Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Pembuat Cempring, Berkarya sejak Zaman Jepang, Sehari Bikin 40 Unit

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

senimanAlat musik pukul berupa mainan cempring (rebana kertas semen) sudah cukup langka saat ini. Meski demikian, Mbah Boni, 75, warga Dusun/Desa Kepundungan, Kecamatan Srono, Banyuwangi, ini tetap konsisten memproduksi mainan tradisional tersebut. Kulit di kening Mbah Boni sudah berkerut. Begitu juga kulit di pipinya sudah tampak kering. Rambutnya juga sudah penuh uban. Urat-urat di kedua tangan janda tujuh anak itu terlihat semua.

Urat pembuluh darah begitu terlihat jelas menonjol di tangannya. Itu menunjukkan Mbah Boni sudah tak lagi muda. Meski begitu, dia tetap cekatan membuat mainan tradisional cempring. Tangan kirinya memegang lingkaran frame cempring, dan tangan kanannya mengelus-elus semua sisi mainan yang bingkainya terbuat dari tanah liat itu Setelah halus, nenek yang memiliki sepuluh cucu tersebut melubangi bagian tengah mainan tersebut.

Itulah salah satu cara membuat mainan cempring yang setiap hari dilakoni Mbah Boni. Dalam sehari, Mbah Boni mampu membuat 40 unit cempring. Padahal, banyak tahap dalam membuat cempring, mulai mengumpulkan tanah liat hingga menginjak-injak tanah itu hingga halus. Setelah lembut, tanah liat dibentuk menggunakan alat tradisional berbahan kayu. Setelah terbentuk, frame rebana tanah liat itu di jemur selama beberapa hari.

Setelah kering dijemur, masih ada proses lagi, yaitu dibakar hingga beberapa jam sebagaimana memasak batu bata. Proses fi nishing adalah me masang kertas semen di lingkaran tersebut. Sehingga, ketika ditabuh berbunyi, “cempring.… cempring… cempring…..,” dan suara mainan tersebut ternyata juga disukai anak-anak. Makanya, para pengepul mainan tersebut kebanyakan memasarkan mainan itu kepada para siswa Sekolah madrasah ibti daiah, sekolah dasar, dan taman kanak-kanak.

Satu unit cempring, Mbah Boni biasa menjualnya kepada para pengepul seharga Rp 500. “Biasanya setiap seminggu sekali orang membeli ke sini. Rata-rata seminggu dapat uang Rp 50.000,” tutur Mbah Boni saat ditemui di rumahnya siang kemarin (18/10). Dengan penghasilan Rp 50.000 per pekan, Mbah Boni su dah merasa cukup. Uang itu untuk biaya makan seharihari. Bahkan, dia masih bisa menyisihkan untuk uang saku para cucu-cucunya yang sekolah.

Apakah tidak ingin berhenti bekerja karena usia sudah tua? Nenek tersebut tidak mau berhenti. Sebab, pekerjaan yang dilakoni sejak era penjajahan Jepang tersebut sudah menjadi menu kegiatan sehari-hari. Bahkan, dia membuat mainan cempring tersebut mulai harga dua rupiah, hingga saat ini Rp 500 per unit. Sehingga, bila sehari saja tidak membuat cempring, Mbah Boni merasa ada sesuatu yang kurang. “Rasane mboten echo (rasanya nggak enak, Red),” tuturnya.

Selain bisa membuat mainan cempring, ternyata Mbah Boni juga bisa membuat kendi, tempat ari-ari, dan sejumlah kerajinan tradisional berbahan tanah liat. Namun, sejumlah kerajinan tradisional selain cempring tersebut dibuatnya secara temporal alias jika ada pemesan. “Kadang wonten mawon sing pesen. (kadang ada saja yang pesan, Red),” ujarnya.

Kegigihan dan keuletan Mbah Boni itu patut diacungi jempol. Selain melestarikan mainan tradisional, di usianya yang sudah tua tersebut dia tidak mau menggantungkan hidup kepada anak-anaknya. Mbah Boni memilih tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan keringatnya sendiri. Bahkan, dia masih bisa menyisihkan untuk uang saku sekolah cucu-cucunya. (radar)