Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Kisah Pengantin Baru Terpisah Selamanya di Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya

kisah-pengantin-baru-terpisah-selamanya-di-tragedi-kmp-tunu-pratama-jaya
Kisah Pengantin Baru Terpisah Selamanya di Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya
Banyuwangi

Cinta Febriyani dan Firyani belum sempat tumbuh lebat. Mereka baru 12 hari menyandang status sebagai suami istri. Namun takdir berkata lain. Selat Bali merenggut kebersamaan mereka saat KMP Tunu Pratama Jaya tenggelam dan memisahkan dua hati yang masih hangat-hangatnya saling mencinta.

Hari itu, Rabu (2/7/2025), Made, kakak Febri, masih mengingat jelas bagaimana sang ibu tampak berat melepas kepergian sang adik dan istri. Hati seorang ibu seperti menolak, ingin menahan, seakan tahu ini bukan perjalanan biasa.

“Adek kan sudah 1 bulan tidak kerja karena persiapan pernikahan dan sampai menikah itu. Jadi gak enak sama bosnya kalau gak kerja lebih lama lagi,” kata Made kepada detikJatim, Senin (7/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Siang itu, peluk terakhir sang ibu menjadi isyarat yang baru dipahami kemudian. Made juga tak menyangka, percakapan sederhana dengan adik iparnya, Yani, akan jadi obrolan terakhir mereka. Tak ada firasat buruk.

“Kalau ibu kan pengennya adik ini ndak berangkat dulu karena belum 40 hari. Begitu kan mbak umumnya, adatnya di sini itu gitu,” tambahnya.

Namun, Febri dan Yani tetap berangkat ke Pulau Dewata untuk mengadu nasib dengan menumpang travel dari Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi. Travel itu membawa keduanya menuju ke Pelabuhan Ketapang.

Mereka berangkat dari Ketapang ke Gilimanuk, Bali, sekitar pukul 22.35 WIB. Namun nahas, KMP Tunu Pratama Jaya yang ditumpangi keduanya tenggelam di Selat Bali.

“Itu adik naik travel, malahan pas di kapal itu ya dia bikin story foto laut sama memperlihatkan kepala istrinya aja itu, ndak ada tulisan apa-apa,” terang Made.

Pada hari kedua pascakejadian, Febri baru mau bercerita tentang apa yang terjadi di malam nahas itu. Sebelumnya, Febri tampak seperti orang linglung, tak banyak bicara. Wajah cerianya mendadak lenyap, tatapannya kosong.

“Adik itu seperti orang berbeda sudah, waktu hari pertama itu dengar kabar selamat saya datangi ke Gilimanuk itu kayak ndak kenal sama saya. Pas saya peluk itu baru dia nangis kencang badannya bergetar gitu saya peluk,” ungkap Made.

Dalam ceritanya, Febri menggambarkan malam di atas kapal sebagai malam yang tenang. Laut Bali tampak damai. Hembusan angin dan ayunan kapal justru menambah romantis suasana bagi pasangan baru seperti mereka. Tak ada firasat apa-apa.

Namun suasana romantis di antara ayunan gelombang laut Bali sontak berubah jadi kepanikan ketika teriakan ‘kapal bocor’ terdengar menggema entah darimana sumbernya. Seluruh penumpang kebingungan, mencari tempat untuk menyelamatkan diri dan berebut pelampung.

Febri sempat mendapat dua rompi, satu untuknya, satu lagi untuk Yani. Ia peluk istrinya, ia kecup keningnya. Lalu menggenggam tangan Yani erat-erat. Hanya berselang 1 menit dari kepanikan, kapal mulai oleng, Febri mengajak istrinya untuk melompat.

“Nah, setelah mereka pakai pelampung itu, mereka katanya lompat menyelamatkan diri,” lanjut Made.

Sang istri tampak ketakutan dan ragu untuk melompat. Febri mencoba meyakinkan sang istri dengan terus memeluk dan menggenggam erat tangan sang istri.

Namun takdir berkata lain. Tubuh Yani terbentur sisi kapal yang miring. Ia terluka di bagian kanan. Saat di dalam air, Febri memeluknya lagi. Tapi arus laut tak memberi mereka waktu. Dalam hitungan menit, pusaran air menarik tubuh mereka ke dalam.

Saat itulah, pelukan Febri dan Yani terlepas. Mereka terpisah dan hanya saling pandang dalam tipis cahaya penglihatan dengan mata telanjang di tengah gelap lautan bali yang mencekam. Tak terdengar suara teriakan sang istri, hanya sayup kata sayang sesaat lalu lenyap keduanya hilang tenggelam.

Sekuat tenaga, Febri berjuang melawan gelombang air yang menggulung dan menyeretnya kian dalam. Ia berenang ke atas, menghindari arus yang menyeret. Saat berhasil sampai di permukaan, matanya mencari, telinganya menunggu panggilan. Tapi tak ada yang menjawab.

“Adek itu teriak-teriak, berenang berkeliling manggil-manggil istrinya itu,” ucap Made.

Hampir 30 menit Febri menyisir area sekitar lokasi kejadian. Tubuhnya makin lemas, tenaga terkuras habis. Di kejauhan, ia melihat perahu karet mengapung. Tanpa pikir panjang, ia mengayuh lengannya sekuat tenaga, berenang menuju perahu itu dan naik bersama sejumlah penumpang yang selamat.

Di atas perahu karet yang terombang-ambing di lautan, suasana sunyi membeku. Ketakutan membungkam semua. Tak ada suara. Tak ada tangis. Hanya tatapan kosong dan tubuh yang gemetar mencoba bertahan.

Dalam hati, Febri yakin bukan hanya dirinya yang tenggelam dalam kecemasan. Semua orang di atas perahu itu pasti sedang bertarung dengan pikirannya sendiri, memikirkan nasib orang-orang tercinta yang mungkin juga terpisah oleh maut KMP Tunu Pratama Jaya.

“Naik perahu karet itu adek, tapi istrinya ndak ketemu waktu itu. Hampir 5 jam apa ya, baru sampai ke pinggir itu dibantu sama nelayan,” tutur Made.

Febri dievakuasi ke Pantai Cekik pada Kamis siang (3/7/2025). Ia diberi pakaian kering oleh warga, lalu dibawa tim SAR ke Pelabuhan Gilimanuk.

Dua jam selang ia tiba di Gilimanuk, kabar kematian istrinya yang diketemukan dalam keadaan meninggal membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.

Ada luka terbuka di bagian tubuh kanan Yani, diduga akibat benturan pada badan kapal ketika melompat ke lautan. Febri hanya bisa memandangi jasad sang istri. Wanita yang dulu setia saat merantau, kini terbujur kaku. Sepasang kekasih yang baru 12 hari menikah itu, kini sudah terpisah dunia.

“Mereka ini sudah lama pacaran, saling cinta, Yani ini yang sangat peduli sama adik saya waktu merantau di Bali. Akhirnya mereka menikah, baru 12 hari sudah terpisah,” beber Made.

Kini tugas Made menjaga kondisi mental sang adik. Ia tak ingin Febri larut dalam duka. Ia ajak Febri keluar rumah, bicara, mengalihkan pikiran dari luka yang belum juga kering.

Di tengah luka mendalam itu, Made tetap bersyukur. Setidaknya, adiknya selamat. Dan sang adik ipar yang kini hanya tinggal nama, masih sempat dipulangkan, dimakamkan, dan diberi penghormatan terakhir.

20D

(auh/hil)