Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Menjaga Hulu, Menjaga Sumber Kehidupan

menjaga-hulu,-menjaga-sumber-kehidupan
Menjaga Hulu, Menjaga Sumber Kehidupan

BANYUWANGI, kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dikenal sebagai wilayah dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Salah satu aset terpenting Banyuwangi adalah keberadaan catchment area atau daerah tangkapan air yang mendominasi wilayah hulu.

Selain menjadi sumber utama air bagi masyarakat, daerah tangkapan air ini mendukung sektor kehutanan, perkebunan, dan pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi Banyuwangi. Namun, potensi besar ini menghadapi ancaman serius akibat degradasi lingkungan, eksploitasi yang tidak terkendali, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya fungsi catchment area, terutama beralihnya fungsi lahan. Dalam konteks ini, penegakan hukum menjadi instrumen krusial untuk melindungi daerah tangkapan air demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Banyuwangi.

Daerah tangkapan air di Banyuwangi memiliki peran yang sangat strategis, baik dari segi ekologi, ekonomi, maupun sosial. Pertama, dari segi ekologis, daerah tangkapan air berfungsi sebagai regulator siklus hidrologi. Vegetasi di kawasan ini menyerap air hujan, menyimpan air tanah, dan mengatur aliran air ke sungai-sungai yang menjadi sumber irigasi pertanian. Hal ini mencegah risiko banjir saat musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Dengan kata lain, daerah tangkapan air adalah ”jantung” dari sistem air Banyuwangi.

Keberadaan vegetasi yang sehat di daerah tangkapan air menciptakan sistem terintegrasi yang menjaga keseimbangan ekologis. Saat musim hujan, daerah ini berfungsi menyerap kelebihan air, mencegah limpasan permukaan yang berlebihan, dan mengurangi risiko banjir di wilayah hilir. Sebaliknya, di musim kemarau, air yang tersimpan di tanah dan akuifer bawah permukaan dilepaskan secara perlahan, memastikan ketersediaan air yang stabil untuk kebutuhan domestik, pertanian, dan perkebunan. Dengan menjaga keseimbangan ini, Banyuwangi dapat menghindari situasi bencana ekologis yang semakin kerap hadir belakangan ini.

Kondisi tersebut merupakan bukti nyata dari degradasi daerah tangkapan air. Hilangnya vegetasi di daerah tangkapan air menyebabkan infiltrasi air hujan berkurang drastis sehingga air permukaan mengalir dengan volume tinggi ke wilayah hilir. Akibatnya, kapasitas aliran sungai tidak mampu menampung air hujan, yang berujung pada banjir di daerah permukiman dan lahan produktif. Dengan menjaga daerah tangkapan air, risiko bencana banjir dapat diminimalkan sehingga memberikan perlindungan bagi masyarakat dan infrastruktur lokal.

Dari segi ekonomi, keberadaan air yang stabil dari daerah tangkapan air menjadi penopang utama bagi sektor pertanian dan perkebunan. Banyuwangi dikenal sebagai salah satu penghasil komoditas unggulan seperti padi, jagung, palawija, tebu, kopi, dan kakao. Seluruh aktivitas pertanian ini bergantung pada pasokan air yang konsisten. Tidak hanya itu, air dari daerah tangkapan air juga mendukung sektor kehutanan dan perkebunan swasta maupun milik negara (BUMN), yang selanjutnya memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD).

Dari sisi sosial, keberlanjutan air bersih dari daerah tangkapan air mendukung kebutuhan domestik masyarakat Banyuwangi. Air yang bersih dan berkualitas tinggi menjadi hak dasar yang harus terpenuhi, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa ”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Dasar Hukum dan Kebijakan Daerah Tangkapan Air

Upaya pelestarian daerah tangkapan air di Banyuwangi memiliki landasan hukum yang kuat. Terdapat beberapa undang-undang dan peraturan yang relevan antara lain adalah, pertama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan, termasuk fungsi ekologis daerah tangkapan air. Pasal 9 Ayat (3) menggarisbawahi perlunya pelestarian vegetasi untuk mendukung fungsi lingkungan hidup.

Kedua, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur pengelolaan kawasan hutan yang sering kali menjadi bagian dari daerah tangkapan air. Pasal 4 menyebutkan bahwa hutan memiliki fungsi konservasi, perlindungan, dan produksi yang saling berkaitan.

Ketiga, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, menegaskan bahwa air adalah sumber daya penting yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjaga keseimbangan ekosistem.

Keempat, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) menyatakan bahwa DAS sebagai bagian dari daerah tangkapan air diatur dalam peraturan ini, yang mencakup pelestarian vegetasi dan pengelolaan tata air.

Kelima, Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuwangi Tahun 2024–2044. Pada Pasal 78 huruf a). Bahwa kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan berupa kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi lahan; dan huruf d). Pembatasan alih fungsi tanaman keras menjadi tanaman semusim untuk menjaga fungsi kawasan resapan air sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Amanat RTRW yang mencakup zonasi daerah tangkapan air untuk memastikan keberlanjutan fungsi ekologisnya.

Meski memiliki dasar hukum yang kuat, tantangan utama dalam melindungi daerah tangkapan air adalah lemahnya implementasi dan penegakan hukum. Beberapa alasan utama kenapa penegakan hukum penting adalah untuk mengatasi degradasi lingkungan, melindungi hak masyarakat, meningkatkan kepatuhan pelaku usaha, mendukung ekonomi berkelanjutan, dan mencegah konflik sumber daya. Alasan terakhir menjadi penting karena kebergantungan kita akan sumber daya air sangat tinggi terutama bagi masyarakat Banyuwangi yang notabene mayoritas berprofesi sebagai petani. Potensi konflik horizontal amat mungkin terjadi dan kita sepakat bahwa hal tersebut wajib kita hindarkan secara optimal.

Upaya Penegakan Hukum

Beberapa langkah penegakan hukum yang dapat diambil meliputi peningkatan pengawasan oleh pemerintah daerah terhadap aktivitas di daerah tangkapan air, terutama alih fungsi lahan. Sanksi yang tegas amat diperlukan baik berupa sanksi administratif, perdata, hingga pidana. Diperlukan petugas penegak hukum yang mampu melaksanakan tugasnya secara konsisten dengan penuh integritas. Berikutnya adalah partisipasi masyarakat lokal yang turut serta mengawasi dan melaporkan apabila terjadi aktivitas mencurigakan yang ditengarai berpotensi merusak dan mengubah daerah tangkapan air.


Page 2

Menjaga Hulu, Menjaga Sumber Kehidupan

Menjaga Hulu, Menjaga Sumber Kehidupan

Sabtu, 28 Desember 2024 | 10:59 WIB

Kesepian yang Menyerang Generasi Muda

Kesepian yang Menyerang Generasi Muda

Selasa, 24 Desember 2024 | 06:00 WIB

Pelajar dan Perbedaan

Pelajar dan Perbedaan

Jumat, 15 November 2024 | 10:02 WIB

Ketergantungan atau Kemandirian?

Ketergantungan atau Kemandirian?

Kamis, 31 Oktober 2024 | 10:07 WIB

Gondongan, Gejala dan Langkah Mediknya

Gondongan, Gejala dan Langkah Mediknya

Sabtu, 26 Oktober 2024 | 09:05 WIB


Page 3

BANYUWANGI, kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dikenal sebagai wilayah dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Salah satu aset terpenting Banyuwangi adalah keberadaan catchment area atau daerah tangkapan air yang mendominasi wilayah hulu.

Selain menjadi sumber utama air bagi masyarakat, daerah tangkapan air ini mendukung sektor kehutanan, perkebunan, dan pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi Banyuwangi. Namun, potensi besar ini menghadapi ancaman serius akibat degradasi lingkungan, eksploitasi yang tidak terkendali, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya fungsi catchment area, terutama beralihnya fungsi lahan. Dalam konteks ini, penegakan hukum menjadi instrumen krusial untuk melindungi daerah tangkapan air demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Banyuwangi.

Daerah tangkapan air di Banyuwangi memiliki peran yang sangat strategis, baik dari segi ekologi, ekonomi, maupun sosial. Pertama, dari segi ekologis, daerah tangkapan air berfungsi sebagai regulator siklus hidrologi. Vegetasi di kawasan ini menyerap air hujan, menyimpan air tanah, dan mengatur aliran air ke sungai-sungai yang menjadi sumber irigasi pertanian. Hal ini mencegah risiko banjir saat musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Dengan kata lain, daerah tangkapan air adalah ”jantung” dari sistem air Banyuwangi.

Keberadaan vegetasi yang sehat di daerah tangkapan air menciptakan sistem terintegrasi yang menjaga keseimbangan ekologis. Saat musim hujan, daerah ini berfungsi menyerap kelebihan air, mencegah limpasan permukaan yang berlebihan, dan mengurangi risiko banjir di wilayah hilir. Sebaliknya, di musim kemarau, air yang tersimpan di tanah dan akuifer bawah permukaan dilepaskan secara perlahan, memastikan ketersediaan air yang stabil untuk kebutuhan domestik, pertanian, dan perkebunan. Dengan menjaga keseimbangan ini, Banyuwangi dapat menghindari situasi bencana ekologis yang semakin kerap hadir belakangan ini.

Kondisi tersebut merupakan bukti nyata dari degradasi daerah tangkapan air. Hilangnya vegetasi di daerah tangkapan air menyebabkan infiltrasi air hujan berkurang drastis sehingga air permukaan mengalir dengan volume tinggi ke wilayah hilir. Akibatnya, kapasitas aliran sungai tidak mampu menampung air hujan, yang berujung pada banjir di daerah permukiman dan lahan produktif. Dengan menjaga daerah tangkapan air, risiko bencana banjir dapat diminimalkan sehingga memberikan perlindungan bagi masyarakat dan infrastruktur lokal.

Dari segi ekonomi, keberadaan air yang stabil dari daerah tangkapan air menjadi penopang utama bagi sektor pertanian dan perkebunan. Banyuwangi dikenal sebagai salah satu penghasil komoditas unggulan seperti padi, jagung, palawija, tebu, kopi, dan kakao. Seluruh aktivitas pertanian ini bergantung pada pasokan air yang konsisten. Tidak hanya itu, air dari daerah tangkapan air juga mendukung sektor kehutanan dan perkebunan swasta maupun milik negara (BUMN), yang selanjutnya memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD).

Dari sisi sosial, keberlanjutan air bersih dari daerah tangkapan air mendukung kebutuhan domestik masyarakat Banyuwangi. Air yang bersih dan berkualitas tinggi menjadi hak dasar yang harus terpenuhi, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa ”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Dasar Hukum dan Kebijakan Daerah Tangkapan Air

Upaya pelestarian daerah tangkapan air di Banyuwangi memiliki landasan hukum yang kuat. Terdapat beberapa undang-undang dan peraturan yang relevan antara lain adalah, pertama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan, termasuk fungsi ekologis daerah tangkapan air. Pasal 9 Ayat (3) menggarisbawahi perlunya pelestarian vegetasi untuk mendukung fungsi lingkungan hidup.

Kedua, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur pengelolaan kawasan hutan yang sering kali menjadi bagian dari daerah tangkapan air. Pasal 4 menyebutkan bahwa hutan memiliki fungsi konservasi, perlindungan, dan produksi yang saling berkaitan.

Ketiga, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, menegaskan bahwa air adalah sumber daya penting yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjaga keseimbangan ekosistem.

Keempat, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) menyatakan bahwa DAS sebagai bagian dari daerah tangkapan air diatur dalam peraturan ini, yang mencakup pelestarian vegetasi dan pengelolaan tata air.

Kelima, Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuwangi Tahun 2024–2044. Pada Pasal 78 huruf a). Bahwa kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan berupa kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi lahan; dan huruf d). Pembatasan alih fungsi tanaman keras menjadi tanaman semusim untuk menjaga fungsi kawasan resapan air sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Amanat RTRW yang mencakup zonasi daerah tangkapan air untuk memastikan keberlanjutan fungsi ekologisnya.

Meski memiliki dasar hukum yang kuat, tantangan utama dalam melindungi daerah tangkapan air adalah lemahnya implementasi dan penegakan hukum. Beberapa alasan utama kenapa penegakan hukum penting adalah untuk mengatasi degradasi lingkungan, melindungi hak masyarakat, meningkatkan kepatuhan pelaku usaha, mendukung ekonomi berkelanjutan, dan mencegah konflik sumber daya. Alasan terakhir menjadi penting karena kebergantungan kita akan sumber daya air sangat tinggi terutama bagi masyarakat Banyuwangi yang notabene mayoritas berprofesi sebagai petani. Potensi konflik horizontal amat mungkin terjadi dan kita sepakat bahwa hal tersebut wajib kita hindarkan secara optimal.

Upaya Penegakan Hukum

Beberapa langkah penegakan hukum yang dapat diambil meliputi peningkatan pengawasan oleh pemerintah daerah terhadap aktivitas di daerah tangkapan air, terutama alih fungsi lahan. Sanksi yang tegas amat diperlukan baik berupa sanksi administratif, perdata, hingga pidana. Diperlukan petugas penegak hukum yang mampu melaksanakan tugasnya secara konsisten dengan penuh integritas. Berikutnya adalah partisipasi masyarakat lokal yang turut serta mengawasi dan melaporkan apabila terjadi aktivitas mencurigakan yang ditengarai berpotensi merusak dan mengubah daerah tangkapan air.