Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Masalah Hilal dan Penentuan Awal Puasa

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

KINI kita memasuki bulan Ramadan, tapi dalam penentuan awal puasa tahun 1433 H ini, dimungkinkan (juga kemungkinan) akan terjadi perbedaan. Ketika tulisan ini dibuat, belum ada kepastian mau pun keputusan kapan awal puasa dimulai, hari ini, besok atau lusa.

Banyak para ahli memperkirakan, kalau tahun kemarin perbedaannya terjadi pada akhir Ramadan, tahun ini perbedaannya bisa jadi terjadi pada penentuan awal puasanya. Hal ini bisa dipahami, karena menurut perhitungan sebagian data hisab irtifa’u hilal dengan metode tahqiqiitu kurang dari 2 derajat.

Contohnya data kitabSulamun Nayyiroin yang menggunakan metode taqribiini awal puasanya pada hari Jumat 20 Juli 2012 dengan if-tifa’u hilal 4 derajat lima menit, sedangkan data yang menggunakan metode kontemporer awal puasanya pada hari Sabtu 21 Juli 2012. Dari data itu kemungkinan besar akan ter jadinya perbedaan penentuan awal puasa.

Muhammadiyah telah membuat maklumat penetapan 1 Ramadan 1433 dan mengumumkan bahwa puasa tahun ini dimulai pada hari Jumat 20 Juli 2012. Hal ini berdasar hasil sidang Tanwir Muhammadiyah di Bandung (Jawa Pos26 Juni 2012 hal 1). Sedangkan Nahdlatul Ulama dan pemerintah kemungkinan masih menunggu hasil ru’yah dari berbagai tempat.

Persoalan Klasik yang Aktual Perbedaan dalam menentukan awal bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah ini merupakan permasalahan yang klasik namun selalu aktual. Klasik karena sejak awal Islam sudah mendapatkan perhatian dan pemikiran yang cukup mendalam dan serius dari para pakar hukum Islam.

Mengingat hal ini berkaitan erat dengan salah satu ibadah sehingga melahirkan se jumlah pendapat yang bervariasi. Di ka takan aktual karena hampir di setiap tahun terutama menjelang bulan puasa dan bulan Syawal. Persoalan ini selalu me ngundang polemik berkenaan dengan pengaplikasian pendapat tersebut sehingga nyaris mengancam persatuan dan kesatuan umat.

Akar permasalahan itu adalah perbedaan pendapat dalam memahami salah satu hadis Rasulullah yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Abu Hurairah, yaitu “Shumu liru’yatihi waa ftiru liru’yatihi, fain ghumma ‘alaihi fais tikmaluhu tsalasina yauman”. Berpuasalah kamu karena melihat hilal (tanggal) dan berbukalah karena melihat hilal.

Bila tertutup oleh mendung maka sempur nakanlah bilangannya tiga puluh hari. (Shahih Bukhori, Darul Ihya’ al-Arabiyah tt hal 327). Menurut Syaikh Syihabuddin Qulyubi da lam Hasyiyah Minhajut Tholibin jilid II menyatakan bahwa hadis tersebut mengandung interpretasi yang beragam di antaranya :
1) Perintah berpuasa berlaku atas semua orang yang melihat hilal dan tidak berlaku atas orang yang tidak melihatnya.
2) Melihat di sini dengan mata. Ka renanya, ia tidak berlaku atas orang buta (matanya tidak berfungsi).
3) Melihat (ru’yah) secara ilmu bernilai mutawatir dan merupakan berita dari orang yang adil.
4) Nash tersebut mengandung juga makna dhansehingga mencakup ramalan dalam nujum(astronomi).
5) Ada tuntutan puasa manakala sudah ada kepastian hilal su dah dapat dilihat.
6) Ada kemungkinan hilal sudah wujud sehingga wajib puasa, wa laupun menurut ahli astronomi belum ada kemungkinan hilal dapat dilihat.
7) Perintah ha dis tersebut ditujukan kepada kaum mu slimin secara menyeluruh. Namun, pelaksanaan ru’yahtidak diwajibkan ke-pada seluruhnya bahkan mungkin hanya per seorangan.
8) Hadis ini mengandung mak na berbuka puasa.
9) Ru’yahitu ber laku terhadap hilal Ramadan dalam kewajiban berpuasa, tidak untuk ifthor-nya (berbuka).
10) Menutup pandangan ditentukan hanya oleh mendung bukan selainnya.

Berawal dari perbedaan itu, lahirlah dua maz hab besar: Pertama, mazhab ru’yah. Menurut mazhab ini penentuan awal dan akhir bulan Ramadan ditentukan ber dasar ru’yah atau melihat bulan yang dilakukan pada hari ke-29 bulan Sya’ban untuk menentukan awal puasa dan hari ke 29 bulan Ramadan untuk me nentukan akhir puasa atau awal bulan Syawal.

Apabila ru’yahtidak berhasil baik posisi hilal memang belum dapat dilihat maupun karena terjadi mendung, maka pe netapan awal bulan harus berdasar is-tikmal(menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari). Sehingga menurut mazhab ini ru’yahdalam hadis-hadis hisab ru’yahadalah bersifat taabbudi ghoiru ma’qul al makna.

Bahwa hal terebut tidak dapat dirasionalkan pengertiannya sehingga tidak dapat diperluas dan tidak dapat dikembangkan. Dengan demikian ru’yah hanya diartikan sebatas melihat de ngan mata kepala (mata telanjang tanpa alat). Mazhab ini dipegangi oleh Nahdlatul Ula ma dan Departemen Agama. (Ahmad Izzudin; fiqih hisab Ru’yah, Erlangga 2007).

Kedua, mazhab hisab, yaitu penentuan awal dan akhir bulan Qomariyah berdasar perhitungan falak. Menurut mazhab ini ru’yahdalam hadis-hadis hisab ru’yah ada lah bersifat taaqquli ma’qul al makna. Mengandung pengertian bahwa hal ini dapat dirasionalkan diperluas, dan dikembangkan pengertiannya, sehingga ia dapat diartikan mengetahui sekalipun bersifat dzanni (dugaan Kuat) tentang adanya hilal kendatipun hilal berdasar hisab falaki tidak mungkin dapat dilihat.

Mazhab ini yang menjadi patokan untuk menentukan awal bulan bagi organisasi Muhammadiyah. Selain itu ada kelompok masyarakat tertentu yang menggunakan metode sendiri dalam menentukan awal maupun akhir Ramadan seperti pesantren Mahfilu Duror, Desa Suger Kidul, Kecamatan Jelguk, Kabupaten Jember, yang dipimpin KH. Ali Wafa Kaun Thariqat Naqsabandiyah dan Syattariyah di Sumatera Barat, komunitas An-nadzir di Gowa Sulawesi Selatan.

Mereka sering menentukan awal dan akhir Ramadan berbeda dengan ma sya rakat pada umumnya. Ada juga yang menggunakan standar penentuan awal dan akhir bulan pada kota Makkah atau sering disebut matla’ globalyang artinya jika kota Makkah, Arab Saudi, sudah ter lihat hilal maka seluruh dunia juga sudah masuk awal bulan.

Dengan banyaknya perbedaan dalam penentuan awal bulan itu membuat sebagian ma syarakat resah dan membingungkan ma syarakat awam. banyak pakar ilmu falak dan astronomi mencoba telah men cari formula yang terbaik untuk me nya tukan perbedaan tersebut, akan tetapi sampai sekarang hasilnya belum bisa dira sakan.

Pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, juga sudah berupaya mengakomodasi semua mazhab, namun da lam tatanan realitas masing-masing ma sih mengeluarkan keputusan sendiri-sendiri. Namun demikian kalau tahun ini masih belum bersatu, diharapkan masing-masing kelompok untuk dapat saling menghargai. Dengan begitu umat Islam dapat beribadah di Bulan Suci tahun ini dengan khusyuk, tenang, penuh rahmat dan maghfirah. Wallahu a’lam Bishawab! * Pimpinan Anak Cabang GP Ansor Kecamatan Tegalsar @ radar