Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Pesantren Tertua di Banyuwangi, Tempat Mengaji Pendiri NU

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Pondok Pesantren Al Ashriyah yang berlokasi di Dusun Jalen, Desa Setail, Kecamatan Genteng, ini tertua di Kabupaten Banyuwangi. Pesantren yang didirikan Kiai Abdul Basyar itu, konon tempat mengaji salah satu pendiri NU Syekh Syaikhona Kholil asal Bangkalan, Madura.

SUASANA khas pesantren kuno, amat terasa saat menginjakkan kaki di halaman Pondok Pesantren (Ponpes) Al Ashriyah. Bangunan pondok dengan cat yang yang sudah mulai memudar, menambah kesan tuanya usia pesantren itu. Apalagi, suasana di pesantren yang berdiri pada 1882 itu selama ini juga sering sepi.

Saat Jawa Pos Radar Genteng berkunjung Senin (6/2), di pintu masuk hingga dalam kompleks pesantren, nyaris tidak ada santri atau warga yang tengah berkegiatan. Di kompleks pesantren itu hanya bangunan masjid bercat putih, gedung asrama permanen yang satu di antaranya berlantai dua, dan satu lagi asrama antik dengan dinding dari gedhek yang dindingnya sudah banyak bolong-bolong.

Selain bangunan gotakan tua (asrama), juga ada kolam untuk mandi para santri, kentongan dan jam kuno di halaman masjid yang masih utuh berdiri dari masa ke masa. Bangunan asrama gedhek dan kentongan itu, peninggalan Kiai Abdul Basyar yang masih tersisa. “Pondok ini yang paling tua di Banyuwangi, sudah ada sejak 1880-an,” kata salah satu pengasuh Ponpes Al Ashriyah, Kiai Sadali Mawardi, Senin (6/2).

PEWARIS: Pengasuh Pondok Pesantren  Al Ashriyah, Kiai Sadali Mawardi dengan lukisan abahnya Kiai Mawardi, Senin (6/2). (Foto: Salis Ali/JPRG)

Kiai Sadali yang ditemui tengah menonton TV di rumahnya mengatakan, pesantren dibangun oleh kakeknya Kiai Abdul Basyar sejak 1901. Tapi ada yang menyebut, pesantren ini sudah ada sejak 1882. “Babatnya sebelum 1901, awalnya ada warga dari Banten datang dan belajar agama di sini, makanya pada 1901 dibangun pondok,” terangnya pada Jawa Pos Radar Genteng.

Putra ketiga dari Kiai Mawardi atau cucu Kiai Abdul Basyar yang biasa disapa Kiai Dali ini mengaku tak banyak tahu soal sejarah pesantrennya ini. “Sejarahnya tidak pernah dituliskan, yang saya sampaikan ini dari cerita-cerita saja,” ungkapnya.

Kiai Abdul Basyar berasal dari Banten, Jawa Barat. Sebelum ke Banyuwangi, banyak belajar di pondok pesantren yang ada di Kediri dan Blitar. “Mbah Basyar ke Banyuwangi bersama orang-orang dari daerahnya,” terangnya.

Saat datang ke Banyuwangi dan akhirnya menetap di Dusun Jalen, Desa Setail, Kecamatan Genteng, daerahnya masih berupa hutan belantara. Kakeknya yang dibantu teman-temannya babat hutan dan membangun rumah sederhana. “Awal mula yang menetap di sini itu ya orang-orang pendatang dari Banten itu,” katanya.

Mengenai Syaikona Kholil, Bangkalan, Madura yang konon pernah mengaji pada Kiai Basyar di Peasntren Jalen, Kiai Dali mengaku tidak tahu pasti. Malahan, keluarga besarnya juga tidak ada yang tahu, lantaran tidak pernah mendapatkan cerita dari orang tuanya. “Kita mendengar dari cerita para kiai, juga dari keluarga Lora Kholil Bangkalan,” ujarnya.

Cerita itu diperkuat saat keluarga dari Syaikhona Kholil Bangkalan, setahun lalu datang ke Ponpes Al Ashriyah Jalen, dan menyampaikan Lora Kholil pernah belajar sekitar tiga tahun pada Kiai Basyar. “Keluarga Bangkalan ke sini untuk napak tilas dan sowan,” tandasnya

Di Ponpes Al Ashariyah Jalen, Kiai Dali ini pengasuh generasi ketiga. Setelah Kiai Basyar wafat, pimpinan pesantren dipegang salah satu santri yang juga menantu Kiai Basyar, KH Abdul Manan. Kiai Manan memimpin pesantren saat Kiai Mawardi, salah satu putera Kiai Basyar, masih belajar di pesantren. “Kiai Manan agak lama mimpoin pesantren ini,” jelasnya.

Setelah Kiai Mawardi pulang, Kiai Manan mendirikan Pondok Pesantren Minhajut Thulab di Desa Sumberberas, Kecamatan Muncar. “Kiai Basyar wafat pada tahun 1915, digantikan Kiai Abdul Manan,” jelasnya.

Selama memimpin pesantren, Kiai Mawardi tidak pernah merubah gaya belajar para santri dan keberadaan pondok. Kesederhanaan dalam mengurus pondok itu, menjadi resep dalam mempertahankan eksistensi pesantrennya. “Dari dulu seperti ini, tidak banyak berupah. Pembangunan-pembangunan juga tidak banyak,” terangnya.

Kiai Dali mengaku sudah lama tidak berhubungan dengan dunia luar. Ia sibuk di lading dan tidak tahu jika pesantrennya bakal mendapat penganugerahan sebagai pondok pesantren yang sudah berdiri lebih dari satu abad oleh PBNU. “Penghargaan pertama pada 2016,” katanya.

Saat awal pendirian pesantren, para santri di Ponpes Al Ashriyah Jalen ini jumlahnya sangat banyak. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Tapi saat ini, hanya sekitar 20 santri yang belajar di pesantrennya. Mereka itu, sebagian besar siswa SMA dan mahasiswa. “Mereka di pesantren sambil sekolah,” jelasnya.

Terkait kegiatan para santri, Kiai Dali menyampaikan tak ada perbedaan khusus dengan pesantren lain. Yang jelas, di luar salat wajib, para santri harus mengaji Alquran setiap habis magrib dan  Isya. Para santri juga diajak membaca Surat Yasin setiap selesai salat jamaah. Tanpa menyebutkan amalan itu untuk apa, Kiai Dali menegaskan amalan itu yang selalu diajarkan oleh Kiai Mawardi. “Ini amalan turun temurun, sudah sejak dulu diajarkan,” paparnya.

Berbeda dengan puluhan atau ratusan tahun yang lalu, Kiai Dali menjelaskan saat ini para santri sudah diberikan keleluasaan. “Zamannya berubah, dulu santri tidak boleh ke luar (hanya diniyah), sekarang santri boleh sekolah di luar pondok,” ungkapnya.(sas/abi)

 

 

 

 

source