Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Misteri Menara Kabut Alas Purwo

misteri-menara-kabut-alas-purwo
Misteri Menara Kabut Alas Purwo

RADARBANYUWANGI.ID – Empat sekawan: Bang Marjo si mantan prajurit, Om Ali si fotografer satwa, Mr. Umbor si peneliti burung eksentrik, dan Malin Kundang—anak muda yang aneh, pendiam, tapi selalu hadir di setiap perjalanan, tiba di Alas Purwo dengan semangat.

Tujuan utama mereka: mengeksplorasi Bedul dan Sadengan, dua kawasan eksotis yang menyimpan kekayaan alam dan—konon—juga misteri lama yang belum terungkap.

Hari pertama mereka habiskan di Bedul, mengagumi hutan mangrove yang pekat dan tenang.

Mr. Umbor, dengan teropongnya, tak henti berdecak kagum pada burung-burung air yang berseliweran.

Malin, seperti biasa, lebih suka menyendiri, berdiri di tepian segoro anakan dengan pandangan kosong menatap air keruh.

“Dia kayak bisa denger sesuatu yang nggak bisa kita denger,” gumam Om Ali sambil memotret diam-diam.

Bang Marjo hanya tersenyum samar, tapi mencatat dalam hati bahwa sejak mereka tiba, Malin terlihat semakin aneh.

Kadang bibirnya komat-kamit, kadang menulis sesuatu di pasir lalu menghapusnya cepat-cepat.

Malam itu, mereka menginap di pos jaga Rowobendo. Penjaga lokal, Pak Sastro, sempat memperingatkan mereka sebelum mereka tidur.

“Jangan ke Sadengan sebelum matahari terbit. Kalau bisa, jangan naik ke menara pengintai sendirian.”

Om Ali tertawa, mengira itu bagian dari cerita mistik khas penjaga hutan. Tapi Bang Marjo melihat mata Pak Sastro—itu bukan lelucon.

***

Keesokan paginya, mereka berangkat lebih pagi dari seharusnya.

Pukul 04.30, langit masih biru kelam. Kabut tipis menggantung di atas padang Sadengan yang luas dan sepi.


Page 2

Dari kejauhan, terdengar teriakan Mr. Umbor—panjang dan mengerikan—sebelum tenggelam dalam kesunyian.

Bang Marjo menatap Malin. “Kau tahu apa yang terjadi di sini, kan?”

Malin menunduk. Lalu menjawab, pelan.

“Dulu, pernah ada pengintai satwa yang tak pernah kembali dari menara ini. Mereka bilang, dia menyatu dengan padang. Tapi… kadang ia memanggil orang lain untuk menggantikannya.”

Bang Marjo menggenggam senjata tajamnya. “Dan sekarang, kita yang dipanggil?”

Malin hanya tersenyum. Senyum yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Senyum seseorang yang sudah lama tinggal di tempat ini.

Dan kabut pun menelan mereka bertiga.

***

Esok paginya, Pak Sastro menemukan menara pengintai itu kosong. Tapi di papan lantainya, ada ukiran baru. Empat nama, terpahat dalam kayu basah;

Marjo, Ali, Umbor, dan Malin…

Tamat


Page 3

Menara kayu pengintai menjulang di tengah padang.

Empat orang itu naik perlahan. Udara dingin dan basah. Sunyi. Bahkan jangkrik pun tak bersuara.

Setibanya di atas, Mr. Umbor langsung membidik dengan kameranya.

“Aneh. Seharusnya ada suara rusa atau kijang. Ini terlalu sunyi,” katanya.

Kemudian, Malin berdiri di tepi menara, menghadap ke arah hutan gelap yang tampak seperti dinding raksasa.

“Apa itu?” tanyanya pelan.

Mereka mengikuti arah pandangnya.

Dari balik pohon, muncul siluet—tinggi, kurus, matanya merah. Hanya berdiri diam.

Tapi mereka tahu, makhluk itu melihat mereka. Menara kayu berderak pelan, seolah ikut gemetar.

“Turun sekarang!” perintah Bang Marjo.

Tapi terlalu terlambat. Suara seperti bisikan datang dari segala arah, menyebut nama mereka satu per satu. Mr. Umbor mendadak kaku, matanya mendelik.

“Ada yang… memanggilku dari dasar menara,” bisiknya sebelum berlari turun.

Mereka bertiga mengejarnya—tapi saat tiba di bawah, Mr. Umbor sudah tak ada. Hanya jejak kaki yang mengarah ke tengah padang, lalu hilang.

“Dia masuk ke dalam kabut,” kata Om Ali dengan suara gemetar.

Kabut makin pekat. Burung-burung yang tadi diam, tiba-tiba terbang ke segala arah.