Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Jamaah Masjid Berkurang karena Air tak Kunjung Mengalir

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

ANEH memang jika ada masyarakat yang mengeluhkan kesulitan air di musim hujan seperti sekarang. Kondisi itu dirasakan warga Lingkungan Jogolatri, Dusun Pakis Sawi, Desa Sumberrejo. Lingkungan yang mayoritas didiami masyarakat yang bekerja sebagai buruh tersebut mengandalkan sumur sebagai satu-satunya  sumber air.

Pipa milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) belum menyentuh warga Pakis Sawi. Dari  sumur itulah kebutuhan terhadap air digantungkan. Sudah sejak pertengahan tahun 2015 lalu warga di dusun tersebut mengaku kesulitan air. Air di  sumur mereka terus menyusut,  bahkan sudah mulai kering.

Beberapa warga mengaku sudah melakukan berbagai langkah, seperti membersihkan dasar sumur atau mengeruk sumur lebih dalam. Namun, hasilnya nyaris tidak ada. Utwati, 62, salah seorang warga menuturkan sejak Hari Raya Idul Fitri kamar mandi di rumahnya kosong air.

Sumur di belakang rumahnya kering kerontang. Biaya mengeruk sumur tidak murah, sehingga nenek empat cucu itu memilih mengambil air di sungai yang berjarak sekitar 300 meter dari rumahnya. “Sumbernya ada dua. Yang satu  di dekat sungai. Warga biasanya  mengambil sampai antre. Kalau yang satu lokasinya agak jauh  dan itu masuk pekarangan orang.  Jadi, warga malu kalau sering minta air,” tutur Utwati.

Penasaran, Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa) melihat langsung aktivitas warga di sekitar mata air di dekat sungai itu. Ditemani ketua RT2/RW2, Rohyan,  41, JP-RaBa melihat sebuah mata  air berukuran kecil yang mengeluarkan air melalui pipa paralon  berukuran sedang.

Jumlah orang yang mengumpulkan air, jangan ditanya. Puluhan orang bergantian datang dengan membawa jeriken kosong. Sebagian besar yang mengambil air adalah ibu-ibu rumah tangga dan bapak-bapak. Ada yang datang membawa dua jeriken besar yang diikatkan ke sepeda motor, ada  juga yang datang membawa kereta  dorong yang biasa digunakan  membawa pasir.

Ada juga yang hanya menenteng ember besar dan jeriken. Ada pula warga yang membawa gerobak berisi jeriken berbagai macam ukuran. Intinya, setiap orang membawa dua jeriken  kosong. “Kenapa cuma di sini yang susah. Setiap hari saya bolak-balik sampai lima kali mengambil air. Belum lagi kalau ada tamu, mereka kan tidak bisa  mandi di sungai,” gerutu salah seorang ibu rumah tangga sambil  menyunggi ember.

Ketua RT setempat, Rohyan, menceritakan dusun mereka memang langganan kekeringan.  Tetapi, tahun ini yang paling berat karena sudah hampir tujuh  bulan kondisi sumur tidak berubah. Padahal, biasanya hanya selama tiga bulan saja, itu pun sumurnya kalau dikeruk sedikit airnya keluar lagi.

“Sekarang ini  susah. Kadang kita membayar ongkos ngeruk sumur mahal, bisa sampai Rp 2 juta. Itu pun air yang keluar cuma sedikit, paling satu ember. Setelah itu harus menunggu lagi sampai satu jam,” kata Rohyan. Karena tidak punya solusi lain, warga hanya menggantungkan diri pada mata air kecil di tepi sungai. Ada memang salah seorang warga yang menggunakan sumur bor, tapi lokasinya cukup jauh.

“Warga malu jika sering-sering meminta ke sana,’’ ujar  Rohyan. Bahkan, ada warga yang menadahi air hujan dengan cara memasang ember-ember besar karena mereka takut pergi ke sungai pada malam hari. Sementara, pada siang hari mereka harus bekerja.

“Warga harus bolak-balik mengambil air karena mereka masih membawa jeriken secara manual. Apalagi yang manula, kadang nitip tetangganya,” beber Rohyan. Dampak dari kesulitan air itu menyebabkan sebagian besar warga tidak bisa bercocok tanam.

Belum lagi yang memiliki ternak, mereka tidak bisa memberi minum peliharaannya dengan air sungai karena warga sekarang siang-malam menggunakan air sungai. Yang paling terlihat adalah jamaah salat di masjid yang berkurang karena keran air di masjid berhenti mengucur.

“Akhirnya, jamaah lebih memilih salat di rumah masing-masing,’’. Meski sekarang sudah musim hujan, Rohyan mengaku air belum keluar. Biasanya dibutuhkan waktu satu bulan hingga air lancar. Rohyan mengaku sudah berkali-kali mengusulkan pipanisasi. Namun, hingga saat ini belum ada realisasi.

“Kalau mau pakai PDAM mungkin warga tidak kuat, ongkos pasangnya juga mahal. Kalau menunggu sumur berair lagi masih satu  bulan, masa iya kita mau terus  dibiarkan sampai sebulan lagi,” keluhnya. (radar)