Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Nasib Keluarga Syamsul Ma’aarif, Warga Miskin yang Rumahnya dari Bambu, Lantai Tanah, Pendapatan Pas-Pasan

nasib-keluarga-syamsul-ma’aarif,-warga-miskin-yang-rumahnya-dari-bambu,-lantai-tanah,-pendapatan-pas-pasan
Nasib Keluarga Syamsul Ma’aarif, Warga Miskin yang Rumahnya dari Bambu, Lantai Tanah, Pendapatan Pas-Pasan
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Syamsul Ma’arif, 45, yang tinggal di Dusun Pancursari, Desa Benculuk, Kecamatan Cluring bersama istrinya Inayatul Fitriah, 31, dan dua anaknya, Nikmatul Aulia, 7, dan Nailul Ifatah, 3, keluarga kecil yang tampaknya kurang beruntung. Rumah yang ditempati, sangat sederhana dan kurang dari kata layak.   

LUGAS RUMPAKAADI, Cluring

DI pinggir perkampungan yang jauh dari keramaian, terlihat sebuah rumah yang sangat sederhana. Rumah dengan luas sekitar 35 meter persegi itu, bangunannya hampir semua dari bamboo, seperti tiang, usuk, reng, blandar, dan dinding. Beberapa bagian malah dari terpal bekas dan beratap asbes. Yang mengerikan, kerangka rumah yang terbuat dari bamboo itu, sudah banyak yang mulai lapuk.

gas-boks-2-1970321906.jpeg

KURANG SEHAT: Syamsul Ma’arif akan memasak di dapur rumahnya dengan menggunakan tungku, Jumat (22/12). (LUGAS RUMPAKAADI/JPRG)

Rumah yang sangat sederhana itu, selama ini ditempati Syamsul Ma’arif, 45, dengan istrinya Inayatul Fitriah, 31, serta kedua anaknya, Nikmatul Aulia, 7, dan Nailul Ifatah, 3. Sudah dua tahun lebih, keluarga kecil ini pindah ke gubuk ini.

Di rumah itu ada satu ruang tamu dengan dua kursi dari bambu, satu ruang kamar, dan dapur. Di kamarnya, Syamsul melapisi dengan terpal plastik karena bambu yang digunakan dinding berongga. “Kalau malam banyak nyamuk dan kedinginan, kalau siang kepanasan,” ungkap Syamsul Ma’arif, Jumat (22/12).

Pria yang bekerja sebagai buruh serabutan itu mengaku, lahan dan rumah sederhana itu dibeli dan dibangun dengan uang yang dikumpulkan saat masih bekerja sebagai penangkap kerang di sekitar Perairan Teluk Pangpang, Desa Kedunggebang, Kecamatan Tegaldlimo. “Dulu ikut mertua, niatnya ingin mandiri agar tidak merepotkan mertua,” ujarnya.

Baca Juga: Manusia Kolong Jembatan Itu Menolak Dipulangkan ke Daerah Asal

Dengan sisa uang hasil bekerja sebagai pencari kerang, Syamsul membangun sendiri rumah sederhana itu. Saat akan membuat rumah, pikirannya sempat terpecah mau memperbaiki perahu jukung atau membuat rumah. “Uangnya tidak banyak, perahu jukung dan rumah sama-sama penting, akhirnya saya putuskan uangnya untuk membuat rumah ini,” cetusnya.

Berbekal keterampilannya sebagai buruh bangunan lepas, Syamsul membuat rumah sangat sederhana yang bangunannya semua dari bambu. Karena keterbatasan dana, rumahnya itu belum diplester atau masih lantai tanah. “Tidak apa-apa seperti ini, yang penting ada dulu untuk tempat tinggal,” katanya.

Selama tiga bulan ini, istri dan kedua anak Syamsul berada di rumah mertuanya yang sakit di Desa Kedunggebang, Kecamatan Tegaldlimo. “Mereka merawat ibu mertua yang sedang sakit, sementara saya sendirian di rumah, biasanya semua berada di rumah ini,” ujarnya.

Baca Juga: Manusia Kolong Jembatan Itu Akhirnya Dipindah ke Tempat Kos

Saat masih tinggal bersama istri dan anak-anaknya di rumahnya yang sederhana ini, setiap hari istrinya Inayatul memasak menggunakan tungku. Apinya dari kayu bakar yang dikumpulkan sendiri. “Selama istri berada di rumah mertua, saya memasak sendiri,” ungkapnya.

Bagaimana penerangan, di rumah keluarga sederhana itu tidak punya listrik sendiri. Sebagai penerangan, menumpang dari musala yang ada di utara rumahnya. Listrik dari musala disalurkan ke rumah Syamsul dengan kabel. “Kalau ada rezeki, saya sisihkan untuk ke pengelola musala sebagai ganti pemakaian listrik,” jelasnya.


Page 2

Menjelang Lebaran tahun lalu, Syamsul menyampaikan ada tetangga yang baik hati membuatkan sumur di belakang rumahnya yang sederhana itu. “Sumur itu untuk memasak, mencuci, dan mandi. Sebelumnya air mengambil dari sungai di perbatasan desa,” ujarnya.

Baca Juga: Rumah Warga Miskin Terbelah Ditimpa Pohon

Dengan suara melirih Syamsul mengisahkan perjuangannya sehari-hari sebagai buruh serabutan. Ia tidak punya keahlian. Pendapatan setiap hari tidak menentu. ‘Sehari terkadang hanya Rp 80 ribu, kalau lagi baik bias dapat Rp 100 ribu,” terangnya.

Pekerjaan serabutan yang dilakoni Syamsul ini tidak selalu menjanjikan. Pria yang mengaku asli dari Desa/Kecamatan Tegalsari itu mengaku, terkadang ada orang yang butuh jasanya sebagai buruh. “Tapi kadang juga tidak ada panggilan sama sekali,” katanya.

Kecilnya pendapatan itu membuatnya kesulitan menjalani hidup. Bahkan, satu-satunya motor Honda Astrea 800 miliknya sampai rusak. “Tidak punya uang untuk memperbaiki. Kalau pergi bekerja harus pinjam sepeda motor kerabat,” ungkapnya.

Baca Juga: Warga Perbaiki Rumah Janda Miskin

Ditanya soal bantuan, Syamsul yang mengantongi KK dan KTP Dusun Pancursari, Desa Benculuk itu mengaku hanya mendapatkan beberapa kali saja. Anak sulungnya yang duduk di kelas 1 SD, tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP). Bantuan yang diterima dari pemerintah hanyalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang baru dua kali diterima selama setahun terakhir. “Bantuan beras juga dapat, meski baru sekali,” katanya.(abi)


Page 3

Syamsul Ma’arif, 45, yang tinggal di Dusun Pancursari, Desa Benculuk, Kecamatan Cluring bersama istrinya Inayatul Fitriah, 31, dan dua anaknya, Nikmatul Aulia, 7, dan Nailul Ifatah, 3, keluarga kecil yang tampaknya kurang beruntung. Rumah yang ditempati, sangat sederhana dan kurang dari kata layak.   

LUGAS RUMPAKAADI, Cluring

DI pinggir perkampungan yang jauh dari keramaian, terlihat sebuah rumah yang sangat sederhana. Rumah dengan luas sekitar 35 meter persegi itu, bangunannya hampir semua dari bamboo, seperti tiang, usuk, reng, blandar, dan dinding. Beberapa bagian malah dari terpal bekas dan beratap asbes. Yang mengerikan, kerangka rumah yang terbuat dari bamboo itu, sudah banyak yang mulai lapuk.

gas-boks-2-1970321906.jpeg

KURANG SEHAT: Syamsul Ma’arif akan memasak di dapur rumahnya dengan menggunakan tungku, Jumat (22/12). (LUGAS RUMPAKAADI/JPRG)

Rumah yang sangat sederhana itu, selama ini ditempati Syamsul Ma’arif, 45, dengan istrinya Inayatul Fitriah, 31, serta kedua anaknya, Nikmatul Aulia, 7, dan Nailul Ifatah, 3. Sudah dua tahun lebih, keluarga kecil ini pindah ke gubuk ini.

Di rumah itu ada satu ruang tamu dengan dua kursi dari bambu, satu ruang kamar, dan dapur. Di kamarnya, Syamsul melapisi dengan terpal plastik karena bambu yang digunakan dinding berongga. “Kalau malam banyak nyamuk dan kedinginan, kalau siang kepanasan,” ungkap Syamsul Ma’arif, Jumat (22/12).

Pria yang bekerja sebagai buruh serabutan itu mengaku, lahan dan rumah sederhana itu dibeli dan dibangun dengan uang yang dikumpulkan saat masih bekerja sebagai penangkap kerang di sekitar Perairan Teluk Pangpang, Desa Kedunggebang, Kecamatan Tegaldlimo. “Dulu ikut mertua, niatnya ingin mandiri agar tidak merepotkan mertua,” ujarnya.

Baca Juga: Manusia Kolong Jembatan Itu Menolak Dipulangkan ke Daerah Asal

Dengan sisa uang hasil bekerja sebagai pencari kerang, Syamsul membangun sendiri rumah sederhana itu. Saat akan membuat rumah, pikirannya sempat terpecah mau memperbaiki perahu jukung atau membuat rumah. “Uangnya tidak banyak, perahu jukung dan rumah sama-sama penting, akhirnya saya putuskan uangnya untuk membuat rumah ini,” cetusnya.

Berbekal keterampilannya sebagai buruh bangunan lepas, Syamsul membuat rumah sangat sederhana yang bangunannya semua dari bambu. Karena keterbatasan dana, rumahnya itu belum diplester atau masih lantai tanah. “Tidak apa-apa seperti ini, yang penting ada dulu untuk tempat tinggal,” katanya.

Selama tiga bulan ini, istri dan kedua anak Syamsul berada di rumah mertuanya yang sakit di Desa Kedunggebang, Kecamatan Tegaldlimo. “Mereka merawat ibu mertua yang sedang sakit, sementara saya sendirian di rumah, biasanya semua berada di rumah ini,” ujarnya.

Baca Juga: Manusia Kolong Jembatan Itu Akhirnya Dipindah ke Tempat Kos

Saat masih tinggal bersama istri dan anak-anaknya di rumahnya yang sederhana ini, setiap hari istrinya Inayatul memasak menggunakan tungku. Apinya dari kayu bakar yang dikumpulkan sendiri. “Selama istri berada di rumah mertua, saya memasak sendiri,” ungkapnya.

Bagaimana penerangan, di rumah keluarga sederhana itu tidak punya listrik sendiri. Sebagai penerangan, menumpang dari musala yang ada di utara rumahnya. Listrik dari musala disalurkan ke rumah Syamsul dengan kabel. “Kalau ada rezeki, saya sisihkan untuk ke pengelola musala sebagai ganti pemakaian listrik,” jelasnya.