Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Pembatasan Jumlah Bandara Internasional

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Jakarta

Bandara (bandar udara) merupakan salah satu pintu masuk utama ke wilayah sebuah negara yang berdaulat, selain juga berfungsi sebagai infrastruktur perhubungan antarwilayah di negara tersebut. Untuk itu bandara digolongkan sebagai objek vital (diatur oleh Kepres No. 63 Tahun 2004 Tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional) yang keberadaannya menunjang ekonomi, sosial, pertahanan, dan keamanan negara. Keberadaan bandara harus dapat mendukung pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa.

Sebagai regulator kebandaraudaraan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan bertanggung jawab terhadap semua peraturan kebandarudaraan, termasuk moda transportasi udara beserta wilayah udara yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Membangun bandara tidak boleh asal bangun demi memuaskan politik kedaerahan, tetapi juga harus didasarkan pada kebutuhan secara nasional, termasuk jumlah dan lokasinya.

Dasar peraturan masalah penerbangan secara keseluruhan sudah diatur pada UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan peraturan turunannya. Terkait dengan kebandarudaraan diatur dalam beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Perhubungan, antara lain Permenhub No.33 Tahun 2021 Tentang Kegiatan Pengusahaan di Bandara Udara dan Permenhub No. 39 Tahun 2019 Tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional.

Kehebohan bahwa pemerintah akan mengurangi jumlah Bandara Internasional di Indonesia dari 32 menjadi 15, yang saat ini ramai diperbincangkan, merupakan keniscayaan yang harus dilakukan. Sejak beberapa belas tahun lalu, saya sudah ingatkan pemerintah melalui beberapa tulisan di kolom ini maupun komentar tentang over supply Bandara Internasional di Indonesia yang justru merugikan dari sisi ekonomi, sosial, dan keamanan. Untuk itu mari kita bahas kembali rencana pemerintah tersebut, meskipun ini merupakan respons terlambat.

Penataan yang Cerdas

Saat ini, menurut data dari website Kementerian Perhubungan, ada 32 bandara yang statusnya Bandara Internasional. Sebuah jumlah yang sangat jumbo dan memang perlu segera dilakukan penataan yang cerdas. Pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir di Mandiri Investment Forum bahwa pemerintah akan mengurangi jumlah Bandara Internasional dari 32 menjadi 15 bandara sesuai perintah Presiden sudah benar, meskipun belum tepat. Mengapa? Lima belas bandara masih terlalu banyak.

Sejak awal tahun 2000-an, kebijakan pemerintah untuk membuka sebanyak mungkin Bandara Internasional demi meningkatkan jumlah kunjungan wisman ternyata terbukti menjadi kebijakan yang merugikan, khususnya bagi maskapai penerbangan domestik karena munculnya “hub” penerbangan ke Indonesia di Bandara Changi di Singapura atau Bandara KLIA di Malaysia atau di beberapa negara Timur Tengah.

Akibatnya, pendapatan maskapai domestik tergerus, selain karena pandemi ada ASEAN Open Sky, di mana maskapai asing bisa terbang point to point di 32 Bandara Internasional dan semua bandara tersebut menjadi Port of Entry (POE) ke Indonesia. Maskapai lokal hanya jadi penonton dalam penanganan wisman.

Fungsi Bandara Internasional adalah sebagai pintu masuk ke wilayah Indonesia. Namun bukan berarti semakin banyak Bandara Internasional otomatis akan semakin banyak wisman datang. Yang jelas semakin banyak Bandara Internasional, biaya operasi dan perawatannya juga semakin membengkak. Bandara Internasional harus mempunyai pelayanan Custom, Imigration and Quarantine (CIQ) yang tidak murah. Biaya investasi juga meningkat, khususnya untuk melengkapi perlengkapan navigasi sesuai dengan peraturan ICAO dan UU No. 1 Tahun 200 Tentang Penerbangan.

Berdasarkan data kebandarudaraan tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19, saat itu ada 32 bandara yang berstatus internasional tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun, ada sembilan yang tidak (lagi) pernah disinggahi penerbangan berjadwal internasional dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Yaitu Sabang, Tanjung Pinang, Lampung, Kertajati, Ambon, Jayapura, Biak, Merauke, dan Kupang. Karena pandemi, bisa jadi Bandara Internasional yang sudah mati suri bertambah.

Dari data di atas, selain itu ada delapan Bandara Internasional yang hanya melayani penerbangan dari dan ke Singapura (SIN) dan/atau Malaysia (KUL), yaitu Tanjung Pandan (KUL), Husein Sastranegara-Bandung (SIN dan KUL), Achmad Yani-Semarang (SIN dan KUL), Adi Sucipto-Yogyakarta (SIN dan KUL), Blimbingan-Banyuwangi (KUL), Lombok Praya (SIN dan KUL), Sultan Hasanudin-Makassar (SIN dan KUL), dan Halim Perdanakusuma-Jakarta (SIN).

Lalu, ada satu Bandara Internasional yang hanya melayani penerbangan dari dan ke Medinah serta Jedah saja, yaitu Adi Soemarmo-Solo. Sisanya ada empat belas (14) bandara yang berstatus internasional dan melayani penerbangan internasional dengan multi-destinasi dan multi-maskapai penerbangan, termasuk Soekarno-Hatta, Cengkareng. Data-data tersebut (2019) tentunya saat ini sudah berubah; jumlah Bandara Internasional yang masih beroperasi pasti juga menyusut.

Sebagai ilustrasi atau contoh kerugian mempunyai Bandara Internasional banyak, antara lain wisman asal Eropa mau ke Jogja atau Solo untuk menyaksikan budaya Jawa. Wisman tersebut dapat menggunakan maskapai Singapore Airline (SQ) atau Malaysia Airline (MH) langsung dari Eropa ke Jogja/Solo dengan transit di Singapura/Kuala Lumpur. Kemudian dari Changi/KLIA terbang dengan Silk Air atau Air Asia, tidak terbang dengan maskapai domestik ke Jogja/Solo karena bandara di kedua kota tersebut sudah internasional.

Demikian pula orang Indonesia yang akan ke luar negeri pasti menggunakan maskapai asing yang sudah punya rute ke berbagai kota di Indonesia. Lebih murah, pelayanan lebih baik dan lebih bergengsi. Maskapai domestik? Gigit jari.

Jika bandara Jogja/Solo bukan internasional, maka SQ dan MH yang menerbangkan wisman asal Eropa yang mau ke Jogja/Solo harus masuk Indonesia melalui POE, misalnya Jakarta atau Surabaya lalu dari Jakarta atau Surabaya terbang ke Jogja/Solo akan menggunakan maskapai penerbangan domestik. Salah satu sebab penerbangan GA dari Amsterdam sepi dan tidak terbang tiap hari adalah banyaknya Bandara Internasional di Indonesia sehingga kalah bersaing dengan maskapai asing dari Eropa/US/Jepang dan lain-lain yang bisa masuk langsung ke beberapa Bandara Internasional melalui SIN atau KUL atau Dubai dan lain-lain.

Langkah Pemerintah

Untuk menjaga NKRI dan efisiensi anggaran, ada baiknya Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan mendiskusikan langsung dengan pemerintah daerah dan DPRD setempat yang tidak optimal mengoperasikan bandaranya, supaya status internasional dicabut dan dikembalikan menjadi bandara domestik biasa. Semboyan semakin banyak Bandara Internasional akan semakin meningkatkan wisatawan mancanegara belum terbukti. Yang ada airline domestik mati atau semaput.

Jadi untuk saat ini sebaiknya Indonesia cukup dilayani oleh sembilan (9) jangan lima belas (15) Bandara Internasional sebagai POE saja yang mewakili wilayah Indonesia. Yaitu Kualanamu-Deli Serdang, Sultan Mahmud Badaruddin II-Palembang, Soekarno Hatta-Cengkareng, Yogyakarta, Juanda-Surabaya, Ngurah Rai- Bali, Balikpapan/IKN, Sam Ratulangi-Menado, dan Sultan Hasanudin-Makassar.

Konektivitas penerbangan dari POE ke kota-kota lain di Indonesia harus dilakukan oleh maskapai penerbangan domestik demi kelangsungan hidup maskapai dan kesejahteraan rakyat, serta menghindari sabotase di wilayah udara RI.

Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen

(mmu/mmu)

source