Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Krisis Iklim Hantui Jaring Harapan Penyambung Hidup Anak-anak Pesisir Muncar

Detik.com



Banyuwangi

Tangan mungil Riko Kurniawan (12) menari di atas tempayan anyam bambu di hamparan bedeng penjemuran ikan Asin Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Dusun Sampangan, Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Siang itu matahari di langit Muncar bersinar terik menyengat kulit.

Kedua tangan bocah kelas 6 Sekolah Dasar (SD) ini lihai membalik tempayan bambu yang berisi ikan asin basah. Cara itu dilakukan agar bakal ikan asin bisa kering sempurna dan tidak lengket saat diangkat. Sesekali Riko membetulkan caping bambunya yang miring karena ukuran caping itu memang untuk kepala orang dewasa.

Riko tidak sendiri. Dia membantu ibunya, Rahmi menjemur ikan asin. Rahmi, sosok perempuan tangguh yang kini seorang diri membesarkan ketiga anaknya. Suaminya meninggal dunia ketika Riko masih duduk di bangku kelas 4 SD

Bedeng itu adalah ladang bermain Riko sepulang sekolah, biasanya ia ditemani saudara kembarnya Riki Kurniawan. Namun, hari itu Riki tinggal di rumah untuk mengerjakan tugas sekolah.

Hamparan bedeng bambu penjemuran ikan dengan luas sekitar 250 meter persegi itu adalah tempat di mana Riko menghabiskan waktu hingga sore hari bersama ibu dan adiknya. Sehari Ibu Riko mendapatkan upah sekitar Rp 40 ribu. Sedangkan Riko, peluh keringatnya cuma diganjar dengan uang jajan sekolah. Tak seberapa besar nilainya, tapi momen membantu ibunya lebih berharga dari apapun.

“Setiap pulang sekolah bantu ibu di sini, saya pengen jadi tentara,” celoteh Riko dengan senyum malu saat berbincang dengan detikJatim, Rabu (30/8).

Di lokasi bedeng penjemuran yang berbeda, Sandi (20), sibuk membolak-balik tempayan bambu berisi ikan teri dan ikan asin basah. Dengan berjongkok di bawah terik matahari, Sandi sibuk merapikan ikan-ikan yang nyaris kering di tempayan bambu anyam.

Sandi adalah seorang bapak muda dengan 1 orang anak. Ia membantu bisnis produksi ikan asin milik ayahnya.

“Ini mata pencaharian kami. Bapak sudah tua, tentu saya harus bantu beliau untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga untuk anak dan istri saya juga,” kata Sandi.

Sementara Sunarno (55), sudah lebih dari 20 tahun hidupnya sebagai nelayan bergantung dari hasil laut Muncar. Kedua anaknya juga mengikuti jejaknya mengarungi lautan, mencari ikan agar tetap bisa makan. Dari jaring Sunarno, keluarganya menaruh harapan.

“Dua anak saya juga bergantung hidup dari hasil laut untuk keluarganya,” tutur Sunarno.

Nelayan muncarRiko Kurniawan (kanan) bersama ibunya, Rahmi menjemur ikan asin di TPI Muncar, Banyuwangi. Foto: Eka Rimawati/detikJatim

Sedihnya, dari tahun ke tahun hasil tangkapan ikan di laut Muncar kian menipis. Dua hingga tiga tahun lalu, Sunarno masih bisa membawa pulang penghasilan hingga Rp 1 juta per hari. Tapi tahun ini ikan makin susah hinggap di jaring mata pencahariannya.

Sunarno harus berjuang lebih keras. Berlayar hingga belasan mil lebih jauh dari tahun-tahun sebelumnya supaya bisa dapat ikan. Namun, itupun tak pasti. Kadang kala Sunarno pulang dengan tangan kosong.

“Tahun ini makin parah, sekali berlayar itu ongkosnya minim Rp 200 ribu, tapi hasil tangkapan kadang itu dijual hanya dapat Rp 140 ribu. Bukan untung, malah rugi,” ujar Sunarno yang terlihat tak bisa menyembunyikan raut muram di wajahnya.

“Kalau begini terus, bagaimana nasib anak-anak saya yang juga melaut untuk keluarganya? Padahal ya di laut ini penghidupan kami,” imbuhnya.

Pelabuhan Muncar merupakan pelabuhan nelayan penghasil ikan terbesar di Jawa Timur. Nutrisi hasil laut banyak dipasok dari laut muncar. Sejumlah perusahaan besar berdiri di sini. Salah satunya adalah perusahaan pengalengan ikan sarden. Lemuru menjadi komoditas primadona di Muncar yang juga merupakan sumber Omega 3 yang baik.

Namun, krisis iklim mengubah segalanya. Masa depan lebih dari 500 anak di pesisir Muncar dihantui oleh merosotnya hasil laut yang berdampak pada banyak sektor kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial hingga kesehatan.

Ketua DPC Himpunan Nelayan seluruh Indonesia (HNSI) Banyuwangi Hasan Bisri mengungkapkan, di tahun 80-an nelayan muncar tidak perlu melaut hingga bermil-mil jauhnya. Di perairan Muncar saja sudah bisa untuk hidup, namun sekarang mereka harus melaut hingga perairan Kalimantan.

“Dulu masih ada gerombolan-gerombolan ikan Lemuru yang menjadi primadonanya masyarakat atau nelayan Muncar ketika tahun 80-an. Lama-kelamaan sumber daya ikannya itu semakin menghilang, menjauh, sampai sekarang tidak ketemu di mana tempatnya,” terang Hasan.

Menurut Hasan, krisis iklim menjadi faktor utama menghilangnya ikan Lemuru dari perairan Muncar. Faktor lainnya adalah over fishing, kepadatan alat tangkap, dan eksploitasi penangkapan ikan tanpa memilah ikan yang layak untuk dibawa pulang.

“Bayangkan, setiap hari, setiap malam kolam selat Bali ini diambil ikannya siang dan malam. Ini kurang disadari oleh masyarakat, tentunya untuk mengambil ikan tetap yang berkualitas secukupnya agar kualitasnya baik, harganya juga baik,” ungkapnya.

Nelayan muncarRiko Kurniawan (kanan) bersama ibunya, Rahmi menjemur ikan asin di TPI Muncar, Banyuwangi. Foto: Eka Rimawati/detikJatim

Hasan khawatir, kondisi ini kian mengancam hidup nelayan Muncar beserta para pewarisnya. Pengangguran kian meningkat, lapangan pekerjaan juga sulit. Sementara dari laut, anak-anak Muncar bisa mendapatkan mata pencaharian, anak-anak bisa sekolah dengan layak, dan gizi mereka terpenuhi dengan baik.

Ia berharap pemerintah bisa bekerja sama dengan nelayan untuk mengantisipasi makin parahnya dampak krisis iklim terhadap laut Muncar. Dia ingin ada penelitian yang lebih serius agar segera menemukan solusi.

“Tolong ada penelitian, entah dari universitas atau lembaga-lembaga atau juga pemerintah untuk mencari tahu penyebabnya dan diberikan sosialisasi serta edukasi ke masyarakat nelayan agar bisa membudayakan melaut yang ramah. Demi masa depan anak-anak semuanya, demi negeri ini juga. Misal tanam terumbu karang, bakau, penyebaran benih gitu,” ucap Hasan.

Krisis iklim global yang dibarengi dengan eksploitasi hasil laut secara sporadis tentu memberi ancaman serius bagi keberlangsungan perikanan Indonesia, khususnya pesisir Muncar. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jatim memotret secara umum dampak perubahan iklim di pesisir Jawa Timur (Jatim).

Direktur WALHI Jatim Wahyu Eka Setyawan menyebut, penyebab utama menurunnya hasil tangkapan ikan karena adanya peningkatan suhu di permukaan laut. Sehingga, sejumlah ikan tidak mampu berkembang biak dengan baik lantaran tidak mampu beradaptasi dengan kondisi laut yang terus mengalami peningkatan suhu. Sepanjang abad ke-20, terutama dari tahun 1901 sampai 2020 permukaan laut suhunya mencapai 0,14 derajat fahrenheit. Jika dicelsiuskan, suhunya mencapai sekitar 0,1 atau 0,2 celcius dan terus meningkat setiap tahunnya.

“Peningkatan suhu juga paparan langsung dari sinar UV matahari ini bagian dari dampak perubahan iklim, terutama di level laut. Pemutihan dari terumbu karang atau coral bleaching ini berpengaruh pada bagaimana terumbu karang ini rusak. Padahal terumbu karang ini adalah rumah dan makanan ikan dan itu salah satu penyebab penurunannya,” papar Wahyu.

“Meskipun ada faktor lain, seperti penggunaan cantrang yang merusak terumbu karang ataupun praktik illegal fishing seperti bom ikan dan ini juga secara tidak langsung juga berpengaruh pada kondisi ataupun situasi nelayan, terutama nelayan-nelayan pada kapal kecil ataupun nelayan nelayan jukung dan juga nelayan pinggir pantai yang mengalami penurunan hasil tangkapan,” sambungnya.

Nelayan muncarRiko Kurniawan (kanan) bersama ibunya, Rahmi menjemur ikan asin di TPI Muncar, Banyuwangi. Foto: Eka Rimawati

Lebih lanjut Wahyu menegaskan, untuk memperlambat dampak perubahan iklim yang kian dirasakan oleh masyarakat pesisir, harus dimulai dari kebijakan di tingkat pusat dan daerah. Yakni kebijakan yang berorientasi pada pemulihan ekosistem serta berorientasi pada kesejahteraan dari nelayan.

“Harus ada semacam asesmen kawasan yang mana wilayah pantainya itu habis dan mana wilayah yang pantainya ini masih bagus, kalau wilayah mangrovenya ini habis di suatu wilayah karena alih fungsi memang harus ditinjau ulang dan dipulihkan kembali jangan sampai kawasan pesisir ini yang tadi sea level rise-nya tinggi, mulai meningkat tajam abrasi mulai terjadi di mana-mana,” Wahyu menyarankan.

Selain itu, perlu ada rehabilitasi penanaman mangrove dan terumbu karang. Serta tak lupa memperketat dan mempertegas larangan menangkap ikan secara ilegal demi melindungi nelayan tradisional.

Menurut Wahyu, ancaman yang menghantui masyarakat pesisir ini cukup nyata. Dalam 10 hingga 20 tahun ke depan anak-anak akan kehilangan sumber nutrisi penting dari laut, bahkan bisa jadi kehilangan kesempatan menikmati hasil laut yang pernah berlimpah di Negeri Bahari ini.

“Kalau tidak segera diambil langkah revitalisasi atau pencegahan itu, maka 10 tahun mendatang mungkin masih ada, tapi jenis ikan yang akan kita temui mungkin itu-itu saja, bahkan mungkin sudah tidak lagi menemui kerapu, cumi-cumi. Diversifikasi pangan di sektor laut kita akan menurun dan itu juga akan berimplikasi pada pemenuhan gizi kita ke depan, kebutuhan nutrisi dari masyarakat kita ini akan terancam dan kalau kita bicara soal upaya untuk melawan stunting, salah satu sumber protein paling besar memang di laut. Ke depan kita tidak bisa melihat jenis ikan sebagai sumber gizi anak cucu kita,” sebut Wahyu.

Riko Kurniawan hanya satu dari ratusan anak pesisir Muncar yang menggantungkan masa depan pada jaring para nelayan. Cita-cita, hak hidup layak, dan mendapatkan gizi yang baik terancam terus dihantui oleh krisis iklim global yang menyeret laut Muncar.

Dalam laporan Unicef ‘The climate Crisis is a Child Rights Crisis’, diprediksi 820 juta anak di dunia berisiko dilanda gelombang panas dan 400 juta anak-anak lainnya hidup di wilayah rawan badai siklon. Lalu, bagaimana dengan anak-anak pesisir Muncar? Jika krisis iklim ini dianggap angin lalu, harapan anak-anak itu untuk mengenyam pendidikan tinggi dan jaminan ekonomi di masa depan bisa saja terenggut tanpa ampun.

Simak Video “Panas Esktrem, Lapangan Sepakbola di London Kayak di Afrika
[Gambas:Video 20detik]
(dte/dte)

source