Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Menguak Sejarah Jalur Gumitir, Gunung Purba Rawan Longsor dan Kuburan Massal Korban Pembantaian

menguak-sejarah-jalur-gumitir,-gunung-purba-rawan-longsor-dan-kuburan-massal-korban-pembantaian
Menguak Sejarah Jalur Gumitir, Gunung Purba Rawan Longsor dan Kuburan Massal Korban Pembantaian

JEMBER, KOMPAS.com – Gunung Gumitir di Jember, Jawa Timur, dulunya merupakan tempat pembuangan mayat-mayat orang yang dianggap terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tahun 1965 menjadi masa mencekam bagi warga Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Jember, dan sekitarnya.

Pal kuning dan jurang-jurang yang kelak ditanami kopi menjelma kuburan massal bagi korban pembantaian.

Baca juga: Bekas Longsoran di Khokap Jalur Gumitir Jember Diperbaiki, Dimulai dengan Selamatan

Sejarawan asal Jember RZ Hakim menuturkan, jalur darat yang menghubungkan Jember dan Banyuwangi itu awalnya hanya berupa jalan setapak tanah untuk aktivitas warga setempat.

Hanya bisa dilintasi oleh penunggang kuda atau hanya dengan berjalan kaki. Itu juga tak mudah.

“Menurut manuskrip Blambangan memang sudah ada jalan lampau untuk warga-warga lokal, berupa tanah dan biasanya dilewati dokar atau pegon (cikar yang ditarik sapi),” paparnya kepada Kompas.com, Rabu (13/8/2025).

Baca juga: Jalur Gumitir Ditutup, Penumpang Kereta Api di 3 Relasi Melonjak

Di masa sebelum Jember-Banyuwangi dilalui rel kereta api, pengiriman hasil bumi dari ujung timur Jawa ini harus melewati jalur pantura Banyuwangi-Situbondo, ketika transportasi tradisional seperti cikar masih lazim digunakan.

Rencana pembangunan jalur kereta api yang membelah Gunung Gumitir dari Kalisat, Jember, ke Banyuwangi direncanakan Hindia Belanda usai jalur Kalisat ke Panarukan, Situbondo, diresmikan pada 1897.

Jalur kereta api yang melewati Gunung Gumitir rampung pada 1904. Bersamaan dengan itu, jalur darat mulai dirancang.

Jalan mulai dibangun dan diperlebar. Material masih menggunakan tanah yang dipadatkan dan tanpa penerangan jalan.

Hindia Belanda membuat desain jalur berkelok lengkap dengan saluran irigasinya yang bisa menuju areal perkebunan.

Sekira 1910, jalur darat itu siap dilalui. Sejak itu, mulai digunakan sebagai lalu lintas jalan nasional.


 

Page 2

“Tahun 1920 ada bukti foto perbaikan jalur Gumitir, kemungkinan longsor,” kata Hakim.

Sejak dulu, tanah longsor memang kerap terjadi di gunung purba itu. Dibutuhkan jenis pohon-pohon besar tertentu untuk ditanam kembali, sebagai naungan pohon-pohon perdu seperti kopi, dan sebagai pondasi alami.

Jember dikenal sebagai daerah perkebunan. Menurut Hakim, ekspansi perkebunanlah yang mempengaruhi pembukaan jalur Gumitir.

Masa awal kemunculan perusahaan perkebunan swasta di Jember seperti NV. Landbouw Maatschappij Soekowono pada 1856 dan Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD) pada 1859 hingga lahirnya perkebunan lain setelahnya.

“Secara tak langsung, ekspansi perkebunan memberikan pengaruh luar biasa untuk perkembangan infrastruktur,” ujar pria kelahiran Kecamatan Patrang, Jember itu.

Baca juga: KAI Aktifkan 6 Stasiun Kecil di Jember-Banyuwangi Selama Penutupan Jalur Gumitir, Ini Daftarnya

Perkebunan-perkebunan Jember melebarkan sayapnya hingga ke wilayah Besuki sampai Banyuwangi melalui jalur darat.

“Maka berkembangnya Jember juga mengangkat kota-kita di sekitarnya,” ulas Founder Studi Arsip, Sejarah, dan Lingkungan, Sudut Kalisat itu.

Setelah Hindia Belanda membangun jalan melewati Gunung Gumitir lantas menjadi akses distribusi hasil pertanian termasuk perkebunan.

Hakim mengisahkan cerita tutur yang didapat bahwa di sepanjang Gunung Gumitir, tepatnya di jurang-jurang yang kini ditanami kopi, dipakai untuk pembuangan mayat orang-orang yang dianggap terafiliasi dengan PKI pada 1965.

Antara 2003 sampai 2005, masyarakat ramai menanam kopi di jurang-jurang dan lereng sepanjang Gumitir.

Padahal, dahulunya, Gumitir dipenuhi vegetasi pohon yang bahkan lebih rindang dari saat ini.

“Sebetulnya sejak awal (penanaman kopi rakyat) perlu ditertibkan,” katanya.

Akar tanaman kopi tak mampu menahan tanah. Barangkali, itu menjadi pengaruh sangat vital menambah retakan akibat tanah yang terus bergerak.

Plengsengan yang banyak dibangun ikut perlahan retak terus menerus.

“Ketika longsor, kopi akan membawa banyak tanah,” jelas Hakim yang juga aktivis lingkungan.

Tanah yang terus bergerak membuat jalur tak rata, miring, sering rusak, sehingga kerap mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.

Hakim menjelaskan, berdasarkan ilmu geologi, gunung purba itu rapuh, tak sekuat saat ia aktif pada masa dulu.

Tak heran jika tanah longsor sering terjadi. Perbaikan berkali-kali hanya sebagai cara untuk membuatnya bertahan lebih kuat menopang arus lalu lintas kendaraan.

Seperti pereservasi yang saat ini tengah dilakukan di Km 233+500 atau yang lebih dikenal Tikungan Mbah Singo.

Pemasangan cor atau bored pile akhirnya menjadi penyangga tanah Gumitir, pengganti akar-akar pohon yang banyak digantikan tanaman kopi.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!