Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Persiapan Minim karena Bantu Ortu Panen Durian

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

bantuSDN 4 Segobang tercatat sebagai sekolah pinggiran. Sekolah tersebut di bawah naungan Unit Pelaksana Teknis Pendidikan (UPTD) Licin. Dari Banyuwangi kota, lokasi sekolah tersebut cukup jauh, sekitar 25 Km. Dari pertigaan Pasar Licin, jalan yang diambil adalah yang ke arah kiri.

Selanjutnya terus mengikuti jalan hingga menemui salah satu masjid besar yang di timurnya terdapat sebuah jalan menanjak ke arah selatan dengan landasan semen berwarna putih. Dari situ, ikuti jalur bermedan terjal yang cukup panjang dengan lebar sekitar dua meter saja.

Setelah naik turun, berkelok-kelok dan terguncang mengikuti rute jalan sejauh tujuh kilometer, barulah terlihat sebuah kumpulan pemukiman. Tak banyak rumah yang ada di pemukiman tersebut, kurang lebih hanya lima rumah.

Di pemukiman itulah letak SDN 4 Segobang berada. Tepatnya di Dusun Kayangan, Desa Segobang, Kecamatan Licin. ”Nama Kayangan diambil berdasarkan cerita pelarian Prabu Tawangalun. Di mana saat itu Raja Kerajaan Blambangan melarikan diri dari kejaran Penjajah Belanda, jelas Abdul Halim, 47, guru agama yang mengajar di SDN 4 Sigobang Dusun Kayangan menjadi tempat persembunyian Sang Prabu karena lokasinya yang sangat tinggi dan konon dilindungi oleh kekuatan mistik.

“Ketika Belanda mencari keberadaan Prabu Tawangalun, mereka tidak dapat menemukannya karena mengira Sang Prabu benar-benar berada di tanah para dewa,” cerita Halim. Ketika melangsungkan try out Sabtu lalu (28/3), Jawa Pos Radar Banyuwangi sempat mengira SDN 4 Segobang sudah tidak ada aktivitas lagi.

Bagaimana tidak, sebagian kelas tampak kosong. Ternyata di salah satu kelas masih ada siswa yang sedang mengerjakan soal. Hanya ada lima siswa dan seorang guru di kelas tersebut. Sang guru, Didik Hariyanto mengatakan, lima orang duduk di kelas enam.

“Awalnya ada enam orang siswa di sini, tetapi yang seorang sudah pindah sekolah, ikut orang tuanya. Kalau semuanya ada 33 siswa” terang Didik. Meskipun jumlahnya hanya sedikit, Didik mengaku hal tersebut tidak mengurangi keseriusan dalam mengajar.

Malah dengan jumlah yang tak sampai setengah lusin itu, Didik bisa menyampaikan materi dengan lebih mudah. Setiap siswa yang diajar bisa dipantau perkembangannya dengan mudah karena semuanya hanya berjumlah lima orang.

Melihat lokasi SDN 4 Segobang yang cukup sulit dijangkau, Didik mengakui ada banyak kesulitan yang dihadapi sebelum pelaksanaan try out. Misalnya ketika para siswi hendak didaftarkan dalam Daftar Nominasi Tetap (DNT) peserta ujian sekolah (US).

Banyak dari anak-anak tersebut tidak memiliki akte kelahiran, Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang tua siswa sudah banyak yang tidak berlaku. Sehingga para guru harus ikut membantu para siswa agar bisa mendapatkan DNT.

Dari meminta rekomendasi ke kantor desa hingga ke Dinas Catatan Sipil. “Untungnya hanya lima orang siswa. Kalau ada dua puluh seperti sekolah yang lain lebih repot lagi,” terangnya. Selain masalah pengurusan DNT, waktu bimbingan untuk mempersiapkan US juga berbeda dengan sekolah yang lain.

Pada umumnya sekolah dasar akan menambah jam belajar seusai jam sekolah regular. Kalau tidak pada jam ke nol atau sebelum pembelajaran normal. Tetapi hal tersebut tidak berjalan di SDN 4 Segobang. Di sana pelajaran tambahan tetap harus dilaksanakan di tengah jam pelajaran reguler.

Sehingga siswa tidak perlu berangkat lebih awal. Menurut Didik, para siswa ini seringkali membantu orang tuanya di kebun atau sawah. “Apalagi saat panen buah durian seperti saat ini. Kalau kita terlalu lama mengajar orang tuanya bisa marah,” terang Didik.

Belum lagi jika ada salah satu warga dusun yang sedang hajatan. Maka bisa dipastikan kelas akan melompong tinggal meja, kursi dan guru. Semuanya akan membantu warga yang sedang melakukan hajatan tersebut.

Sehingga Didik dan beberapa guru harus turun tangan dengan menjemput para siswa dari tempat hajatan. “ltupun tak langsung mau. Kami harus merayu para siswa dengan berbagai cara,” kata Didik. Namun, saat try out yang digelar Jawa Pos Radar Banyuwagi bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Sabtu lalu (23/3) Didik bersyukur karena semua siswi mau datang.

Lima siswa itu adalah Edi Saputra, 12, Fitria, 12, Heriyanto 15, Angi lrawan 11 dan Lutvia, 12. Jarak rumah mereka dengan sekolah sekitar dua kilometer. “Ada yang rumahnya tiga kilometer dari sini. Mereka jalan kaki semua.

Alhamdulilah semua siswa datang saat try out,” terang Didik. Abdul Halim, 47, guru agama SDN d Segobang menambahkan, meski banyak kesulitan, mereka tetap fokus menerima pelajaran. Dirinya dan guru kelas VI terkadang nrembawa materi dari buku yang dibeli dari kota atau materi yang di donwload dari intenet.

Setiap siswa selalu antusias ketika guru menerangkan materi baru yang dibawakan. “Listrik di sini baru masuk enam bulan lalu. jadi siswa belum banyak terkontaminasi dengan hiburan seperti televise dan HP. jadi bisa fokus ke pelajaran, apalagi mereka juga selalu mengaji,” terang Halim.

Yang terberat adalah saat US nanti. Karena lokasinya cukup jauh dari sekolah induk, yaitu SDN 3 Segobang, para siswa ini harus menginap. Biasanya para guru akan patungan untuk menyewa tempat tinggal dan membeli makanan bagi siswa.

“Semoga tahun ini bisa membeli sepeda motor kargo untuk membawa anak-anak. jadi bisa mengantar jemput mereka dan memudahkan untuk mengantar ke sekolah induk.” tutur guru asal Desa Banjarsari. Kecamatan Glagah tersebut. (radar)