Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Lem Pakai Nasi, Bambu Harus Tua

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

lemDUSUN Jagalan, Desa/Kecamatan Rogojampi, selama ini dikenal sebagai sentra perajin kembang maulud. Pasalnya, puluhan kepala keluarga (KK) yang tinggal di dusun yang berlokasi di belakang Pasar Rogojampi itu memproduksi kembang maulud sejak bertahun-tahun lalu. Keterampilan membuat barang kerajinan yang paling diburu setiap bulan Maulid tersebut mereka peroleh secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

Amini, 51, seorang perajin kembang maulud mengatakan, dirinya sudah memproduksi hiasan telur itu sejak bertahun-tahun silam. Meskipun penghasilan yang dia dapat tidak terlalu besar, tapi Amini tetap setia melestarikan tradisi memproduksi kembang maulud setiap kali bulan Mulud (kalender Jawa) tiba. “Keuntungannya memang tidak seberapa. Tetapi, lumayan bisa menambah uang belanja,” ujarnya. Nah, di tengah maraknya kembang maulud variasi, misalnya bentuk pesawat, barong, naga, kepala harimau, burung merak, leak, dan lain sebagainya, Amini lebih memilih mengkreasi kembang maulud klasik.

Dikatakan, selain karena membuat kembang maulud variasi memerlukan modal besar, pilihan tersebut juga didasari pertimbangan kembang maulud klasik yang berbentuk bunga paling diburu konsumen. “Kan hanya kembang maulud berbentuk bunga yang lazim digunakan menghias telur yang akan dibawa ke masjid,” terangnya Sejak awal bulan Mulud tahun ini, kembang maulud hasil kreasi Amini sudah terjual sekitar 10 ribu unit. Dia bertekad akan terus memproduksi kerajinan ter sebut hingga bulan Robi’ul Awal (dalam kalender Hijriah) ini berakhir.

Amini mengaku tidak kesulitan memasarkan kembang maulud hasil kreasinya, lantaran sudah memiliki se jumlah pelanggan yang membeli dalam jumlah besar. “Dibeli dalam jumlah besar, lantas dipasarkan kembali,” kata dia. Oleh Amini, kembang maulud klasik berukuran pendek dijual ke pada pengecer seharga Rp 500 per unit. Di tangan pengecer, kembang maulud klasik be rukuran pendek tersebut di pasarkan seharga Rp 750 per batang. Selain itu, Amini juga memproduksi kembang maulud berukuran panjang yang dia jual ke tangan pengecer seharga Rp 750 per unit. Oleh pengecer, kembang maulud berukuran panjang itu dijual lagi kepada konsumen seharga Rp 1.000 per unit.

Amini menjelaskan, untuk membuat kembang maulud diperlukan sejumlah bahan baku, antara lain kertas klobot, bambu, kawat, dan lem yang terbuat dari nasi yang dihaluskan. Sebab, jika meng gunakan lem kertas yang biasa dijual di pasaran, maka kertas klobot bisa rusak. “Sebab, lem kertas cenderung encer, dan kertas klobot sangat tipis. Jadi, kalau menggunakan lem kertas, bisa-bisa kertas klobotnya rusak,” jelasnya. Sementara itu, Titin, 32, putri Amini menambahkan, bambu yang digunakan sebagai batang kembang maulud harus tua. Alasannya, bambu yang masih muda akan mudah menjamur. “Selain mudah menjamur, bambu yang masih muda lebih mudah rusak. Pemotongannya pun lebih sulit,” pungkasnya. (radar)