detik.com
Imron menatap langit-langit warung kopi di tepian jalan Desa Siliragung yang tetap sama seperti setahun lalu. Dia kerutkan kening lalu menyeruput secangkir kopi Ijen Arabika di mejanya. Sembari mengisap panjang rokok kretek yang sudah menyala, dia tautkan pandangan matanya pada jembatan baja yang membentang di hadapannya.
Tak ada lagi jalan berdebu selebar 2 meter yang berjejalan dengan mobil-mobil yang terparkir di tepiannya. Tak ada lagi perbincangan antara orang tua santri di meja panjang dekat warung kopi itu saat sama-sama menunggu putra-putra mereka keluar Ponpes di Desa Sambirejo, Kecamatan Bangorejo, di sisi seberang jembatan.
Dia ingat betul, tahun lalu ketika strukturnya masih beton dengan rangka besi yang telah berkarat dan pelindung kanan-kiri yang sudah sangat rapuh, jembatan gantung itu tidak bisa dilewati kendaraan roda empat. Jangankan mobil, dulu jembatan yang lebarnya hanya 2 meter itu tidak bisa dilewati 2 motor yang saling berpapasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak awal Imron mengantar putranya menimba ilmu di ponpes itu dia menyadari bahwa jembatan itu memiliki peran vital yang menghubungkan warga di 2 kecamatan. Yakni kecamatan Siliragung dan Bangorejo. Dan di sinilah dirinya, memandang wajah baru jembatan dengan fungsinya yang vital itu.
“Kaet wau Bah (dari tadi Abah)?” Tanya seorang santri dengan sandal jepit dan sarung bercorak batik osing khas Banyuwangi warna hitam dan coklat memecah lamunan Imron di sore yang relatif sunyi itu, Kamis (21/8).
Nama pemuda itu adalah Rafidus Solihin (13), dia hampiri Imron dengan sedikit tergopoh lalu segera menggapai tangan pria paruh baya itu untuk dicium. “Tasih ngaji kitab rumiyen bah (masih mendaras kitab bah),” jelas Rafi kepada ayahnya.
Sejak setahun lalu, hampir setiap minggu Imron menunggu putranya di warung kopi itu saat hendak menjenguk dan memberikan makanan favorit dan aneka kebutuhan putranya. Kali itu dia sengaja duduk memesan kopi Ijen di warung itu bukan karena mobilnya tidak bisa menyeberangi sungai, selain karena ingin mengenang masa-masa setahun lalu dia juga ingin melihat lamat-lamat wujud baru jembatan tersebut.
“Setiap minggu saya seperti itu, dan selalu tidak sendiri. Ada orang tua wali lainnya juga yang pakai mobil tidak bisa lewat, jadi anak kami harus minta tolong teman atau warga kampung sekitar pondok buat anter ke Jembatan,” kata Imron. “Jembatan itu seperti arteri. Bukan cuma anak pondok yang pakai Jembatan itu. Tapi juga anak sekolah SD dan SMP.”
Imron adalah 1 dari ratusan orang tua santri yang mengirimkan putra-putrinya untuk menimba ilmu di sejumlah Pesantren di Kecamatan Sambirejo dan Siliragung. Setidaknya ada 3 pesantren yang tercatat dalam data pemerintah desa, di antaranya Pondok Pesantren Kedung Agung, Khamirul Tholab, dan Amirul Salam.
![]() |
Untuk sampai ke 3 pesantren tersebut akses tercepat adalah dengan melintasi jembatan gantung di Desa Seneporejo, Kecamatan Siliragung tersebut. Jarak tempuh untuk menuju ke lokasi tujuan di desa seberang itu menjadi lebih pendek hingga 10 km.
“Dulu sebelum bisa dilewati, tetap cepat lewat sini. Kalau muter ya bisa sampai 10 km bahkan 15 kilo lebih jauh. Kondisi jalan juga banyak yang rusak. Mending nunggu dan janjian ketemu di dekat jembatan seperti ini. Itu dulu seperti itu,” kata Imron.
Di sisi lain, ada sekitar 70 ribu penduduk yang tinggal di 3 desa yang berdampingan di antara 2 Kecamatan Siliragung dan Bangorejo yang menggantungkan aktivitas keseharian dari Jembatan itu. Ada pelaku bisnis juga petani yang harus melintasi jalan memutar saat berniat menuju ke salah satu desa penghasil buah jeruk dan buah naga itu.
Menurut data BPS, kecamatan Siliragung dan Bangorejo dikenal sebagai penghasil buah naga dan jeruk yang melimpah. Cadangan di Kecamatan Siliragung setiap tahun mencapai 235.220 kuintal buah naga dan 169.200 kuintal buah jeruk. Sedangkan di Bangorejo, cadangan panennya 114.995 kuintal buah naga dan 380.294 kuintal buah jeruk.
Setiap musim panen tiba, pikap bahkan truk hilir mudik di 2 kecamatan itu untuk mengumpulkan buah naga dan jeruk dari petani untuk kemudian dikirim ke pengepul untuk disortir sebelum dilempar ke pasaran. Termasuk di sejumlah supermarket baik di Banyuwangi sendiri, Surabaya, Bali, bahkan hingga ke Jakarta.
Ketika jembatan gantung penghubung kecamatan itu hanya bisa dilewati 1 sepeda motor bergantian, kendaraan pengangkut yang melintasi kecamatan Siliragung harus memutar jarak hingga 15 Kilometer dengan kondisi jalan sebagian besar belum beraspal untuk mengangkut buah naga dan jeruk dari Desa Bangorejo, Kebondalem, dan Sambirejo.
Salah seorang supir angkutan buah, Muhammad Syawaludin (38) mengaku sudah belasan tahun bekerja sebagai sopir angkutan buah ke sejumlah daerah di luar Banyuwangi. Dia kerap melintasi jalanan desa itu dan selau menyayangkan jembatan penghubung Siliragung dan Bangorejo tidak bisa mendukung distribusi barang dan jasa antardesa.
“Tidak usah ditanya, jelas sangat vital jembatan itu. Distribusi lebih cepat, biaya lebih murah soale BBM lebih hemat dan tenaga juga,” kata Syawal kepada detikJatim.
Intinya, ada puluhan ribu harapan yang digantungkan di jembatan yang telah berdiri 15 tahun itu. Alangkah meningkatnya produktivitas warga yang ada di 2 kecamatan itu ketika jembatan itu bisa dilewati kendaraan roda empat hingga kendaraan angkutan barang.
Jembatan Baja Joko Sukoyo
Upacara kemerdekaan Republik Indonesia telah usai, tapi kamis siang itu suasana di lapangan Desa Siliragung ramai dengan barisan pasukan TNI Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Satu regu berseragam kepolisian juga tampak berbaris rapi diiringi barisan perangkat desa hingga siswa berbagai jenjang dan masyarakat umum.
Dipimpin komandan upacara Irdam V Brawijaya Brigjen TNI Ramli, upacara berlangsung khidmat. Hari itu menjadi purna tugasnya ratusan prajurit TNI yang mengemban misi TNI Manungal Membangun Desa (TMMD) ke-125 di bawah komando kodim 0825 Banyuwangi. Sebulan penuh, ratusan prajurit TNI itu bahu-membahu bersama masyarakat Kecamatan Siliragung dan Bangorejo mewujudkan mimpi akses jembatan yang lebih baik.
Dengan semangat Gotong Royong, ratusan Prajurit TNI yang tergabung dalam tema besar Semangat TMMD ‘Mewujudkan Pemerataan Pembangunan dan Ketahanan Nasional di Wilayah’ telah berhasil menuntaskan misi 100% mulai dari misi pembangunan fisik hingga non fisik.
Tidak hanya jembatan itu saja, selama sebulan penuh ratusan orang prajurit TNI bahu membahu membangun sejumlah infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat mulai dari MCK, Jalan umum, Gapura, hingga Rumah Tinggal Layak Huni.
Inspektur Daerah Militer (Irdam) V Brawijaya Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI Ramli usai upacara penutupan memantau langsung jembatan yang telah dibangun dengan semangat Gotong Royong di Desa Siliragung. Dia kagum dengan hasil kerja keras prajurit-prajurit TNI yang memberikan peninggalan vital bagi kepentingan aksesibilitas publik. Konstruksi bangunan jembatan itu sangat berkualitas meski anggaran TMMD terbatas.
“Ini sangat bagus bisa membantu aksesibilitas transportasi khususnya ketahanan pangan. Karena dulunya hanya bisa dilalui sepeda motor, Insyaallah sekarang mobil sudah bisa lalu lalang untuk menggeser hasil panen. Semua itu dikerjakan bersama masyarakat, kembali ke masyarakat, kalau masyarakat ingin lebih awet, maka pemanfaatannya sesuai kapasitas yang disampaikan oleh petugas atau pamong desa setempat,” kata Ramli.
Hal ini selaras dengan apa yang ditargetkan Pemkab Banyuwangi. Sebelumnya, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani berharap TMMD ke-125 bisa memberikan manfaat besar bagi perubahan taraf hidup dan ekonomi masyarakat Siliragung dan sekitarnya. Untuk mendukung program yang memberikan ruang keterlibatan masyarakat secara aktif itu Pemda menggelontorkan anggaran Rp 1,9 miliar.
“Kami sangat mendukung program ini, karena ini juga nanti akan berdampak pada fasilitas Masyarakat dan kebermanfaatannya bagi masyarakat Banyuwangi. Yang tak kalah penting, semangat gotong royong menjadi salah satu budaya masyarakat Banyuwangi yang kian dihidupkan kembali,” terang Ipuk usai pembukaan TMMD ke-125.
Banyuwangi, menjadi salah satu Kabupaten paling ujung timur di Pulau jawa yang tak lagi memiliki desa tertinggal. Meski demikian, TMMD menjadi media menampilkan potret kecil Indonesia yang bersatu dalam berbagai latar belakang. Dimana, TMMD menjadi wadah yang kian menyatukan seluruh stage holder di Banyuwangi.
“Ini adalah bentuk Gotong Royong yang sangat lengkap, di mana hadir di sana TNI-Polri, Pemda, Masyarakat, dan tokoh-tokohnya memperlihatkan kita bisa hebat karena bersama. Jadi, di sinilah tidak ada egosentris siapa yang paling berperan tapi sema punya peran dalam program TMMD ini,” kata Ipuk kepada Satgas TMMD.
Filosofi itu pula yang kental terasa pada pelaksanaan TMMD ke-125 di Banyuwangi, tak ada satu pun kegiatan yang tak melibatkan masyarakat secara sukarela. Laki-laki ikut membangun, perempuan menyiapkan bekal dan aneka makanan, anak-anak tak segan datang memberi semangat kepada prajurit-prajurit TNI yang bermandikan peluh.
![]() |
Komandan Kodim 0825 Banyuwangi yang sekaligus sebagai Komandan Satuan Tugas TMMD ke-125 Banyuwangi Letkol Arh Joko Sukoyo menegaskan, satuan tugasnya tidak datang untuk memberi beban bagi warga, tapi datang sebagai solusi. Gotong Royong dengan melibatkan warga murni dilakukan secara sukarela.
Ketika alat-alat berat mulai masuk desa dan pembongkaran sejumlah infrastruktur dimulai, warga desa dengan berbagai peralatan pertukangan sederhana datang membantu dan berlanjut hingga berhari-hari mereka tak segan membantu selama 1 bulan penuh.
“Kami semua memulai pekerjaan dengan pembagian tugas di pos masing-masing dan jembatan ini memang menjadi fokus utamanya, tapi, bukan cuma di Jembatan ini, di semua pekerjaan masyarakt dengan semangat gotong royong sukarela bekerja bersama kami,” kata Letkol Joko.
Yang membuatnya semakin kagum, dalam proses pembongkaran jembatan lama dia dikagetkan dengan datangnya 1.000 takir (nasi bungkus daun pisang) dari masyarakat secara sukarela. Satu warga membawa satu takir lalu duduk bersila bersama memanjatkan doa menyaksikan pembongkaran Jembatan yang dilanjutkan peletakan batu pertama fondasi.
“Ini yang membuat saya kagum, kearifan lokal masyarakat Banyuwangi yang telah menyatu dengan adat dan budaya dalam kehidup sehari-hari mereka. pada prosesi doa bersama pembongkaran jembatan, warga datang berbondong-bondong bawa takir semuanya sampai 1.000 takir. Kami semua sempat menitikkan air mata haru atas antusias warga yang luar biasa,” cerita Letkol Joko dengan mata berbinar.
Batu demi batu telah disusun menopang sisi selatan dan utara jembatan penghubung 2 kecamatan itu hingga fondasi menjulang setinggi 6,25 meter. Proses pembangunan itu kerap didera hujan deras dan panas matahari mencapai 38 derajat celsius. Tapi siang dan malam ratusan Prajurit itu terus melakukan pembangunan demi mencapai tujuan.
Hingga hari ke-31, sarana penyambung asa itu pun berdiri kokoh. Warga menamai jembatan baja itu dengan nama Joko Sukoyo, Sang Komandan Satgas TMMD ke-125. Nama yang mereka nilai membawa keberuntungan, memberi sinar pengharapan bagi hidup baru yang lebih sejahtera.
Sementara jalan kampung yang tadinya tanah berdebu dengan bebatuan krikil, kini telah rapi beralas paving dan dinamai Jalan Manunggal Gimawang. Nama jalan itu diambil dari nama tokoh Panji Gimawang, seorang putra raja yang memilih hidup mengabdi pada rakyat dan meninggalkan kemewahan istana demi berjuang merubah taraf hidup rakyatnya.
Kata ‘manunggal’ disematkan sebagai wujud menyatunya TNI bersama Rakyat dalam membanun Desa. Balutan adat, budaya hingga cerita rakyat, menyempurnakan kisah perjalanan berdirinya Jembatan dengan panjang 18 meter dengan lebar 3,5 meter itu.
Kamis (21/8/2025) sebagai puncak suka cita seluruh warga di 3 Desa yang terletak di Kecamatan Siliragung dan Bangorejo itu, mereka memiliki Jembatan penghubung yang bisa dilintasi bukan hanya mobil tapi juga truk pengangkut aneka hasil panen.
Tak ada lagi imron yang harus menghabiskan berbatang-batang rokok menanti putranya di ujung jembatan, tak ada lagi bocah-bocah kecil yang menerjang deras arus sungai. Tak ada lagi syawal yang harus kehilangan lebih banyak BBM demi hasil panen.
Pembangunan Non Fisik
Semangat TMMD ke-125 di kecamatan Siliragung tidak lantas berakhir dengan berakhirnya misi TMMD. Pembangunan fisik memang telah tuntas, namun pembangunan non fisik masih berkelanjutan dalam bentuk pendampingan kebangsaan dan perawatan infrastruktur yang dilanjutkan oleh Pemkab Banyuwangi.
Membangun mental tangguh bagi warga Siliragung dan menjadikan semangat Gotong Royong sebagai budaya terus dijaga lewat program pembinaan yang dilakukan oleh Babinsa dan perangkat desa setempat.
Di tengah pertumbuhan pembangunan di Banyuwangi yang pesat hingga ke pelosok Desa, Komandan Korem 083 Baladika Jaya Kolonel (Inf) Kohir yang juga penanggung jawab keberhasilan operasi TMMD mengacungi jempol atas kerja seluruh kesatuan Kodim 0825.
Dia menganggap kinerja Kodim menemukan Desa Kesilir, Kecamatan Siliragung sebagai wilayah terget pembangunan fisik maupun non fisik bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Satgas TMMD Banyuwangi membuktikan bahwa sinergitas pemerintah daerah dengan TNI bisa mewujudkan mimpi masyarakat yang tertinggal.
“Saya sudah mengikuti TMMD sangat lama dan merasakan menjadi Dansatgas juga pernah. Saya melihat dari lokasi pemilihan TMMD ini lebih baik daripada daerah lainnya, karena pertama daerah yang betul-betul dirasakan kesulitan oleh masyarakat dan dibutuhkan pekerjaan-pekerjaan fisik maupun non fisik untuk menjawab kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
“Seperti jembatan, sudah puluhan tahun jembatan itu ada tetapi tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda 4. Sekarang masyarakat bersuka cita merasakan bagaimana hasilnya. Air melimpah tapi tirai ada sarana untuk menyalurkannya dan sejumlah ruas jalan desa yang rusak, ditambah mesih ada masyarakat yang tinggal di rumah kurang layak,” tegas Kohir.
![]() |
Yang tak kalah penting menurut Kohir, harmoni di kecamatan tersebut kian terbangun. Melalui kegiatan gotong royong masyarakat kian direkatkan, melalui kegiatan sosial pembangunan Rutilahi dan MCK kian kental rasa kepedulian pada sesama, melalui wawasan kebangsaan yang diberikan lewat pengajian tahlil rutin warga dan posyandu kian menumbuhkan rasa cinta pada tanah air.
“Kami pastikan, pembangunan non fisik di kecamatan ini terus berlanjut,” tambah Kolonel Kohir.
Sementara itu, Sekda Banyuwangi Guntur Priambodo menyebutkan bahwa proses perawatan Jembatan secara legal telah diurus dan akan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
“Tadi sudah diserahkan hasil dari pekerjaan TMMD ini dan tentunya dari pemerintah daerah nanti akan mendapatkan perawatan daripada pemkab Banyuwangi dengan SKPD masing-masing di PU CKPP dan ada yang di Dinas PU Pengairan,” kata Guntur.
Geliat kehidupan Desa Kesilir Kecamatan Siliragung kian dinamis dan penuh semangat, disambut dengan Gapura TMMD ke-125 Kodim 0825 Banyuwangi. Jalan Manunggal Gimawang menuju Jembatan Joko Sukoyo pun kian sibuk.
Sejak diresmikan, tercatat 5 truk dan lebih dari 10 kendaraan roda 4 melintas mengangkut sejumlah produk pertanian serta aktivitas sambang pesantren dalam sehari. Wajah-wajah ceria anak-anak desa kesilir menghias setiap berangkat dan pulang sekolah.
Selain itu, kondisi sungai kian bersih menyisakan jembatan bambu kecil sebagai sarana bermain di bawah jembatan yang teduh. Warga Kecamatan Siliragung dan Bangorejo bangkit kian produktif membangun desa merajut asa.

(dpe/abq)