Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Personal Branding Anak Muda sebagai Pergeseran Paradigma Sosial – TIMES Banyuwangi

personal-branding-anak-muda-sebagai-pergeseran-paradigma-sosial-–-times-banyuwangi
Personal Branding Anak Muda sebagai Pergeseran Paradigma Sosial – TIMES Banyuwangi

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Pada era digital saat ini, konsep diri tidak lagi hanya terbentuk secara internal atau melalui interaksi langsung antarindividu. Munculnya media sosial, platform digital, dan budaya visual telah menciptakan ruang baru di mana identitas dibentuk, dikonstruksi, dan dipertontonkan. 

Di dalam ruang ini, kaum muda memainkan peran dominan. Mereka bukan sekadar pengguna teknologi, tetapi juga produsen makna yang aktif dalam membentuk citra diri yang sering kali disebut sebagai personal branding.

Secara historis, identitas terbentuk melalui proses sosial alami yakni keluarga, lingkungan, nilai, dan pengalaman hidup. Namun kini, identitas bisa didesain, dibentuk, dan bahkan “dijual”. Hal ini menunjukkan pergeseran paradigma dari identitas sebagai hasil, menjadi identitas sebagai proyek.

Dalam kerangka teori Thomas Kuhn, perubahan seperti ini dapat dipahami sebagai pergeseran paradigma sosial. Kuhn, dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962), menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linear, melainkan melalui revolusi paradigma yakni ketika teori lama tidak lagi mampu menjelaskan fenomena baru.

Maka muncullah paradigma baru yang menggantikannya. Pergeseran ini terjadi ketika anomali dalam sistem lama terlalu banyak dan mendesak perubahan mendasar dalam cara pandang.

Dengan analogi tersebut, kita dapat melihat fenomena personal branding di kalangan kaum muda sebagai anomali sosial terhadap paradigma identitas lama yang berbasis pada otentisitas, keterbukaan, dan ekspresi alami. 

Di tengah tekanan digital, representasi diri yang “terkurasi dan estetik” mulai menggantikan nilai-nilai lama. Ini adalah bentuk “krisis paradigma” dalam hal bagaimana masyarakat memaknai identitas.

Mengikuti pemikiran Kuhn, kita dapat mengatakan bahwa kini telah muncul paradigma baru. Identitas bukan sesuatu yang diwariskan, tetapi sesuatu yang dikonstruksi secara aktif dan strategis. Dalam paradigma ini, nilai bukan terletak pada “keaslian” tetapi pada “kemampuan merepresentasikan diri secara efektif”.

Dengan demikian, kaum muda bukan hanya objek perubahan sosial, tetapi juga agen perubahan yang secara aktif menormalisasi paradigma baru ini. Mereka melakukan apa yang oleh Kuhn disebut sebagai “normal science” dalam sistem baru; mengembangkan teknik, praktik, dan narasi untuk mempertahankan dan menguatkan paradigma personal branding sebagai hal yang wajar dan bahkan diharapkan dalam masyarakat digital.

Fenomena ini tidak hanya sekadar tren atau ekspresi individual semata. Personal branding telah menjelma menjadi alat utama untuk mendapatkan pengakuan sosial, peluang ekonomi, bahkan legitimasi kultural. 

Maka, kita tidak lagi berbicara hanya tentang representasi diri, tetapi juga tentang bagaimana anak muda secara sadar merekayasa identitas untuk memenuhi ekspektasi sosial tertentu. 

Fenomena ini memunculkan pertanyaan sosiologis yang penting; Apakah ini sekadar strategi individu, ataukah kita sedang menyaksikan pergeseran paradigma sosial dalam membangun eksistensi?

Untuk menjawabnya, kita perlu melihat kenyataan sosial yang terjadi di berbagai ruang dari media sosial, pendidikan, budaya kerja, hingga konsumsi budaya populer. Fakta empiris ini akan memperlihatkan bahwa personal branding bukan sekadar gaya hidup, melainkan sudah menjadi instrumen sosial baru yang membentuk hubungan kuasa, status, dan makna.

Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite (2024), lebih dari 60% penduduk dunia kini aktif di media sosial. Di Indonesia, jumlah pengguna media sosial mencapai lebih dari 190 juta orang, dengan rentang usia paling dominan adalah 16–34 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa anak muda menjadi aktor utama dalam lanskap digital saat ini. 

Platform seperti Instagram, TikTok, LinkedIn, dan YouTube tidak hanya digunakan sebagai media hiburan, tetapi juga sebagai etalase diri tempat di mana seseorang mempresentasikan siapa dirinya, apa yang ia perjuangkan, dan apa yang ingin ia capai.

Fitur-fitur seperti bio, highlights, feed aesthetics, dan storytelling video menjadi alat representasi yang sangat strategis. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang menyewa konsultan branding, mengikuti pelatihan personal development, atau menggunakan jasa desain untuk mengelola citra digitalnya. Ini bukan lagi persoalan narsisisme digital, melainkan strategi sosial yang terstruktur.

Berdasarkan survei nasional yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (2023), sebanyak 68% generasi Z dan milenial menyatakan bahwa mereka “sangat peduli” dengan citra digital mereka. 

Dari jumlah tersebut, 45% secara aktif mengelola konten agar konsisten dengan “nilai” yang ingin mereka tunjukkan. Ini mencakup pemilihan warna, gaya bahasa, narasi, serta komunitas digital yang diikuti.

Survei tersebut juga menunjukkan bahwa pertama, 72% responden mengaku bahwa citra digital mereka “sedikit berbeda” dari kepribadian aslinya. Kedua, 55% percaya bahwa memiliki personal branding yang kuat dapat membuka peluang kerja dan kolaborasi profesional. Ketiga, 38% menyatakan bahwa mereka merasa “tertekan” untuk selalu tampil menarik atau produktif secara online.

Data ini memperlihatkan bahwa personal branding bukan hanya praktik bebas nilai, melainkan terikat pada ekspektasi pasar, budaya produktivitas, dan norma-norma estetika tertentu.

Anak muda yang masuk dunia kerja saat ini dituntut untuk tidak hanya “berkompeten”, tetapi juga “menarik secara digital”. Banyak HRD perusahaan, terutama di sektor startup, teknologi, dan media kreatif, menyatakan bahwa jejak digital menjadi pertimbangan utama dalam menilai calon karyawan. Portofolio visual, engagement di LinkedIn, serta narasi personal dalam video perkenalan, menjadi bagian penting dari proses seleksi.

Di sektor pendidikan, fenomena ini juga marak. Beberapa mahasiswa bahkan sudah memiliki personal website, kanal YouTube edukatif, atau menjadi influencer akademik dengan konten seperti tips belajar, produktivitas, dan beasiswa. Representasi akademik tidak lagi sebatas nilai IPK, tetapi juga bagaimana mahasiswa menampilkan “brand akademiknya” secara publik.

Penelitian dari American Psychological Association (APA, 2021) menunjukkan bahwa semakin tingginya penggunaan media sosial menyebabkan gap antara identitas aktual dengan identitas representatif. Fenomena ini dikenal sebagai performative identity, yakni bentuk identitas yang dipilih dan ditampilkan untuk tujuan tertentu.

Anak muda kini semakin menyadari bahwa ada nilai sosial dan ekonomi dalam membentuk persepsi orang lain. Maka, banyak dari mereka yang membagi hidupnya menjadi dua realitas yakni pertama, identitas offline sebagai diri pribadi yang lebih cair dan tidak terlalu dipoles. Kedua, identitas online sebagai diri yang terkurasi, dipoles, dan ditargetkan untuk audience tertentu.

Representasi ini menjadi realitas baru yang lebih dominan daripada kehidupan nyata, karena itulah yang dilihat dan dinilai masyarakat luas. Bukan siapa kita sebenarnya, tapi siapa yang kita tampilkan.

Fenomena ini tidak datang tanpa beban. Banyak penelitian menunjukkan dampak psikologis dari tuntutan personal branding: Pertama, kecemasan sosial karena takut kehilangan followers atau engagement. 

Kedua, stres performatif, yakni tekanan untuk selalu tampak “baik-baik saja” atau “berkualitas”. Ketiga, alienasi diri, di mana individu merasa kehilangan koneksi dengan identitas aslinya.

Secara historis, identitas terbentuk melalui proses sosial alami yakni keluarga, lingkungan, nilai, dan pengalaman hidup. Namun kini, identitas bisa didesain, dibentuk, dan bahkan “dijual”. Hal ini menunjukkan pergeseran paradigma dari identitas sebagai hasil, menjadi identitas sebagai proyek.

Anak muda kini melihat dirinya sebagai produk yang harus dikembangkan, dikemas, dan dipasarkan. Ini bukan hanya soal kreativitas, tetapi juga tentang bagaimana sistem sosial saat ini mendorong individu untuk terus membentuk ulang citra dirinya demi kompetisi sosial.

Personal branding menciptakan jenis kapital sosial baru: kapital representasional. Mereka yang mampu mengelola citra diri dengan baik mendapat posisi sosial yang lebih tinggi, peluang lebih banyak, dan akses terhadap sumber daya.

Hal ini menciptakan stratifikasi sosial digital, di mana akses terhadap alat personal branding menjadi penentu mobilitas sosial baru. Bukan hanya pendidikan atau kekayaan, tetapi juga kemampuan merepresentasikan diri secara digital yang menjadi tolok ukur.

Fakta-fakta sosial di atas menunjukkan bahwa personal branding bukan hanya fenomena individu, tetapi mencerminkan struktur sosial baru yang terbentuk di era digital. Anak muda, dalam hal ini, menjadi subjek sekaligus objek dari dinamika tersebut. 

Mereka aktif merancang citra, tetapi juga terjebak dalam tekanan representasi. Paradigma sosial lama yang menekankan otentisitas kini mulai tergeser oleh paradigma baru: visualitas, performativitas, dan kurasi diri.

Dengan demikian, melalui teorinya Kuhn telah menyadarkan kita bahwa personal branding bukan hanya soal gaya hidup atau tuntutan zaman. Ia merepresentasikan transformasi mendasar dalam struktur berpikir masyarakat tentang identitas suatu pergeseran paradigma dalam makna eksistensi, dari otentisitas ke performativitas, dari ekspresi ke strategi, dari siapa kita menjadi siapa yang terlihat kita.

***

*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman