TIMES BANYUWANGI, JAKARTA – Kecaman global yerhadap Israel meningkat menyusul pembunuhan terhadap enam jurnalis termasuk jurnalis Al-Jazeera, Anas Al-Sharif pada Minggu kemarin.
Anas Al-Sharif dibunuh Israel bersama jurnalis lainnya, Mohammed Qreiqeh, Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, Moamen Aliwa dan Mohammed Al-Khaldi, dengan cara tendanya diroket.
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres mengutuk pembunuhan jurnalis Al Jazeera di Gaza dengan mengatakan hal itu merupakan bagian dari upaya Israel mencegah dunia melaporkan situasi di Jalur Gaza.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia di wilayah Palestina yang diduduki, Francesca Albanese, mengatakan bahwa dunia telah gagal dalam kewajibannya melindungi jurnalis, dokter dan warga sipil di Jalur Gaza,
Ia juga mencatat bahwa narasi lama Israel tidak lagi berlaku untuk meyakinkan orang-orang di seluruh dunia bahwa semua warga Palestina adalah teroris.
Ofer Bronstein, penasihat Timur Tengah presiden Prancis juga mengutuk pembunuhan jurnalis di Gaza dan mendesak Israel untuk membuka perbatasannya agar jurnalis dapat menjalankan tugas mereka.
Menteri Luar Negeri Spanyol, José Manuel Albares meminta Uni Eropa untuk mengambil tindakan sekarang guna mencegah gelombang baru kekerasan Israel di Jalur Gaza.
Menteri Negara Inggris untuk Timur Tengah mengatakan, pembunuhan lima jurnalis Al Jazeera dan penargetan berulang terhadap jurnalis di Gaza sangat mengkhawatirkan, dan menegaskan bahwa Israel harus memastikan bahwa jurnalis bisa bekerja dengan aman
Persatuan Pers Nasional Maroko mengutuk pembunuhan itu dengan mengatakan bahwa “mesin pembunuh Israel telah kembali menyerang media yang terkepung di Jalur Gaza, yang sedang mengalami bencana kemanusiaan terburuk.
Mantan pejabat Human Rights Watch mengatakan, membungkam liputan kekejaman adalah ‘alasan tercela’ untuk membunuh jurnalis.
Kecaman meningkat di seluruh dunia setelah pasukan Israel membunuh jurnalis terkemuka Al Jazeera, Anas Al-Sharif dan empat rekannya di Gaza, dengan rekan wartawan, kelompok hak asasi manusia dan pejabat menuduh Israel secara sengaja menargetkan wartawan tersebut untuk liputannya.
Al-Sharif meninggal dunia bersama reporter Mohammed Qreiqeh dan operator kamera Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal dan Moamen Aliwa ketika Israel menembakkan roket ke tenda mereka di Gaza pada hari Minggu.
Badan pertahanan sipil Gaza mengatakan serangan itu juga menewaskan seorang jurnalis lepas Palestina, Mohammed Al-Khaldi, yang meninggal karena luka-lukanya, sehingga jumlah korban menjadi enam.
Israel mengakui melakukan pembunuhan tersebut, dan membenarkannya dengan menuduh Al-Sharif sebagai ‘teroris’.
Reporters Without Borders mengecam apa yang disebutnya sebagai ‘pembunuhan yang diakui’ terhadap salah satu koresponden Al Jazeera paling terkemuka di Gaza, dengan mencatat bahwa Pasukan Pertahanan Israel (IDF) secara terbuka memang menargetkannya.
Komite Perlindungan Jurnalis mengatakan, pihaknya ‘terkejut’ dengan pembunuhan tersebut, dan menekankan bahwa klaim Israel mengenai keanggotaan Hamas Al-Sharif tidak memiliki bukti.
“Pola Israel melabeli jurnalis sebagai militan tanpa memberikan bukti yang kredibel menimbulkan pertanyaan serius tentang niat dan rasa hormatnya terhadap kebebasan pers,” kata Sara Qudah, direktur CPJ untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk mengeluarkan kecaman serupa pada hari Senin, dengan mengatakan bahwa pembunuhan yang ditargetkan oleh Israel terhadap enam jurnalis di Gaza merupakan “pelanggaran berat hukum humaniter internasional.”
Kematian Al-Sharif terjadi beberapa minggu setelah CPJ dan organisasi lain memperingatkan adanya ancaman terhadapnya, menyusul postingan juru bicara IDF Avichai Adraee di X yang menuduhnya menjadi anggota sayap militer Hamas.
Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berekspresi, Irene Khan, saat itu menyebut klaim tersebut tidak berdasar dan itu merupakan serangan terang-terangan terhadap jurnalis.
Pada Minggu malam, IDF mengulangi tuduhannya, mengklaim Al-Sharif adalah “kepala sel teroris Hamas” dan telah mengatur serangan roket terhadap warga sipil dan pasukan Israel sambil “menyamar sebagai jurnalis Al Jazeera.”
Arab News mengutip informasi intelijen dan dokumen dari Gaza” termasuk daftar nama, daftar pelatihan, dan catatan gaji yang tidak dapat diverifikasi secara independen oleh Arab News.
Israel selalu membuat klaim serupa tanpa bukti, sebuah pola yang menurut para kritikus diperkuat oleh ketidakmampuan jurnalis asing independen untuk memasuki Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan rencana pada hari Minggu untuk mengizinkan sejumlah wartawan asing memasuki daerah kantong itu, tetapi hanya di bawah pengawalan militer, sebuah syarat yang diperingatkan oleh kelompok kebebasan pers akan membahayakan independensi jurnalistik.
Sejak dimulainya pengepungan Israel selama 22 bulan di Gaza, Tel Aviv telah membunuh hampir 200 wartawan, dengan kelompok hak asasi manusia mendokumentasikan kasus-kasus yang mereka gambarkan sebagai serangan langsung dan disengaja yang kategorinya merupakan kejahatan perang.
Penghormatan kepada Al-Sharif, Qreiqeh, Zaher, Noufal dan Aliwa telah mengalir, dengan banyak yang menuntut pertanggungjawaban.
Berbicara kepada Al Jazeera, Ken Roth, mantan direktur eksekutif Human Rights Watch mengatakan, bahwa membungkam liputan kekejaman adalah ‘alasan tercela’ untuk membunuh jurnalis.
“Ini adalah pembunuhan yang ditargetkan,” kata Roth. “Tuduhan sepihak Israel yang tidak berdasar” bahwa Al-Sharif memimpin unit Hamas “tidak ada gunanya. Dan jika Anda menggabungkan hal itu dengan pola pelecehan terhadapnya, upaya untuk membungkamnya, jelaslah apa yang terjadi,” tambah Roth.
Barry Malone, mantan editor Al Jazeera dan koresponden Reuters, menggambarkan Al-Sharif sebagai ‘mata kami’ di Gaza, yang membawa ‘emosi dan kedalaman khusus’ pada laporannya.
Penyair Palestina peraih Penghargaan Pulitzer dan mantan tahanan Israel, Mosab Abu Toha, menuduh media Barat ‘diam membisu’. Ia mengatakan, “Tak satu pun dari mereka menyuarakan keprihatinan atas keselamatan Anas, atau atas nyawa para jurnalis yang secara sistematis menjadi target dan dibunuh.”
“Keheningan ini bukan netralitas. Ini keterlibatan,” tambahnya dalam sebuah unggahan di X.
Perwakilan AS, Pramila Jayapal juga mengutuk pembunuhan itu dan mendesak Washington untuk menghentikan pasokan senjata ke Israel.
Pesan terakhir Anas Al-Sharif, yang ditulis pada 6 April dan diterbitkan setelah ia meninggal ditujukan kepada istrinya, Umm Salah (Bayan), putranya, Salah, dan orang-orang terkasihnya. Dalam pesan tersebut, ia menyerukan pembebasan Palestina.
“Inilah wasiat dan pesan terakhirku. Jika kata-kata ini sampai kepadamu, ketahuilah bahwa Israel telah berhasil membunuhku dan membungkam suaraku,” tulis Anas.
“Saya telah mengalami semua rasa sakit dalam setiap detailnya, merasakan penderitaan dan kehilangan berkali-kali, namun saya tidak pernah ragu untuk menyampaikan kebenaran apa adanya, tanpa distorsi atau pemalsuan,” tulisnya.
“Jangan lupakan Gaza… Dan jangan lupakan aku dalam doa-doa tulus kalian untuk pengampunan dan penerimaan,” tambah Anas Al-Sharif. (*)
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Ronny Wicaksono |