KEBABLASAN. Bukan karena masuk ke lingkungan pesantren putri. Walakin ada batas ‘’terlarang’’. Namanya tanah suci. Padahal, perwujudannya bukan tanah. Melainkan paving yang ditata rapi. Rata. Presisi. Cukup lebar. Sekitar 4-5 meter. Membentang dari depan gedung besar bertingkat sampai ke gedung utama. Gedung yang pada bagian depan atasnya ada logo kementerian PUPR itu berada di ujung utara. Kurang lebih 50 meter.
“Gak bisa maju lagi. Masuk tanah suci,” kata Agus Baihaqi, kepala biro Radar Genteng, setengah dari belakang kemudi mobilnya, menjawab perintah “maju dan putar balik di depan” dari Syafuddin Mahmud, pemred Jawa Pos Radar Banyuwangi.
“Atret saja, Pak,” kata saya ke Aif—panggilan karib Syaifuddin Mahmud.
Belum sempat atret, beberapa pengurus Yayasan Mabadi’ul Ihsan memanggil. ‘’Kebabalas, Pak,’’ terianya sambil menunjukkan arah tujuan yang sebenarnya. Yakni, pesantrean putra. Yang posisinya persis di sebelah Gedung pesantren putri. Hanya dibatasi pagar tinggi.
Setelah turun dari mobil, saya dan rombongan Jawa Pos Radar Banyuwangi segera masuk ke pintu belakang pesantren putra. Disambut Ustad Eka. Kepala pondok itu masih muda. Sangat muda. mengenakan thawb. Gamis gamis putih polos. Dikuti beberapa pengurus pesantren.
‘’Maaf, ini tanah suci,’’ kata ustad Eka ramah, sambil menunjuk harapan lantai paving yang sangat bersih. Dari pagar sampai aula (ruang terbuka yang berada di dasar bangunan berlantai empat). ‘’Tanah suci ini dipakan santri untuk beraktivitas. Seperti mengaji dan makan bersama,’’ imbuh ustad Eka, serasa menimpali, ‘’Kalau pujaseranya sudah jadi, nanti makannya pindah ke sana’’.
Kami bergegas masuk. Namun harus mencopot sepatu dulu. Lalu memasukkannya ke loker. Tempat menaruh sepatu dan sandal. Dalam jumlah yang banyak. Saya pun mendapat jawaban rasa penasaran yang pertama. Yakni, soal kebersihan pesantren bernama Daar Al Ihsan. Biasa disingkat DAI. Tidak tampak satu pun sandal atau sepatu milik santri maupun pengurus. Bersih. Semua lantainya yang berwarna putih tampak cling.
Penasaran terhadap kebersihannya, saya berkeliling. Didampingi ustad Eka dan pengurus. Melihat langsung kondisi kamar santri. Idem ditto. Bersih. Lantainya putih mengilap. Pun dindingnya. Tak tampak noda. Baik jamur di tembok maupun coretan-coretan yang lain.
Di lantai 2 dan 3, masing-masing ada lima kamar. Kamar-kamar itu dinamai nama-nama tokoh Islam. Seperti kamar Zubair bin Awam, Abu Ubaidah, Bilal bin Rabbah, Ja’far Bin Ab Thalib, Abu Darda, Khalid Bin Walid, dlsb. Penamaan itu, tentu saja, tidak hanya untuk mengenalkan santri pada tokoh Islam. Melainkan juga bisa meneladani keilmuan dan kepribadian para tokoh tersebut.
Ukuran kamarnya sangat luas: 42 M2. Setiap kamar diisi antara 15 sampai 27 santri. Para santri tidur di tempat tidur bersusun dua. Masing-masing mendapat satu kasur. Hebatnya, mereka tidak perlu keluar kamar saat hendak mandi atau buang hajat. Sebab, setiap kamar dilengkapi tiga kamar mandi yang luas. Di depan kamar mandi ada lima kran berjajar. Untuk berwudhu’ para santri.
Bukan hanya itu. Di dalam kamar juga dilengkapi lemari/loker untuk menyimpan pakaian dan barang santri lainnya. Jumlahnya disesuaikan dengan jumlah santri penghuni kamar. Tidak ada satu pun pakaian (baju dan sarung) milik santri yang berserakan di kamar. Juga piring dan barang yang lain. Semua tersimpan rapi di loker dan lemarinya masing-masing. ‘’Setiap pagi ada inspeksi dari kami soal kebersihan dan kerapian kamar,’’ jelas ustad Eka.
Setiap kamar santri didampingi musyrif. Pembimbing yang mendampingi santri selama 24 jam. Ia tinggal bersama santri. Di luar khusus, tepat di pojok depan kamar mandi. Musyrif bertugas membimbing dan sekaligus mengawasi aktivitas santri saat di kamar. Itu untuk meminimalisasi terjadi bullying. Atau, tindakan tak terpuji lainnya.
Meski sudah ada musyrif, di setiap kamar santri juga dipasang CCTV. Selama 24 jam aktivitas santri terpantau CCTV. ‘’Sementara, ada 126 yang sudah terpasang. Bukan hanya di DAI, melainkan di seluruh kawasan YMI. Ke depan akan terus ditambah CCTV-nya,’’ kata pengurus YMI ustad Ali Wafa.
Kondisi kebersihan dan keamanan santri juga terlihat di DAI putri.
Page 2
Pondok Putri DAI diketuai oleh ustadzah Pipit Isnainia SH. Selain CCTV, di setiap kamar pondok putri DAI juga didampingi seorang pembimbing. Yang membedakan nama-namanya kamarnya. Nama kamar di pondok putri menggunakan nama tokoh perempuan Islam. Seperti Khadijah, Aisyah, Hafshah, dan Fatimah.
Wa ba’du. Pesantren modern DAI terletak di Desa Karangdoro, Kecamatan Tegalsari, Kabupaten Banyuwangi, Jatim. Di bawah Yayasan Mabadi’ul Ihsan (YMI). Letaknya masih dalam satu kawasan dengan pesantren Mabadi’ul Ihsan—pesantren pertama YMI yang masih mempertahankan metode salaf.
Juga sekawasan dengan sekolah milik YMI. Mulai dari PAUD, TK, SMP hingga SMA/SMK, dan perguruan tinggi. Sekolah dan kampus itu berada tepat di tengah. Di antara DAI dan pesantren Mada’ul Ihsan. Kawasan sekolah itu disebut Gedung Putih. Semua gedungnya bertingkat. Dicat warna putih. Kecuali kampus Universitas Cordoba. Itulah kawasan Cordoba International Class (CIC).
Siswa dan mahasiswa CIC nantinya menjadi santri DAI. Karenanya, di lingkungan DAI kelak diterapkan komunikasi menggunakan dwibahasa asing. Santri dibiasakan berkomunikasi dengan bahasa Arab dan Inggris.
Berkunjung ke lingkungan Pendidikan YMI yang menaungi pesantren salaf, CIC, dan DAI muncul kebanggaan. Ternyata di Banyuwangi ada salah satu pesantren modern terbersih di Indonesia. Bersih dari pencemaran lingkungan. Karena DAI sudah dilengkapi WWTP (Wastewater Treatment Plant). Alias IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah).
IPAL komunal DAI merupakan sistem pengelolaan limbah biologis dan kimiawi cair yang dilakukan secara terpusat. Belum banyak pesantren yang dilengkapi IPAL. Diantara yang sedikit itu adalah DAI. Bahkan bisa jadi, DAI menjadi yang pertama. Seperti halnya tanah sucinya….
*) Pekolom Banyuwangi.
Konten berikut adalah iklan platform Geozo, media kami tidak terkait dengan materi konten ini.
Page 3
KEBABLASAN. Bukan karena masuk ke lingkungan pesantren putri. Walakin ada batas ‘’terlarang’’. Namanya tanah suci. Padahal, perwujudannya bukan tanah. Melainkan paving yang ditata rapi. Rata. Presisi. Cukup lebar. Sekitar 4-5 meter. Membentang dari depan gedung besar bertingkat sampai ke gedung utama. Gedung yang pada bagian depan atasnya ada logo kementerian PUPR itu berada di ujung utara. Kurang lebih 50 meter.
“Gak bisa maju lagi. Masuk tanah suci,” kata Agus Baihaqi, kepala biro Radar Genteng, setengah dari belakang kemudi mobilnya, menjawab perintah “maju dan putar balik di depan” dari Syafuddin Mahmud, pemred Jawa Pos Radar Banyuwangi.
“Atret saja, Pak,” kata saya ke Aif—panggilan karib Syaifuddin Mahmud.
Belum sempat atret, beberapa pengurus Yayasan Mabadi’ul Ihsan memanggil. ‘’Kebabalas, Pak,’’ terianya sambil menunjukkan arah tujuan yang sebenarnya. Yakni, pesantrean putra. Yang posisinya persis di sebelah Gedung pesantren putri. Hanya dibatasi pagar tinggi.
Setelah turun dari mobil, saya dan rombongan Jawa Pos Radar Banyuwangi segera masuk ke pintu belakang pesantren putra. Disambut Ustad Eka. Kepala pondok itu masih muda. Sangat muda. mengenakan thawb. Gamis gamis putih polos. Dikuti beberapa pengurus pesantren.
‘’Maaf, ini tanah suci,’’ kata ustad Eka ramah, sambil menunjuk harapan lantai paving yang sangat bersih. Dari pagar sampai aula (ruang terbuka yang berada di dasar bangunan berlantai empat). ‘’Tanah suci ini dipakan santri untuk beraktivitas. Seperti mengaji dan makan bersama,’’ imbuh ustad Eka, serasa menimpali, ‘’Kalau pujaseranya sudah jadi, nanti makannya pindah ke sana’’.
Kami bergegas masuk. Namun harus mencopot sepatu dulu. Lalu memasukkannya ke loker. Tempat menaruh sepatu dan sandal. Dalam jumlah yang banyak. Saya pun mendapat jawaban rasa penasaran yang pertama. Yakni, soal kebersihan pesantren bernama Daar Al Ihsan. Biasa disingkat DAI. Tidak tampak satu pun sandal atau sepatu milik santri maupun pengurus. Bersih. Semua lantainya yang berwarna putih tampak cling.
Penasaran terhadap kebersihannya, saya berkeliling. Didampingi ustad Eka dan pengurus. Melihat langsung kondisi kamar santri. Idem ditto. Bersih. Lantainya putih mengilap. Pun dindingnya. Tak tampak noda. Baik jamur di tembok maupun coretan-coretan yang lain.
Di lantai 2 dan 3, masing-masing ada lima kamar. Kamar-kamar itu dinamai nama-nama tokoh Islam. Seperti kamar Zubair bin Awam, Abu Ubaidah, Bilal bin Rabbah, Ja’far Bin Ab Thalib, Abu Darda, Khalid Bin Walid, dlsb. Penamaan itu, tentu saja, tidak hanya untuk mengenalkan santri pada tokoh Islam. Melainkan juga bisa meneladani keilmuan dan kepribadian para tokoh tersebut.
Ukuran kamarnya sangat luas: 42 M2. Setiap kamar diisi antara 15 sampai 27 santri. Para santri tidur di tempat tidur bersusun dua. Masing-masing mendapat satu kasur. Hebatnya, mereka tidak perlu keluar kamar saat hendak mandi atau buang hajat. Sebab, setiap kamar dilengkapi tiga kamar mandi yang luas. Di depan kamar mandi ada lima kran berjajar. Untuk berwudhu’ para santri.
Bukan hanya itu. Di dalam kamar juga dilengkapi lemari/loker untuk menyimpan pakaian dan barang santri lainnya. Jumlahnya disesuaikan dengan jumlah santri penghuni kamar. Tidak ada satu pun pakaian (baju dan sarung) milik santri yang berserakan di kamar. Juga piring dan barang yang lain. Semua tersimpan rapi di loker dan lemarinya masing-masing. ‘’Setiap pagi ada inspeksi dari kami soal kebersihan dan kerapian kamar,’’ jelas ustad Eka.
Setiap kamar santri didampingi musyrif. Pembimbing yang mendampingi santri selama 24 jam. Ia tinggal bersama santri. Di luar khusus, tepat di pojok depan kamar mandi. Musyrif bertugas membimbing dan sekaligus mengawasi aktivitas santri saat di kamar. Itu untuk meminimalisasi terjadi bullying. Atau, tindakan tak terpuji lainnya.
Meski sudah ada musyrif, di setiap kamar santri juga dipasang CCTV. Selama 24 jam aktivitas santri terpantau CCTV. ‘’Sementara, ada 126 yang sudah terpasang. Bukan hanya di DAI, melainkan di seluruh kawasan YMI. Ke depan akan terus ditambah CCTV-nya,’’ kata pengurus YMI ustad Ali Wafa.
Kondisi kebersihan dan keamanan santri juga terlihat di DAI putri.