Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Pernah Jadi Markas Jepang, Kini Tempat Sabut Kelapa

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

pernahPabrik Gula (PG) Soeko Widi didirikan Belanda tahun 1898 lalu. Seiring pergolakan Perang Dunia II, pabrik tersebut jatuh ke pangkuan tentara Jepang. Masa kemerdekaan, lokasi (PG) itu pun kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kini, gedung eks PG Soeko Widi itu dijadikan pabrik sabut kelapa.

BEBERAPA bocah lelaki tampak be gitu asyik bermain sepak bola tanah lapang yang berlokasi di kompleks gedung tua yang berlokasi di Dusun Sukowidi, Kelurahan Kla tak, Kecamatan Kalipuro, Banyu wangi, sore itu (26/8). Pagar tem bok tinggi menjulang seolah ti dak menjadi penghalang mereka un tuk menyalurkan hobi mengolah “si kulit bundar”. Tidak jauh dari lokasi bocahbocah itu bermain sepak bola, terdapat plang bertulisan “PT. Haka Artha Cipta Unggul”. Ditanya pabrik tersebut memproduksi apa?

Seorang bocah dengan enteng me nga takan pabrik itu pabrik seranite yang me ngolah sabut kelapa menjadi bahan isi ka sur. Penasaran dengan ucapan sang bocah, war tawan Jawa Pos Radar Banyuwangi pun mencoba menggali informasi dari war ga sekitar. Sayang, sejumlah warga yang kami tanya mengaku tidak tahu persis sejarah pabrik tersebut. “Orang-orang yang tahu sejarah pabrik tersebut sudah banyak yang sudah meninggal dunia.

Kami yang muda-muda ini tidak tahu sejarahnya,” ujar Niklaas, seorang warga sekitar. Tidak lekas menyerah, “bidikan” kami tujukan kepada budayawan Banyuwangi. Bak gayung bersambut, budayawan Has nan Singodimayan bersedia melayani per tanyaan- pertanyaan kami tentang gedung tua di tepi pantai tersebut. Menurut Hasnan, kompleks gedung tua yang berlokasi tidak jauh dari bibir pantai Du sun Lingkungan Sukowidi itu didirikan pada masa Kolonial Belanda, yakni sekitar ta hun 1898.

“Oleh Belanda, bangunan itu digunakan sebagai pabrik gula, yakni Pa brik Gula Soeko Widi. Makanya ada cerobong asap di kompleks gedung-gedung tua tersebut,” jelasnya. Pada perkembangan selanjutnya, yakni pada masa pendudukan Jepang, kompleks PG Soeko Widi itu jatuh ke tangan pihak Je pang. Gedung-gedung eks kompleks PG Soeko Widi itu pun berubah fungsi men jadi markas tentara Nippon. ‘’Tentara Jepang memilih eks PG Soeko Widi menjadi mar kas, lantaran lokasinya yang strategis,” jelas lelaki yang rambutnya sudah berwarna putih itu.

Dikatakan, pada masa pendudukan Jepang, tepatnya sekitar tahun 1942 sampai ta hun 1945, warga sekitar dilarang keras memasuki kompleks eks PG Soeko Widi. “Ja ngankan masuk, melintas saja tidak bo leh. Mungkin pertimbangan pihak Jepang melarang warga memasuki kawasan itu karena di sana banyak persenjataan,” katanya menduga-duga. Selain digunakan sebagai markas tentara, pih ak Jepang juga memanfaatkan kompleks ter sebut sebagai lokasi penyiksaan rakyat Indonesia.

“Makanya ada beberapa bagian yang angker di kompleks eks PG Soeko Widi tersebut. Tepatnya di bagian pojok be lakang bagian selatan. Tukul Arwana saja sempat syuting di kompleks tersebut. (aca ra Tukul Jalan-Jalan yang ditayangkan salah satu televisi swasta nasional. Acara ter sebut mengupas misteri di suatu lokasi, Red),” katanya. Di awal masa kemerdekaan RI, imbuhnya, eks PG Soeko Widi itu jatuh ke pangkuan Ibu Pertiwi, yakni dikuasai pihak TNI.

Namun, entah bagaimana ceritanya, sekitar ta hun 1950, kompleks eks PG Soeko Widi itu dikelola pihak swasta untuk dijadikan pabrik seranit (semacam asbes). Namun, di duga kuat karena kegagalan manajemen, pa brik itu seolah hidup segan mati tak mau. Sekitar tahun 1970, imbuh Hasnan, kompleks eks PG Soeko Widi itu kembali dikuasai TNI. Oleh pihak TNI, gedung-ge dung tersebut dijadikan rumah dinas (mes). Cerita panjang eks  kompleks PG Soeko Widi pun berlanjut. Sekitar tahun 1980-an hingga awal 1990-an, lokasi itu kembali berubah fungsi. Kali ini, kompleks itu di jadikan pabrik pembuatan kapal.

Namun, lagi-lagi pabrik tersebut kurang bergairah. “Yang saya tahu, saat ini eks PG Soeko Widi itu kembali dijadikan pabrik seranit,” cetus Hasnan. Sementara itu, ada versi lain tentang ka wasan pabrik tua tersebut. Menurut Ko munitas Pencinta Sejarah Banyuwangi, pada masa penjajahan Belanda, Nusantara sem pat mengalami puncak gemilang industri gula, yakni sekitar tahun 1930-an. Kala itu, ada 197 pabrik pengolahan gula dan memproduksi tiga juta ton gula per ta hun.

Pada masa itu, tiga PG berdiri di Ba nyuwangi, di antaranya PG Kabat, PG Ro godjampi, dan PG Soeko Widi. PG Kabat dan PG Rogodjampi berdiri tahun  893, sedangkan PG Soeko Widi berdiri lima tahun kemudian, tepatnya pada 1898. Mengutip berbagai sumber, Komunitas Pen cinta Sejarah Banyuwangi itu melansir PG Kabat mampu memproduksi gula hingga 23 ribu pikul per tahun (satu pikul setara 75 Kilogram) dengan luas lahan tanaman tebu mencapai 394 bouw (1 bouw setara 0,7 Hektare).

PG Rogodjampi memiliki luas la han 336 bouw dan mampu memproduksi gula 26 ribu pikul. PG Soeko Widi memiliki luas lahan 450 bouw dan produksi gula mencapai 28.924 pikul. Pabrik gula Rogodjampi hanya terlaporkan hingga tahun 1913, dengan luas lahan tebu yang telah mencapai 997 bouw. Belum diketahui pasti, apa penyebab pabrik itu tutup. Salah satu tokoh pergerakan na sional, H.O.S Cokroaminoto dikabarkan per nah bekerja sebagai masinis di pabrik gula Rogodjampi pada 1907 hingga 1912, ke mudian diangkat sebagai ahli kimia.

Dalam buku E.J Brill berjudul Drie Geo grafi sche Studies Over Java (1963) disebutkan pangsa Banyuwangi menurun tajam. Pada tahun 1913 dan 1916, dua pabrik mo gok karena berkurangnya tebu di daerah ter sebut. Asosiasi Perdagangan Amsterdam (Handels Vereniging Amsterdam, 1929) me nyebutkan, pada 1916 membeli pabrikgula Rogodjampi yang sudah tak beroperasi ter sebut dan akan digunakan sebagai pabrik baru dari pabrik gula lama di Kediri yang hancur karena letusan Gunung Kelud.

Pabrik gula Kabat terlaporkan terakhir pada 1915 dengan luas lahan 694 bauw. Belum terungkap mengapa pabrik gula Kabat tutup. Dalam buku E.J Brill berjudul Drie Geografische Studies Over Java (1963:377) di sebutkan, kontribusi gula Banyuwangi se telah mogoknya dua pabrik gula tersebut me nurun tajam. Sehingga penanaman tebuja tuh ke pihak ketiga. Pabrik gula Soekowidi ber tahan lebih lama hingga tahun 1925 dengan produksi tebu 1.468 pikul per bauw dan rendemen tebu hingga 9,71 persen.

Pada tahun 1930-an, krisis ekonomi menyebabkan harga gula merosot tajam. Akibatnya, banyak industri gula yang gulung tikar. Dalam waktu 4 tahun, jumlah pabrik gula di Jawa yang awalnya beroperasi sebanyak 179 pabrik gula hanya tersisa 54pabrik. Pada tahun 1957, semua pabrik gula dinasionalisasikan.(radar)

Kata kunci yang digunakan :