Banyuwangi, Jurnalnews.com – Masyarakat suku Osing Banyuwangi di Jawa Timur memiliki beragam tradisi yang masih lestari hingga saat ini. Meriah namun sarat makna, berbagai tradisi memasuki bulan Haji dapat ditemui di Banyuwangi.
Salah satunya adalah ritual Pementasan Tari Seblang Bakungan yang diselenggarakan di Desa Bakungan, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, sebagai bentuk ritual keselamatan desa.
Tradisi Seblang ini digelar setiap minggu pertama bulan Dulhijah dan dipercaya dapat menghilangkan pagebluk atau bahaya yang mengancam.
Ritual Adat Seblang Bakungan merupakan kegiatan yang selalu dikunjungi oleh ribuan warga, berlangsung semalam penuh. Ritual Seblang wajib dilaksanakan oleh masyarakat Osing di Kelurahan Bakungan, Kecamatan Glagah, setiap minggu pertama Bulan Haji (Dzulhijah).
Pelaksanaan ritual ini telah dilakukan secara turun-temurun selama ratusan tahun dan pada tahun 2025, acara ini dijadwalkan pada Kamis malam Jumat 12 Juni 2025.
Tari Mistik Seblang Bakungan merupakan tarian magis dari Banyuwangi yang digelar setahun sekali setelah Hari Raya Idul Adha. Tarian ini dibawakan oleh seorang wanita dalam keadaan tidak sadar dan dilakukan semalam penuh.
Seblang Bakungan kembali digelar bertempat di Kelurahan Bakungan, Kecamatan Glagah, acara ini menjadi bagian dari warisan budaya tak benda yang tetap lestari hingga hari ini.
Seblang Bakungan bukan sekadar tontonan. Ia adalah ritual adat yang menggabungkan unsur mistis, spiritual, dan tradisi yang dijaga turun-temurun.
Dalam tradisi ini, penari wanita—biasanya berusia lanjut dan telah menopause—menarikan tarian khas dalam kondisi trance, diyakini sebagai medium komunikasi dengan roh leluhur.
Pada malam Rabo hingga Jumat , (10-12/6/2025 ), suasana mistis menyelimuti Kelurahan Bakungan, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Ritual Seblang Bakungan, sebuah tradisi turun-temurun masyarakat Osing, kembali dilaksanakan dengan penuh khidmat. Tradisi ini diawali dengan prosesi “Ider Bumi” dan ritual nyekar ke makam Mbah Witri, di mana peserta membasuh muka atau mandi di mata air keramat ‘Sumber Penawar’. Tempat ini diyakini memberikan berkah awet muda, kesehatan, dan keselamatan.
Malam itu menjadi momen bersejarah bagi Mak Isni, wanita 53 tahun yang untuk pertama kalinya menjadi Seblang, menggantikan Mbah Isah yang telah pensiun karena usia dan kesehatan. Isni terpilih bukan hanya karena hubungan keluarganya dengan Mbah Isah, tetapi juga karena kesuciannya sebagai wanita pasca menopause, sesuai dengan syarat tradisi.
Mbah Ackwan, sesepuh dan pawang Seblang Bakungan, menjelaskan bahwa tradisi ini bermula dari kesepakatan antara sesepuh desa Bakungan dan roh-roh gaib yang mendiami hutan Bakung. Roh-roh ini setuju untuk dipindahkan ke tempat lain dengan syarat, upacara Seblang diadakan setiap tahun. Jika dilanggar, desa akan terkena pageblug, atau wabah yang membawa bencana.
Upacara malam itu dimulai dengan gamelan mengumandangkan “Giro” pada pukul 19:30 WIB, mengiringi Mak Isni yang berjalan dengan mata terpejam dan keris di tangan. Di bawah sinar lampu redup dan aroma kemenyan, suasana magis tercipta. Mak Isni, diikuti oleh sesepuh adat, mengelilingi arena, memohon kesehatan, keberkahan, dan keselamatan bagi masyarakat Bakungan dan Banyuwangi.
Ritual ini menarik perhatian ratusan masyarakat dari berbagai daerah, Dinda dari Jakarta mengaku terpesona dan merinding menyaksikan penari dalam kondisi trance. Putri, wisatawan dari Jogjakarta, menyoroti semangat gotong-royong yang kental dalam tradisi ini.
Wakil Bupati Banyuwangi, H. Mujiono , turut hadir menyaksikan tradisi tersebut. Beliau menekankan pentingnya melestarikan tradisi dan budaya sebagai bagian dari Banyuwangi Festival (B-Fest) yang tidak hanya mendatangkan wisatawan tetapi juga memperkuat gotong-royong dan pelestarian budaya.
“Bukan sekedar hiburan, tapi juga edukasi untuk melestarikan adat tradisi dan budaya kita,” ujar Wabup Mujiono.
Sejak Selasa sore , warga telah mengadakan berbagai kegiatan, termasuk pentas seni dan bazar UMKM, yang menambah semarak ritual Seblang Bakungan. Tradisi ini tidak hanya menjadi warisan budaya yang kaya, tetapi juga memperkuat kebersamaan dan identitas masyarakat Osing di tengah arus modernitas.(Ilham Triadi)