RadarBanyuwangi.id – Hari Batik Nasional yang diperingati setiap 2 Oktober, menjadi momentum bagi pembatik Banyuwangi untuk merajut kembali kejayaannya. Meski pandemi telah meruntuhkan pasar ekspor dan menekan permintaan, para pembatik tetap optimistis batik khas Banyuwangi akan kembali bersinar.
Arti Anggraeni, 38, seorang pembatik tulis asal Dusun Karangharjo, Desa Temuasri, Kecamatan Sempu, merasakan langsung dampak dari lesunya pasar batik akibat pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, ia dapat memproduksi banyak kain batik yang laris di pasar lokal dan internasional. “Dulu bisa buat sampai berlembar-lembar kain, sekarang dua tiga lembar kain saja sudah ngoyo,” ujarnya.
Penurunan permintaan batik ini sudah terasa sejak 2019, adanya pandemi Covid-19 memperparah situasi. Arti ingat sebelum masa sulit itu, lokasi tempatnya bekerja di Dusun Klontang, Desa Gendoh, Kecamatan Sempu pernah ekspor ke negara-negara seperti Amerika Serikat melalui Bali. “Waktu itu, batik-batik kami sampai Las Vegas,” kenangnya.
Kejayaan ekspor tersebut kini tinggal cerita. Arti menyebut saat ini hanya melayani pesanan dari pasar lokal, khususnya dari instansi pendidikan yang biasanya memesan kain batik pada awal tahun ajaran baru. “Sekarang hanya melayani pasar Banyuwangi saja, paling banyak pesanan dari sekolah,” katanya.
Baca Juga: Warga Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Minta Normalisasi Sungai Garit
Ade Rendra, 37, pengusaha batik menyampaikan, omset usahanya belum kembali normal sejak pandemi melanda. Sebelum pandemi, usaha batiknya bisa menghasilkan Rp 20 juta per bulan, namun kini pendapatannya hanya setengah dari itu. “Masih turun 50 persen, dulu omset per bulan bisa Rp 20 juta, sekarang hanya Rp 10 juta,” kata warga Dusun Klontang, Desa Gendoh, Kecamatan Semp.
Untuk bisa bertahan, Ade terpaksa mengurangi jumlah karyawan. Dari sebelumnya mempekerjakan 35 orang, kini hanya 15 karyawan yang tersisa. Produksi pun berkurang drastis, dari ribuan lembar kain batik yang diekspor setiap empat bulan, kini hanya ratusan lembar yang diproduksi setiap bulan. “Dulu empat bulan sekali bisa ekspor 3.000 lembar, sekarang vakum,” jelasnya.
Pandemi memaksa Ade untuk lebih kreatif dalam menjalankan usaha batiknya. Salah satu inovasi yang dilakukan menciptakan batik dengan warna-warna mencolok yang lebih diminati oleh pasar lokal. “Kami berani memilih warna mencolok di pasar untuk tetap bertahan,” katanya.
Ade berharap pasar ekspor kembali normal dan permintaan batik Banyuwangi bisa pulih seperti sebelumnya. Saat ini, ia fokus pada produksi untuk pasar lokal dengan kapasitas yang terbatas. “Penjualan masih belum normal sejak pandemi,” ucapnya singkat.
Hari Batik Nasional menjadi pengingat bagi pembatik seperti Arti dan Ade akan pentingnya menjaga warisan budaya ini. Mereka berharap dengan peringatan ini, minat terhadap batik akan terus meningkat dan pasar batik Banyuwangi dapat kembali berjaya. “Kami berharap kejayaan batik Banyuwangi bisa kembali seperti dulu,” tandasnya.(rei/abi)