Banyuwangi – Ribuan suara pecah serentak, menggema hingga ke seluruh penjuru Banyuwangi. Selasa (19/8/2025), Masjid Ar Royyan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Banyuwangi berubah menjadi samudra doa. Dari shalat dhuha berjamaah, dzikir, hingga lantunan Shalawat Nariyah yang membahana, seluruh aparatur sipil negara (ASN), guru madrasah, dan penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) se-Banyuwangi larut dalam kekhusyukan yang menggetarkan jiwa.
Bukan hanya di Masjid Ar Royyan, gema shalawat juga merambat ke madrasah dan KUA di berbagai kecamatan. Banyuwangi seakan berdenyut satu suara: memohon rahmat dan keselamatan untuk bangsa, daerah, dan seluruh umat.
Kepala Kantor Kemenag Banyuwangi, Dr Chaironi Hidayat, menyebut momen ini sebagai bukti nyata cinta kepada Rasulullah SAW sekaligus ikhtiar kolektif meneguhkan doa kebangsaan.
“Shalawat itu bukan sekadar bacaan. Ia adalah ikatan batin yang menghubungkan kita langsung dengan Rasulullah SAW, sebagai perantara agar doa-doa kita lebih mudah dikabulkan Allah SWT,” tegas Chaironi, suaranya bergetar penuh harap.
Ia mengingatkan, meski para ulama memiliki ragam pandangan tentang Shalawat Nariyah, esensi utamanya tetap satu: mendekatkan diri kepada Allah melalui kecintaan kepada Rasulullah. “Kita bersandar kepada beliau, dan semoga dari majelis shalawat ini seluruh keluarga besar Kemenag, para guru, hingga masyarakat Banyuwangi selalu berada dalam penjagaan Allah SWT,” tambahnya.
Yang membuat suasana makin membuncah, capaian pembacaan Shalawat Nariyah melesat jauh melampaui target. Dari angka awal 80 ribu kali, panitia mencatat lebih dari 150 ribu kali shalawat berhasil dilantunkan secara berjamaah. Suatu pencapaian yang disebut sebagai bukti dahsyatnya cinta kolektif warga Banyuwangi kepada Rasulullah SAW.
Kepala Seksi Bimas Islam Kemenag Banyuwangi, Mastur, yang memandu jalannya rangkaian doa, menegaskan bahwa momentum ini tidak hanya bernilai spiritual, tetapi juga menjadi energi kebersamaan untuk pengabdian. “Kebersamaan ini adalah bekal ASN Kemenag untuk bekerja lebih ikhlas, lebih melayani, dan lebih dekat dengan masyarakat,” ujarnya lantang.
Tak berhenti di situ. Nuansa doa kebangsaan ini juga dirangkai sebagai persembahan religius dalam rangka HUT ke-80 Kemerdekaan RI. Jika kemerdekaan diraih dengan darah dan perjuangan, maka tugas generasi kini adalah merawatnya dengan doa dan pengabdian.
“Banyuwangi hari ini menorehkan sejarah spiritual. Terima kasih kepada semua yang hadir dan mendukung. Insya Allah, dengan barokah shalawat, langkah kita akan selalu diberi cahaya dan keberkahan,” pungkas Chaironi.
Hari itu, Banyuwangi tidak hanya bershalawat. Ia bergetar. Ia berdoa. Ia bersatu.(Syaf)