalam sehari, kini ia hanya sanggup mengumpulkan separuhnya. Seorang anak perempuannya pun ikut menambang pasir untuk membantu kebutuhan rumah tangga, terutama biaya sekolah anak-anaknya.

“Ada satu anak saya ikut kerja begini, soalnya suaminya buruh serabutan, gak cukup buat bayar sekolah anak. Anaknya sudah ada yang masuk SMA dan SMP juga,” lanjut Suniah.

Sembari bekerja, Suniah mengayak pasir agar terpisah dari bebatuan kali. Bahaya kerap mengintai, sebab banjir bisa datang tiba-tiba.

“Cara kami mengidentifikasi banjir dengan melihat kondisi di atas, kalau mendung gelap maka di atas pasti hujan lebat. Walaupun di sini kondisinya terang, semua peralatan langsung dipinggirkan semua karena pasti akan banjir itu airnya turun ke sungai ini pasti meluap,” terang Suniah.

Meski bersyukur tak pernah mengalami situasi darurat, Suniah mengaku kerap kehilangan perlengkapan kerjanya.

“Kalau ban itu sering hanyut, mahal itu satu buah ban untuk perahu itu Rp 200 ribu,” terangnya.

Sejak suaminya meninggal pada 2020, Suniah bekerja seorang diri. Namun, setahun terakhir ia ditemani putrinya.

Tak hanya Suniah, ada juga Siti Maryama (56), ibu tunggal yang sejak muda menekuni pekerjaan ini. Dari hasil keringatnya, ia berhasil menyekolahkan empat anak hingga mandiri.

“Anak saya 4, 3 orang mondok di Jombang dan Banyuwangi dan 1 orang sudah jadi guru. Saya cari uang sendiri untuk membesarkan mereka,” ungkap Siti.

Siti mengaku pekerjaan ini adalah pilihan yang paling realistis untuknya.

“Buat saya, ini pekerjaan paling mungkin karena saya gak sekolah,” katanya.

Dalam sehari, ia bisa membawa pulang sekitar Rp 50 ribu. Jika kondisi pasir melimpah, penghasilannya bisa mencapai Rp 100 ribu, meski tenaga tak selalu memungkinkan untuk bekerja terus menerus.

Pernah suatu waktu ia tak mendapat pasir sama sekali, hingga harus berutang ke rentenir demi membeli beras.

“Pernah gak bisa kerja sama sekali gak ada pasir, buat beli beras saja sampai utang ke bank plecit,” tandasnya.

Meski begitu, Siti tetap berharap pasir di Sungai Setail tak pernah habis. Baginya, itu adalah sumber penghidupan yang memungkinkan dirinya mandiri tanpa merepotkan anak-anak.

Aktivitas penambangan pasir di Sungai Setail sudah berlangsung puluhan tahun. Ada aturan yang wajib ditaati, salah satunya larangan menggali pasir di bawah jembatan karena bisa melemahkan pondasi jembatan yang menjadi akses utama antar-kecamatan.

Loading...

Halaman 2 dari 2

Simak Video “Video: Bareskrim Bongkar Kasus Tambang Ilegal di Klaten, Negara Rugi Rp 1 M

[Gambas:Video 20detik]
(erm/hil)